Oleh : Saifuddin ASM
Pengertian Hijrah
Hijrah
adalah perpindahan dari satu situasi atau kondisi yang satu ke kondisi atau
situasi yang lain. Hijrah merupakan perbuatan yang dianjurkan oleh Allah SWT,
bahkan bisa wajib tatkala sangat diperlukan. Secara garis besarnya hijrah itu
terdiri yang bersifat fisik yaitu perpindahan tempat, dan yang bersifat non
fisik yaitu perpindahan situasi atau mengubah keadaan. Hijrah bisa bernilai
ibadah, jika untuk Allah dan mengikuti Rasul-Nya, dan tidak bernilai ibadah
bila dilakukan bukan untuk mencarai ridla Allah SW. Beliau menandaskan lagi
dalam sabdanya:
6. ومَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ
يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
Barangsiapa yang hijrahnya untuk
kepentingan duniawi, atau kepentingan wanita yang dinikahi, maka manfaat
hijrahnya pun sesuai dengan apa yang dituju.
Hadits
ini juga mengisyaratkan bahwa hijrah itu ada yang syar’i, ada pula yang tidak.
Hijrah yang syar’i adalah perpindahan untuk kepentingan tegaknya al-Islam, demi
meraih ridla Allah. Sedangkan hijrah yang tidak bernilai syar’i adalah yang
bukan kepentingan jalan Allah, dan tidak bertujuan meraih ridla-Nya. Oleh
karena itu, supaya segalanya bernilai ibadah, ikhlaskan tujuan untuk mencari
ridla Allah dan melakukannya berdasar syari’ah Allah, serta mengikuti sunnah
Rasul-Nya.
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ أُنْزِلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعِينَ فَمَكَثَ بِمَكَّةَ ثَلَاثَ
عَشْرَةَ سَنَةً ثُمَّ أُمِرَ بِالْهِجْرَةِ فَهَاجَرَ إِلَى الْمَدِينَةِ
فَمَكَثَ بِهَا عَشْرَ سِنِينَ ثُمَّ تُوُفِّيَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Ibnu Abbas[1], meriwayatkan bahwa Rasûl SAW menerima wahyu ketika berusia empat
puluh tahun, kemudian tetap di Mekah selama tiga belas tahun, kemudian
diperintah hijrah. Beliau hijrah ke Madinah dan berada di sana selama
sepuluh tahun hingga wafat. Hr. Ahmad (164-241H),
al-Bukhari (194-256H), [2]
Da’wah Islam yang dilakukan Rasul SAW pada awalnya secara
sembunyi-sembunyi, kemudian bertambah luas hingga jumlah kaum muslimin empat
puluh orang, yang kemudian dibina secara khusus di Bait al-Arqam.[3] Kaum Quraisy berusaha menghalangi
risalah dengan berbagai usaha, mulai dari berbagai tawaran, rayuan hingga
kekerasan. Sejak tahun keempat kenabian, banyak kaum muslimin yang disiksa
secara kejam, hingga mendorong Rasul untuk menghijrahkan shahabatnya ke Habsyah
pada pertengahan tahun kelima. Rombongan pertama sebanyak sepuluh orang, antara
lain Utsman bin Affan beserta istrinya, Ruqayah putri Rasul; Abdurrahman bin
Auf, dan Zubair bin Awwam. Rombongan kedua dipimpin Ja’far sebanyak seratus
orang. Pada bulan Dzul-hijah tahun keenam kenabian, Umar bin Khathab dan Hamzah
masuk Islam, yang mengakibatkan semakin menambah kebencian musyrikin.
Pada
tahun ketujuh dari kenabian, Bani Hasyim diboikot perekonomiannya hingga
menyengsarakan. Walaupun kaum muslimin mendapat cobaan berat dari segala
penjuru, terutama penindasan kaum musyrikin, baik dalam bidang ekonomi maupun
politik, semua itu tidak menurunkan semangat Rasul SAW dalam berda’wah. Pada
tahun itu juga, Abu Thalib sebagai pimpinan suku Bani Hasyim dan Siti Khadijah
isteri Rasul yang mendukung da’wah baik materil maupun immateril, wafat.
Pada
bulan syawal tahun kesepuluh dari kenabian (Mei-Juni 619 M), Rasul berangkat ke
Tha’if. Namun ternyata orang Tha`if belum meraih hidayah, Rasul diperlakukan
tidak layak oleh mereka bahkan mendapat lemparan batu dan kotoran hingga
terluka. Menurut sebagian riwayat, setelah Rasul SAW kembali ke Mekkah maka
tahun itu pula Isra dan Mi’raj terjadi, sekaligus turun perintah shalat lima
waktu.
Da’wah
selanjutnya dilakukan dengan mendatangi berbagai lapisan masyarakat seperti
Bani Kilab, Bani Hanifah, Bani Amir, dan ternyata mendapat sambutan yang
menggembirakan. Pada musim haji berikutnya, berdatanganlah masyarakat dari
berbagai penjuru, yang dimanfaatkan Rasul SAW untuk menda’wahi berbagai kafilah
dari luar penduduk Mekah. Di awal tahun kesebelas dari kenabian banyak orang
Yatsrib yang masuk Islam seperti: Suwaib bin Shamit, Iyas bin Mu’adz,
Tufail bin Amr, dan Dlamad al-Azdi.
Pada
musim haji tahun kesebelas dari kenabian (Juli 620 M), jamaah Yatsrib masuk
Islam. Mereka adalah kaum muda Bani Najar seperti As’ad bin Zararah dan Auf bin
Haris, dari Bani Zuraiq seperti Rafi’ bin Malik, dari bani Salmah
seperti Qathbah bin Amir, dari Bani Haram bernama Uqbah, dan dari Bani Ubaid
bernama Jabir bin Abdillah. Mereka bertekad akan menda’wahkan Islam di Yatsrib
sebagai kampung halamannya.
Pada
musim haji tahun keduabelas (Juli 621 M), bersama lima orang yang sudah masuk
Islam tahun sebelumnya (di luar Jabir), tujuh penduduk Yatsrib bangsa Khazraj
yaitu Mu’adz, Dzakwan, Ubadah, Yazid dan Abbas serta bangsa Aus yaitu
Abul-Haitsam dan Uwaim berbai’at kepada Rasul di Aqabah untuk diangkat menjadi
juru da’wah. Inilah yang dinamakan Bai’at al-Aqabah pertama. Rasul pun mengutus
Mush’ab bin Umair untuk ikut ke Yatsrib sebagai utusan dan melihat situasi di
sana.
Pada
musim haji tahun berikutnya (Juni 622 M), sebanyak 73 orang Yatsrib menunaikan
haji dan berbai’at pada Rasul sebagai juru da’wah Islam, yang dinamakan Baiat
al-Aqabah kedua. Mereka juga mengundang Rasul untuk hijrah ke Yatsrib,
dilatarbelakangi antara lain: (1) memperluas da’wah, (2) menyelamatkan muslimin
yang tertindas di Mekah dan (3) menjalin persaudaraan antara Aus dan Khazraj
yang telah lama bermusuhan.
Di sisi lain, semakin luasnya jangkauan da’wah Rasul dan bertambahnya jumah
muslimin, berakibat kaum musyrikin semakin membenci Rasul. Mulai saat itu kaum
muslimin diperintah Rasul untuk hijrah ke Yatsrib secara berangsur. Pada hari
Kamis, 26 Shafar (12-september- 622 M) para pembesar Quraisy semacam parlemen,
berkumpul di Dar al-Nadwa yang diikuti oleh Abu Jahl bin Hisyam, Jubair bin Muth’im,
Tha’imah, Harits, Syaibah, Utbah, Abu Sufyan, al-Nazhr, Abu al-Bukhturi,
Zam’ah, Hakim, Nabih, Munabbih, dan Umayah bin Khalaf. Mereka bersepakat untuk
mengepung dan membunuh Rasul SAW. Rasul mengetahui ancaman kaum musyrikin
tersebut dan siang harinya beliau mengunjungi rumah Abu Bakr untuk mengajak
hijrah, dan kembali ke rumahnya menunggu waktu malam tiba.[4]
Pada malam 27 Shafar (13-9-622 M), Rasul SAW dan Abu Bakr meninggalkan
rumah, setelah berpesan pada Ali bin Abi Thalib,[5] untuk menempati tempat tidur beliau,
kemudian menuju Goa Tsur.[6] Pada malam itu pula pembesar Quraisy
sebanyak sebelas orang mengepung rumah Rasul SAW untuk melaksanakan pesan Dar
al-Nadwa, padahal di rumah tersebut hanya ada Ali bin Abi Thalib. Rasul dan Abu
Bakr berada di Goa Tsur selama tiga malam, hingga malam Ahad tanggal 30 Shafar.
Pada hari Senin 1 Rabi al-Awal, Rasul melanjutkan perjalanan menuju
Yatsrib.[7]Senin 8 Rabi’ul-Awal /23-September-622
M (perjalanan Tsur-Quba ditempuh dalam waktu satu pekan), Rasul dengan Abu Bakr
tiba di Quba dan mendirikan Masjid di depan Rumah Kalstum bin al-Hadm.[8] Di Quba, Rasul menginap empat malam dan
hari Jum’at melanjutkan perjalanan. Waktu zhuhur sampai di daerah Bani Salim
bin ‘Awf, perintah shalat Jum’at turun dan melakukan shalat Jum’at dengan
berjamaah bersama seratus muslimin.[9] Setelah shalat Jum’at Rasul melanjutkan
perjalanan dan sampai di Yatsrib tanggal 12 rabi’ul Awal. Inilah hijrah
terbesar yang dilakukan Rasul SAW bersama kaum muslimin. Kota Yatsrib kemudian
diberi nama al-Madinah al-Munawarah, sebagai pusat bersinarnya syi’ar Islam ke
seluruh penjuru dunia.
Hijrah
menurut bahasa berarti pindah, baik secara fisik maupun non fisik. Al-Qurthubi
(w.671H) menandaskan:
الهجْرة معْنَاهَا
الإنْتِقَال مِنْ مَوْضِعٍ إلَى مَوْضِعٍ وَقَصْدُ تَرْكِ الأوَّل إِيْثَارًا
لِلثَّانِي
Hijrah berarti pindah dari satu tempat
ke tempat lain dan menyengaja meninggalkan satu posisi awal menuju posisi yang
ke dua.[10]
Pengertian
semacam ini bisa dipahami bahwa hijrah itu perpindahan posisi, baik secara
fisik maupun non fisik. Perpindahan fisik adalah pindah dari tempat yang
diduduki, sedangkan pindah non fisik adalah pindah pendirian, pergantian sikap,
atau perubahan tingkah laku. Menurut mufasir, orang yang berhijrah adalah:
تَرَكُوا دِيَارَهُم خَوْفَ الفِتْنة وَالإضْطِهَاد فِي ذَات الله
Meninggalkan kampung halaman karena
Allah demi menyelamatkan diri dari kekacauan dan penindasan.[11]
فََارَقُوا الأهْلَ وَالأوْطَانَ لإعْلاَءِ كَلِمَةِ الله وَنَصْرِ دِيْنِهِ
وَلَحَقُوا بِالنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
Meninggalkan keluarga dan kampung
halaman untuk menegakkan kalimah Allah, membela agama dan mengikuti Rasul SAW.[13]
Orang
yang berhijrah karena didasari iman dan untuk jihad, maka akan meraih rahmat
dan ampunan Allah SWT. Firman-Nya:
إِنَّ
الَّذِينَ ءَامَنُوا وَالَّذِينَ هَاجَرُوا وَجَاهَدُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ
أُولَئِكَ يَرْجُونَ رَحْمَةَ اللَّهِ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan
rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Qs.2:218.
Selanjutnya
arti hijrah tersirat dalam sabda Rasul SAW, sebagai berikut:
الُمهَاجِرُمَنْ
هَاجَرَ مَا نَهَى الله عَنْهُ
Orang hijrah adalah yang meninggalkan
segala yang dilarang Allah SWT. Hr.
Ahmad (164-241H), Ibn Hibban (w.354 H) [14]
Menurut
riwayat al-Thabarani (260-360H), dalam khutbah Haji Wada, Rasul bersabda:
المُهَاجِرُ
مَنْ هَاجَرَ السَّيِّئَاتِ
5. Hikmah dan Fungsi Hijrah
Wahbah al-Zuhayli[16], berpendapat bahwa hijrah fisik yang
dilakukan Rasul dan para shahabatnya, cukup banyak hikmah dan fungsinya. Hikmah
dan fungsi hijrah yang paling penting antara lain: (1) Tegaknya
syi’ar Islam dan menghindarkan konflik keagamaan. (2) Mencari
dan mendapatkan kemungkinan tersebarnya ajaran Islam. Jika kaum muslimin yang
tidak memiliki peluang untuk mendapat bimbingan Islam dan memahami hukumnya di
suatu tempat, maka sebaiknya hijrah ke tempat lain untuk mendapatkannya. (3)
Persiapan program untuk terwujudnya pemerintahan Islami dan penyebarluasan
syari’at Islam ke seluruh penjuru dunia. Semua itu nampak sekali dapat
diwujudkan melalui hijrah dari Mekah ke Madinah.[17]
6. Hijrah Fisik
Ibn al-Arabi,[18] berpendapat bahwa hijrah fisik
diperlukan sepanjang masa hingga hari kiamat apabila berlatar belakang sebagai
berikut: (1) Melepaskan diri dari desakan perang yang merugikan muslimin,
menuju ke tempat yang menguntungkan Islam dan muslimin, seperti perpindahan
dari Dar al-Harbi ke Dar
al-Islam. (2) Menghindarkan diri dari perbuatan bid’ah demi menyelamatkan al-Sunnah. (3) Perpindahan dari suatu
tempat yang penuh maksiat dan perbuatan haram, ke tempat bersih supaya tidak
terbawa arus orang durhaka. (4) Melepaskan diri dan ancaman penyakit yang
apabila tidak berpindah akan membahayakan badan. (5)Menyelamatkan diri dari
ancaman orang jahat karena berada di tempat yang kurang aman. (6) Menyelamatkan
kekayaan yang sangat berguna bagi perjuangan Islam.
Memerhatikan
uraian di atas, jelaslah bahwa hijrah fisik itu tetap diperlukan, hanya bentuk
dan sifatnya bisa beraneka ragam. Namun tentang perpindahan dari Mekah ke
Madinah yang diperintah Rasul SAW kepada shahabatnya hanya berlaku sebelum
Futuh Mekah. Perhatikan hadits riwayat al-Bukhari berikut.
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ
وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
Ibn Abbas menerangkan bahwa Rasul
SAW bersabda: Tidak ada kewajiban hijrah setelah Futuh Mekah, melainkan jihad
dan niat, maka jika diseru perang segeralah penuhi panggilan tersebut. Hr. al-Bukhari (194-256H).[19]
Dengan demikian, semua hijrah itu dilakukan demi fi sabil Allah yaitu membela agama Allah. Adapun yang dimaksud لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ tidak ada hijrah setelah Futuh Mekah, adalah tidak ada kewajiban hijrah dari Mekah ke Madinah. Hal ini tampak
sekali, bahwa Rasul SAW tidak mewajibkan muslim Mekah hijrah ke Madinah,
setelah Mekah beliau taklukkan dalam Futuhnya. Tanggal 10 Ramadlan tahun 8H,
Rasul SAW meraih Futuh Mekah dan turun Qs. Al-Nashr, dilanjutkan dengan umrah
al-Fath.
Tanggal 25 Ramadlan tahun tersebut, Khalid bin Walid menghancurkan berhala
di jazirah Arab. Inilah kemenangan gemilang yang diraih kaum muslimin pada
bulan Ramadlan. Setelah Futuh Mekah itu, berdasar hadits ini hijrah
dimanifestasikan dalam memperbaiki kualitas umat dalam segala aspek
kehidupannya. Itulah salah satu makna dari jihad dan niyyah, sebagaimana ditandaskan hadits ini.
E. Beberapa Ibrah
Dari
kajian hadits di atas dapat diambil beberapa ibrah sebagai berikut: (1) Niat
merupakan penentu atas nilai suatu amal, baik ucap, sikap maupun perbuatan. (2)
Hijrah, nilainya bukan hanya ditentukan oleh cara, tapi juga dipengaruhi
tujuan. Hijrah yang baik adalah yang ditujukan untuk kepentingan Allah dan
Rasul-Nya. (3) Hijrah secara fisik dalam arti perpindahan tempat bersifat
situasional. Hijrah yang mutlak dilakukan adalah perubahan sikap, dari yang
kurang baik menjadi baik, terutama dalam jihad.
[1] Abd Allah ibn Abbas, lahir tahun 3
sebelum hijrah, seorang shahabat yang dido’akan Rasul agar menjadi muslim
yang faham tentang agama dan memiliki keunggulan dalam mena’wil ayat. Saudara
sepupu Rasul ini cukup terkenal di kalangan ahli tafsir maupun hadis. Ia juga
dijuluki oleh ibn Mas’ud (w.32H) sebagai Turjuman al-Qur`an (juru bicara dalam
memehami al-Qur`an). Hadits yang diriayatkan oleh berbagai muhadits
darinya berjumlah 1660 Hadits, wafat di Tha`if tahun 68H
[3] rumah milik al-Arqam bin Abu al-Arqam
bin Asad bin Abd Allah bin Amr bin Makhzum yang dijuluki Abu Ubaid Allah.
Menurut sebagian ulama wafat bertepatan dengan tahun wafatnya Abu Bakr (12H),
yang lain berpendapat pada masa pemerintah Mu’awiyah bin Abi Sufyan, (40H).
Rumah tersebut berlokasi di kawasan kaki bukit Shafa dekat Masjid al-Haram yang
digunakan rasul SAW untuk membina shahabatnya hingga menghasilkan 150 pemimpin
umat yang berkualitas.
[5] Ali bin Abi Thalib (18sH-40H),
Shahabat, , Khalifah keempat dari al-Khulafa al-Rasyidin, sejak usia 6 tahun
diasuh oleh rasul SAW, kemudian dinikahkan pada Fatimah. Dari pernikahannya
mempunyai dua putra Hasan dan Husen, dua putri bernama Zainab dan Umm Kurtsum
yang dinikah oleh Umar bin al-Khathab.
[12] Tahun 1969M masih menjadi Guru
Besar di universitas al-Azhar Mesir, menyusun tafsir al-Wadlih yang
diselsaikannya pada 15 sya’ban 1373H (1954).
[14] Musnad Ahmad, II h.205, Shahih
Ibn Hibban, I h.467
[16] Prof Dr.Wahbah al-Zuhayli, pada tahun
1991M masih menjabat Kepala Program Fiqih Islam di Universitas Damascus. Kitab
terbesar karya beliau antara lain al-tafsir al-Munir, 15 jilid yang tebalnya
rata-rata di atas 500 halaman, dan al-Fuqh al-Islami, 8 jilid yang setiap
jilidnya berkisar 900 halaman.
Posting Komentar