ETIKA
DAKWAH HUMANIS DALAM KEHIDUPAN UMMAT BERAGAMA YANG MAJEMUK
Oleh:
Nada Tursina
Sebelum jauh melangkah dalam tulisan
pembahasan etika dakwah ada baiknya kita baca firman Allah SWT.
” Mengapa kamu
suruh orang lain mengerjakan kebaikan sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu
sendiri, padahal kamu membaca al- kitab (taurat) ? maka tidaklah kamu
berfikir?” (Qs. Al- baqarah: 44)
Seperti yang kita ketahui bahwasanya
makna dakwah adalah bertujuan untuk mengajak orang lain untuk dapat
meningkatkan level ketaqwaannya disisi Allah, dan menyeru orang lain untuk
melaksanakan segala perintah Allah, dan menjauhi segala larangannya. Namun, sayang seribu sayang,
Fakta yang terjadi dan yang kita dapati dan alami dalam kehidupan sehari- hari
kita, sangatlah bertolak belakang dengan tujuan dari ceramah atau dakwah itu
sendiri.
Banyak dari para pendakwah masa kini, yang hanya pandai bermain lidah,
indah tutur katanya, dalam mengajak orang lain dalam berbuat kebajikan. Shalat,
puasa, bersadaqah, sabar , dan lain sebagainya. Akan tetapi, dia sendiri tidak
mengerjakannya. Apakah orang seperti ini pantas dijadikan sebagai pendakwah,
atau penceramah?
Nabi Muhammad SAW pernah bersabda: “pada malam peristiwa isra’ mi’raj, aku
melewati sekelompok orang yang bibir- bibir mereka digunting dengan gunting
dari api neraka, aku pun bertanya kepada mereka, “siapa kalian?” lalu mereka
pun menjawab “kami ini dulu menyuruh orang lain, untuk mengerjakan yang ma’ruf
sedangkan kami sendiri tidak melakukannya dan kami melarang dari perbuatan
mungkar sedangkan kami sendiri melakukannya[1]”
Ayat qur’an di atas, merupakan ancaman bagi mereka yang mencegah
kemungkaran, sementara mereka sendiri juga melaksanakan kemungkaran tersebut,
ayat dan hadis di atas, sudah jelas sebagai bukti. Bahwa yang mencegah
kemungkaran hanyalah mereka yang memiliki perilaku yang baik. Sebaliknya
orang-orang yang berbuat dzalim atau fasik tidak berhak melakukan pencegahan
ini, karena akan menjadi bumerang bagi mereka sendiri, dan tidak akan
membuahkan hasil yang baik.
Lalu bagaimanakah dengan metode dakwah yang cenderung memata-matai? Mungkin
sudah ratusan kali kita mendengar ceramah atau dakwah yang seharusnya menjurus
kepada pencerahan, dan dapat memberi manfaat kepada orang lain, akan tetapi
justru seperti memata- matai dan mengandung unsur- unsur negatif, seperti
penghinaan, pencemaran nama baik, melecehkan, bahkan hasutan yang
cenderung provokatif. Padahal sudah
jelas bahwsanya nabi Muhammad SAW pernah bersabda: ”
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ
الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَافَسُوا وَلَا
تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ
إِخْوَانًا
Jauhilah
berprasangka buruk, karena prasangka buruk adl ucapan yg paling dusta.
Janganlah mencari-cari isu; janganlah mencari-cari kesalahan; janganlah saling
bersaing; janganlah saling mendengki; janganlah saling memarahi; &
janganlah saling membelakangi (memusuhi)! Tetapi, jadilah kalian hamba-hamba
Allah yg bersaudara[2].
[HR. Muslim ].
makna dari hadits ini
adalah ”janganlah kamu sekalian itu, mencari-cari kesalahan orang lain.
Berbicara mengenai “mata-mata” mungkin sudah terprogram jelas di fikiran kita
bahwasanya banyak dari para pendakwah masa kini, yang secara blak-blakan
(langsung) menghina-hina agama lain (non Islam) di depan publik yang padahal
dia sendiri belum tau akan kejelasan dan
fakta yang terjadi di lapangan.
Perlu kita ketahui bahwasanya di negara Indonesia dalam membentuk suatu
kelompok didasarkan atas kesamaan budaya, agama, ethnis, dan bahasa. pada
dasarnya integrasi dalam kehidupan masyarakat muncul dengan saling menjaga
keseimbangan untuk mendekatkan pergaulan antara sesama manusia, integrasi
sosial adalah suatu proses kehidupan yang serasi bagi masyarakatnya. Indonesia
sebagai Negara yang memiliki jumlah penduduk 240 juta jiwa, diperkirakan
sebanyak 220 juta jiwa beragama Islam dan selebihnya beragama Kristen, hindu,
budha, dan konhucu.
Konteksi penyebaran Islam ala tauhid yang telah dikembangkan oleh para
sunan atau wali pada awal masuknya ajaran Islam di Indonesia sekitar abad IX lalu yang dilakukan secara
damai dengan berpandangan bahwa seluruh kehidupan manusia, makhluk lain, dan
alam jagad raya ini merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan satu denagn
lainnya, malah saling bertergantungan dan saling hormat menghormati.
Penyebaran ajaran agama Islam di Indonesia ketika itu, para wali atau sunan
mengajarkan kepada manusia pada empat tingkatan pemahaman secara paripurna,
yakni pemahaman syariat, hakikat, tarekat dan ma’rifat terkesan pada dasarnya
agama Islam adalah agama yang integrasi karena memandang pemeluk agama lain (non Islam), sebagai manusia
ciptaan Allah dan menganggap agama Islam adalah agama Allah yang haq (benar)
bagi yang memeluknya. Sebaliknya bila pengembangan dan pendakwahan ajaran agama
Islam hanya menegakkan syariat saja maka terkesan bahwa ajaran Islam bukanlah
agam integrasi, karena melihat agama lain (non Islam) sebagai agama yang harus
dibenci, dijelek- jelekan. dan orang-orang yang menganutnya dilihatnya sebagai
lawan yang harus dimusnahkan.
Dengan demikian syarat yang harus diperhatikan bagi seorang pendakwah atau
penceramah adalah memastikan dengan yakin bahwa, kemungkaran itu benar-benar
terjadi secara nyata, sehingga memudahkannya dalam melakukan pencegahan atau
pendakwahan. Karena sikap curiga sering kali membuat orang terjerumus pada
lembah kebinasaan, bahkan dia diibaratkan seperti senjata yang makan tuan.
Al- mawardi menyebutkan dalam bukunya Al- ahkam Al sultaniyyah sebagaimana
yang dikutip oleh Adil sukari dalam bukunya, tidak boleh menegakkan amar ma’ruf
nahi mungkar dengan cara “tajassus” (melakukan pengintaian dengan maksud
mencari kesalahan orang lain) terhadap kemungkaran yang belum jelas faktanya[3].
Selain itu hal yang perlu diperhatikan bagi seorang pendakwah atau penceramah
adalah kemungkaran yang ingin di cegah itu tidak akan menimbulkan kemungkaran
yang lebih mungkar. Karena yang menjadi tolak ukur dalam menimbang antara
maslahah dan mafsadat adalah syariat telah menentukan batas- batas keduanya,
maka seorang pendakwah harus mendalami dan memahami tujuan syari’at dengan
benar.
Aturan- aturan dan sanksi- sanksi yang terkandung dalam hukum syariat tidak
terlepas dari dua hal. Pertama untuk menarik kemaslahatan (jaib-masalih), kedua
menolak kerusakan (dar’ al mafasid), semua perintah-perintah dan larangan-
larangan Allah yang terhimpun dalam syariat merujuk pada dua hal tersebut,
Allah tidak bertujuan membuat syariat tersebut untuk memberi kemudzaratan
terhadap manusia, melainkan Allah membuat aturan tersebut sesuai dengan
kepentingan manusia agar mereka hidup dalam kedamaian dan ketentraman, sehingga
mereka selamat dunia dan akhirat. karena kemaslahatanlah yang menjadi prioritas
utama syari’at, karena dalam mencegah suatu kemungkaran kita harus berkaca mata
dengan kaca mata syari’at, sehingga tidak menyimpang dari tujuan-tujuan
syari’ah. Jika sebuah kemungkaran terjadi, setelah ditimbang-timbang maslahah
(dampak positif) dan mafsadat (dampak negative) ternyata lebih besar
mafsadatnya ketimbang maslahatnya maka dalam hal seperti ini boleh meninggalkan
kemungkaran, karena ditakutkan akan menimbulkan kemungkaran yang lebih besar
dari yang dicegah.
Menimbang antara maslahah dan mafsadat merupakan hal yang
penting bagi pencegah nahi mungkar, yang menjadi bahan rujukan dalam menimbang
ini adalah, teks- teks syari’at. untuk itu dibutuhkan ilmu yang cukup,
intelektual, serta pandangan yang luas, bagi seorang pendakwah dalam memahami
syari’at yang tertuang dalam Al qur’an dan sunnah sehingga yang menjadi
pertimbangan bagi seorang pendakwah itu adalah syari’at, dan bukan hawa nafsu[4].
Dengan demikian segala sesuatu perintah agama selalu di kaitkan dengan
kesanggupan.
Hal semacam ini bertujuan untuk melindungi ummat Islam dari perkara yang
bisa mencelakakan diri. Karena dalam aturan Islam sebagaimana yang kita ketahui
dalam hadits bahwasanya, “janganlah kita mencelakakan orang lain dan
janganlah pula mencelakakan diri
sendiri”. Lalu bagaimanakah langkah – langkah konkret yang semestinya ditempuh
oleh para pendakwah dalam melakukan upaya pencegahan kemungkaran, sehingga
terhindar dari kemungkinan- kemungkinan terjadinya banyak problem- problem di
lapangan? Ada beberapa etika atau hal-hal yang harus di tempuh bagi para
pendakwah, atau penceramah agar tidak
menyimpang dari garis- garis kebenaran, hingga selamat dari benturan- benturan
yang tidak di harapkan, langkah ini antara lain:
1)
Membekali diri dengan ilmu serta mengetahui nilai amal hukum dan susunannya
dan juga tingkatan hal- hal yang diperintahkan, yaitu:
ü Pertama, hal-hal yang
dianjurkan (mustahat) yaitu amal yang bila dilakukan akan disenangi oleh Allah,
namun tidak berdosa bila ditinggalkan.
ü Kedua, hal- hal yang benar
disunnatkan (muakkad) yaitu amal yang biasa dilakukan oleh rasulullah SAW, dan
hamper tidak pernah ditinggalkannya, namun beliau tidak menuntut sahabat
mengamalkannya secara ketat.
ü Ketiga, hal-hal yang
diwajibkan menurut sebahagian madzhab yaitu amal yang dperintahkan Allah SWT.
Tetapi perintah tersebut tidak sampai pada tingkat qath’I ( pasti , yang
menerima satu interpretasi)
ü Keempat, hal- hal yang
difardhukan (fardlu) yaitu amal yang kewajiban pelaksanaanya ditetapkan dengan
qathi’I dan tidak ada kesamaan di dalamnya.
2)
Memilih metodologi yang tepat
Seperti yang telah kita uraikan di atas bahwasanya janganlah bagi para
pendakwah itu melakukan metode dakwah secara “tajassus”, ataupun melakukan
metode dakwah yang hanya mengandung unsur- unsur lawakan yang tidak bermanfaat yang
hanya akan membutakan dan menutup pintu hati dan jiwa, dan terkoneknya hati,
dengan cinta kepada dunia, bahkan bermaksud untuk menghancurkan atau merusak
nama baik suatu kelompok atau kaum. Ada juga yang menyertakan dendam pribadi
dalam pelaksanaan suatu dakwah. hal ini memang harus benar- benar diperhatikan
secara detail dalam suatu proses pendakwahan. Akan Tetapi, hendaklah bagi para
pendakwah itu memaparkan sesuatu hal yang bermanfaat, mengenai ilmu agama. yang
tidak terdapat didalamnya suatu penghinaan, pencemaran nama baik, atau membeda-
bedakan suatu kelompok dengan kelompok yang lainnya, yang tidak jelas asal-muasal
beritanya. Tetapi, hendaklah melakukan
suatu pendakwahan yang dapat membuat si
pendengar itu sadar, akan dosa- dosa yang telah ia perbuat. Mengajak hati
mereka untuk terus mendekatkan diri kepada Allah, sehingga dapat membuat
terkoneknya hati mereka dengan cinta kepada akhirat.
Tentunya dalam melakukan komunikasi dengan para pendengar haruslah
menggunakan kata- kata atau ungkapan yang sesuai, yang mampu menembus hati si
pendengar. salah satu nya adalah dengan tutur kata yang lembut. Kata- kata yang
disusun dengan logat bahasa yang menawan penuh kelembutan, akan menores bekas
yang kuat, membukakan hati, dan melapangkan dada. Sebaliknya kata- kata yang
kasar akan membuat orang lari dan menimbulkan kebencian di hati. hati manusia
mendambakan kelembutan, jiwa manusia juga haus akan kelembutan, tidak ada cara
lain untuk mengetuk pintu hati para pendegar kecuali dengan menyuguhkan kata-
kata lembut, akan tetapi mempunyai makna yang dalam mengenai ilmu agama. Agar
jiwa mereka tersentak, dan terbangun dari kelalaian yang pernah mereka perbuat.
Bahkan ketika Allah memerintahkan nabi musa dan harun untuk menghadap fir’ aun,
seorang raja yang membuat kemungkaran di bumu mesir, Allah memberikan sebuah
petuah kepada keduanya, agar menggunakan bahasa yang lembut, untuk menghadapi
fir’aun, Allah berfirman:
“pergilah kamu berdua kepada
fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas. Maka bicaralah padanya dengan
lemah lembut. Muda-mudahan ia ingat atau takut” (QS. Thaha: 43-44)
Ayat tersebut diatas mengandung pengertian bahwa dalam menasehati, menyadarkan
atau mengajak orang lain dalam berbuat kebajikan, diperlukannya komunikasi yang
baik. Komunikasi yang baik yang dimaksud ayat tersebut adalah dengan tutur kata
yang lemah lembut[5].
Allah menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa kelembutan akan mudah menyadarkan
seseorang, sehingga ia merasa takut, karena telah menyimpang dari jalan yang
benar. Sudah seharusnya dan sepatutnya bagi para pendakwah masa kini, untuk
menggunakan metode yang lemah lembut, dalam menjalankan misi pendakwahan.
Penulis adalah:
Santriwati kelas XI MAS Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Kreung Kalee.
[3] Adil Sukari, Al-Amr bi Al
Ma’ruf ‘ind al Usuliyyin, (Kairo: Al-Zahra’ li al-Ilam al-Arabi,1993), hal. 84.
Posting Komentar