Peringatan
Maulid Nabi pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Irak sekarang), bernama
Muzhaffaruddin al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah. Ibn Katsir dalam
kitab Tarikh berkata: “Raja Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada
bulan Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah
seorang pemberani, pahlawan, alim dan seorang yang adil -semoga Allah
merahmatinya-”.
Dijelaskan
oleh Sibth (cucu) Ibn al-Jauzi bahwa dalam peringatan tersebut raja
al-Muzhaffar mengundang seluruh rakyatnya dan seluruh para ulama dari berbagai
disiplin ilmu, baik ulama fiqh, ulama hadits, ulama kalam, ulama ushul, para
ahli tasawwuf dan lainnya. Sejak tiga hari sebelum hari pelaksanaan beliau
telah melakukan berbagai persiapan. Ribuan kambing dan unta disembelih untuk
hidangan para tamu yang akan hadir dalam perayaan Maulid Nabi tersebut. Segenap
para ulama saat itu membenarkan dan menyetujui apa yang dilakukan oleh raja
al-Muzhaffar tersebut. Mereka semua mengapresiasi dan menganggap baik perayaan
maulid Nabi yang digelar untuk pertama kalinya itu. Ibn Khallikan dalam kitab
Wafayat al-A’yan menceritakan bahwa al-Imam al-Hafizh Ibn Dihyah datang dari
Maroko menuju Syam untuk selanjutnya menuju Irak, ketika melintasi daerah Irbil
pada tahun 604 H, beliau mendapati Raja al-Muzhaffar, raja Irbil tersebut
sangat besar perhatiannya terhadap perayaan Maulid Nabi. Oleh karenanya
al-Hafzih Ibn Dihyah kemudian menulis sebuah buku tentang Maulid Nabi yang
diberi judul “at-Tanwir Fi Maulid al-Basyir an-Nadzir”. Karya ini kemudian
beliau hadiahkan kepada raja al-Muzhaffar.
Hukum
Peringatan Maulid Nabi
Peringatan
Maulid Nabi Muhammad yang dirayakan dengan membaca sebagian ayat-ayat al-Qur’an
dan menyebutkan sebagian sifat-sifat nabi yang mulia, ini adalah perkara yang
penuh dengan berkah dan kebaikan kebaikan yang agung. Tentu jika perayaan
tersebut terhindar dari bid’ah-bid’ah sayyi-ah yang dicela oleh syara’.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa perayaan Maulid Nabi mulai dilakukan pada
permulaan abad ke 7 H. Ini berarti kegiatan ini tidak pernah dilakukan oleh
Rasulullah, para sahabat dan generasi Salaf. Namun demikian tidak berarti hukum
perayaan Maulid Nabi dilarang atau sesuatu yang haram. Karena segala sesuatu
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah atau tidak pernah dilakukan oleh
para sahabatnya belum tentu bertentangan dengan ajaran Rasulullah sendiri. Para ulama menggolongkan perayaan Maulid Nabi sebagai
bagian dari bid’ah hasanah. Artinya bahwa perayaan Maulid Nabi ini merupakan
perkara baru yang sejalan dengan ajaran-ajaran al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi
dan sama sekali tidak bertentangan dengan keduanya.
Dalil-Dalil
Peringatan Maulid Nabi
- Peringatan Maulid Nabi masuk dalam anjuran
hadits nabi untuk membuat sesuatu yang baru yang baik dan tidak menyalahi
syari’at Islam. Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه مسلم في صحيحه)
“Barang
siapa yang memulai (merintis) dalam Islam sebuah perkara baik maka ia akan mendapatkan
pahala dari perbuatan baiknya tersebut, dan ia juga mendapatkan pahala dari
orang yang mengikutinya setelahnya, tanpa berkurang pahala mereka sedikitpun”.
(HR. Muslim dalam kitab Shahihnya).
Faedah
Hadits:
Hadits
ini memberikan keleluasaan kepada ulama ummat Nabi Muhammad untuk merintis
perkara-perkara baru yang baik yang tidak bertentangan dengan al-Qur’an,
Sunnah, Atsar maupun Ijma’. Peringatan maulid Nabi adalah perkara baru yang
baik dan sama sekali tidak menyalahi satu-pun di antara dalil-dalil tersebut.
Dengan demikian berarti hukumnya boleh, bahkan salah satu jalan untuk
mendapatkan pahala. Jika ada orang yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi,
berarti telah mempersempit keleluasaan yang telah Allah berikan kepada
hamba-Nya untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik yang belum pernah ada pada
masa Nabi.
2.
Dalil-dalil tentang adanya Bid’ah Hasanah yang telah disebutkan dalam
pembahasan mengenai Bid’ah.
3.
Hadits riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dalam kedua kitab Shahih-nya.
Diriwayatkan bahwa ketika Rasulullah tiba di Madinah, beliau mendapati
orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram). Rasulullah
bertanya kepada mereka: “Untuk apa mereka berpuasa?” Mereka menjawab: “Hari ini
adalah hari ditenggelamkan Fir'aun dan diselamatkan Nabi Musa, dan kami
berpuasa di hari ini adalah karena bersyukur kepada Allah”. Kemudian Rasulullah
bersabda:
أَنَا أَحَقُّ بِمُوْسَى مِنْكُمْ
“Aku
lebih berhak terhadap Musa daripada kalian”.
Lalu
Rasulullah berpuasa dan memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa.
Faedah
Hadits:
Pelajaran
penting yang dapat diambil dari hadits ini ialah bahwa sangat dianjurkan untuk
melakukan perbuatan syukur kepada Allah pada hari-hari tertentu atas nikmat
yang Allah berikan pada hari-hari tersebut. Baik melakukan perbuatan syukur
karena memperoleh nikmat atau karena diselamatkan dari marabahaya. Kemudian
perbuatan syukur tersebut diulang pada hari yang sama di setiap tahunnya.
Bersyukur kepada Allah dapat dilakukan dengan melaksanakan berbagai bentuk
ibadah, seperti sujud syukur, berpuasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan
semacamnya. Bukankah kelahiran Rasulullah adalah nikmat yang paling besar bagi
umat ini?! Adakah nikmat yang lebih agung dari dilahirkannya Rasulullah pada
bulan Rabi’ul Awwal ini?! Adakah nikmat dan karunia yang lebih agung dari pada
kelahiran Rasulullah yang menyelamatkan kita dari jalan kesesatan?! Demikian inilah
yang telah dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani.
4.
Hadits riwayat Imam Muslim dalam kitab Shahih. Bahwa Rasulullah ketika ditanya
mengapa beliau puasa pada hari Senin, beliau menjawab:
ذلِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ
“Hari
itu adalah hari dimana aku dilahirkan”. (HR Muslim)
Faedah
Hadits:
Hadits
ini menunjukkan bahwa Rasulullah melakukan puasa pada hari senin karena
bersyukur kepada Allah, bahwa pada hari itu beliau dilahirkan. Ini adalah isyarat
dari Rasulullah, artinya jika beliau berpuasa pada hari senin karena bersyukur
kepada Allah atas kelahiran beliau sendiri pada hari itu, maka demikian pula
bagi kita sudah selayaknya pada tanggal kelahiran Rasulullah tersebut untuk
melakukan perbuatan syukur, misalkan dengan membaca al-Qur’an, membaca kisah
kelahirannya, bersedekah, atau perbuatan baik lainnya. Kemudian, oleh karena
puasa pada hari senin diulang setiap minggunya, maka berarti peringatan maulid
juga diulang setiap tahunnya. Dan karena hari kelahiran Rasulullah masih
diperselisihkan oleh para ulama mengenai tanggalnya, -bukan pada harinya-, maka
sah-sah saja jika dilakukan pada tanggal 12, 2, 8, atau 10 Rabi'ul Awwal atau
pada tanggal lainnya. Bahkan tidak masalah bila perayaan ini dilaksanakan dalam
sebulan penuh sekalipun, sebagaimana ditegaskan oleh al-Hafizh as-Sakhawi
seperti yang akan dikutip di bawah ini.
Fatwa
Beberapa Ulama Ahlussunnah
1. Fatwa
Syaikh al-Islam Khatimah al-Huffazh Amir al-Mu’minin Fi al-Hadits al-Imam Ahmad
Ibn Hajar al-‘Asqalani. Beliau menuliskan menuliskan sebagai berikut:
أَصْلُ عَمَلِ الْمَوْلِدِ بِدْعَةٌ لَمْ تُنْقَلْ عَنِ السَّلَفِ الصَّالِحِ مِنَ الْقُُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ، وَلكِنَّهَا مَعَ ذلِكَ قَدْ اشْتَمَلَتْ عَلَى مَحَاسِنَ وَضِدِّهَا، فَمَنْ تَحَرَّى فِيْ عَمَلِهَا الْمَحَاسِنَ وَتَجَنَّبَ ضِدَّهَا كَانَتْ بِدْعَةً حَسَنَةً" وَقَالَ: "وَقَدْ ظَهَرَ لِيْ تَخْرِيْجُهَا عَلَى أَصْلٍ ثَابِتٍ.
“Asal
peringatan maulid adalah bid’ah yang belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh
yang hidup pada tiga abad pertama, tetapi demikian peringatan maulid mengandung
kebaikan dan lawannya, jadi barangsiapa dalam peringatan maulid berusaha
melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi lawannya (hal-hal yang buruk),
maka itu adalah bid’ah hasanah”. Al-Hafizh Ibn Hajar juga mengatakan: “Dan
telah nyata bagiku dasar pengambilan peringatan Maulid di atas dalil yang
tsabit (Shahih)”.
2. Fatwa
al-Imam al-Hafizh as-Suyuthi. Beliau mengatakan dalam risalahnya Husn
al-Maqshid Fi ‘Amal al-Maulid: Beliau menuliskan sebagai berikut:
عِنْدِيْ أَنَّ أَصْلَ عَمَلِ الْمَوِلِدِ الَّذِيْ هُوَ اجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ القُرْءَانِ وَرِوَايَةُ الأَخْبَارِ الْوَارِدَةِ فِيْ مَبْدَإِ أَمْرِ النَّبِيِّ وَمَا وَقَعَ فِيْ مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ، ثُمَّ يُمَدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأْكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذلِكَ هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ. وَأَوَّلُ مَنْ أَحْدَثَ ذلِكَ صَاحِبُ إِرْبِل الْمَلِكُ الْمُظَفَّرُ أَبُوْ سَعِيْدٍ كَوْكَبْرِيْ بْنُ زَيْنِ الدِّيْنِ ابْنِ بُكْتُكِيْن أَحَدُ الْمُلُوْكِ الأَمْجَادِ وَالْكُبَرَاءِ وَالأَجْوَادِ، وَكَانَ لَهُ آثاَرٌ حَسَنَةٌ وَهُوَ الَّذِيْ عَمَّرَ الْجَامِعَ الْمُظَفَّرِيَّ بِسَفْحِ قَاسِيُوْنَ.
“Menurutku:
pada dasarnya peringatan maulid, berupa kumpulan orang-orang, berisi bacaan
beberapa ayat al-Qur’an, meriwayatkan hadits-hadits tentang permulaan sejarah
Rasulullah dan tanda-tanda yang mengiringi kelahirannya, kemudian disajikan
hidangan lalu dimakan oleh orang-orang tersebut dan kemudian mereka bubar
setelahnya tanpa ada tambahan-tambahan lain, adalah termasuk bid’ah hasanah
yang pelakunya akan memperoleh pahala. Karena perkara semacam itu merupakan perbuatan
mengagungkan terhadap kedudukan Rasulullah dan merupakan penampakan akan rasa
gembira dan suka cita dengan kelahirannya yang mulia. Orang yang pertama kali
merintis peringatan maulid ini adalah penguasa Irbil, Raja al-Muzhaffar Abu
Sa'id Kaukabri Ibn Zainuddin Ibn Buktukin, salah seorang raja yang mulia, agung
dan dermawan. Beliau memiliki peninggalan dan jasa-jasa yang baik, dan dialah
yang membangun al-Jami’ al-Muzhaffari di lereng gunung Qasiyun”.
3. Fatwa
al-Imam al-Hafizh as-Sakhawi seperti disebutkan dalam al-Ajwibah al-Mardliyyah,
sebagai berikut:
لَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ السَّلَفِ الصَّالِحِ فِيْ الْقُرُوْنِ الثَّلاَثَةِ الْفَاضِلَةِ، وَإِنَّمَا حَدَثَ بَعْدُ، ثُمَّ مَا زَالَ أَهْـلُ الإِسْلاَمِ فِيْ سَائِرِ الأَقْطَارِ وَالْمُـدُنِ الْعِظَامِ يَحْتَفِلُوْنَ فِيْ شَهْرِ مَوْلِدِهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّفَ وَكَرَّمَ- يَعْمَلُوْنَ الْوَلاَئِمَ الْبَدِيْعَةَ الْمُشْتَمِلَةَ عَلَى الأُمُوْرِ البَهِجَةِ الرَّفِيْعَةِ، وَيَتَصَدَّقُوْنَ فِيْ لَيَالِيْهِ بِأَنْوَاعِ الصَّدَقَاتِ، وَيُظْهِرُوْنَ السُّرُوْرَ، وَيَزِيْدُوْنَ فِيْ الْمَبَرَّاتِ، بَلْ يَعْتَنُوْنَ بِقِرَاءَةِ مَوْلِدِهِ الْكَرِيْمِ، وَتَظْهَرُ عَلَيْهِمْ مِنْ بَرَكَاتِهِ كُلُّ فَضْلٍ عَمِيْمٍ بِحَيْثُ كَانَ مِمَّا جُرِّبَ". ثُمَّ قَالَ: "قُلْتُ: كَانَ مَوْلِدُهُ الشَّرِيْفُ عَلَى الأَصَحِّ لَيْلَةَ الإِثْنَيْنِ الثَّانِيَ عَشَرَ مِنْ شَهْرِ رَبِيْع الأَوَّلِ، وَقِيْلَ: لِلَيْلَتَيْنِ خَلَتَا مِنْهُ، وَقِيْلَ: لِثَمَانٍ، وَقِيْلَ: لِعَشْرٍ وَقِيْلَ غَيْرُ ذَلِكَ، وَحِيْنَئِذٍ فَلاَ بَأْسَ بِفِعْلِ الْخَيْرِ فِيْ هذِهِ الأَيَّامِ وَاللَّيَالِيْ عَلَى حَسَبِ الاسْتِطَاعَةِ بَلْ يَحْسُنُ فِيْ أَيَّامِ الشَّهْرِ كُلِّهَا وَلَيَالِيْهِ.
“Peringatan
Maulid Nabi belum pernah dilakukan oleh seorang-pun dari kaum Salaf Saleh yang
hidup pada tiga abad pertama yang mulia, melainkan baru ada setelah itu di
kemudian. Dan ummat Islam di semua daerah dan kota-kota besar senantiasa
mengadakan peringatan Maulid Nabi pada bulan kelahiran Rasulullah. Mereka
mengadakan jamuan-jamuan makan yang luar biasa dan diisi dengan hal-hal yang
menggembirakan dan baik. Pada malam harinya, mereka mengeluarkan berbagai macam
sedekah, mereka menampakkan kegembiraan dan suka cita. Mereka melakukan
kebaikan-kebaikan lebih dari biasanya. Mereka bahkan meramaikan dengan membaca
buku-buku maulid. Dan nampaklah keberkahan Nabi dan Maulid secara merata. Dan
ini semua telah teruji”. Kemudian as-Sakhawi berkata: “Aku Katakan: “Tanggal
kelahiran Nabi menurut pendapat yang paling shahih adalah malam Senin, tanggal
12 bulan Rabi’ul Awwal. Menurut pendapat lain malam tanggal 2, 8, 10 dan masih
ada pendapat-pendapat lain. Oleh karenanya tidak mengapa melakukan kebaikan
kapanpun pada hari-hari dan malam-malam ini sesuai dengan kesiapan yang ada,
bahkan baik jika dilakukan pada hari-hari dan malam-malam bulan Rabi'ul Awwal
seluruhnya” .
Jika
kita membaca fatwa-fatwa para ulama terkemuka ini dan merenungkannya dengan
hati yang jernih, kita akan mengetahui bahwa sebenarnya sikap “sinis” yang
timbul dari sebagian orang yang mengharamkan Maulid Nabi tidak lain hanya
didasarakan kepada hawa nafsu belaka. Orang-orang semacam itu sama sekali tidak
peduli dengan fatwa-fatwa para ulama saleh terdahulu. Di antara pernyataan
mereka yang sangat merisihkan ialah bahwa mereka seringkali menyamakan
peringatan maulid Nabi ini dengan perayaan Natal yang dilakukan oleh orang-orang
Nasrani. Bahkan salah seorang dari mereka, karena sangat benci terhadap
perayaan Maulid Nabi ini, dengan tanpa malu dan tanpa risih sama sekali
berkata:
الذَّبِيْحَةَ الَّتِيْ تُذْبَحُ لإِطْعَامِ النَّاسِ فِيْ الْمَوْلِدِ أَحْرَمُ مِنَ الْخِنْزِيْرِإِنَّ
“Sesungguhnya
binatang sembelihan yang disembelih untuk menjamu orang dalam peringatan maulid
lebih haram dari daging babi”.
Orang-orang
anti maulid ini menganggap bahwa perbuatan bid’ah semcam Maulid Nabi ini adalah
perbuatan yang mendekati syirik. Dengan demikian, -menurut mereka-, lebih besar
dosanya dari pada memakan daging babi yang hanya haram saja dan tidak
mengandung unsur syirik.
Jawab: Na’udzu
Billah. Sungguh sangat kotor dan buruk perkataan orang semacam ini. Bagaimana
ia berani dan tidak punya rasa malu sama sekali mengatakan peringatan Maulid
Nabi, -yang telah disetujui oleh para ulama dan orang-orang saleh dan telah
dianggap sebagai perkara baik oleh para ahli hadits dan lainnya-, dengan
perkataan seburuk seperti ini?! Orang seperti ini benar-benar tidak tahu diri.
Apakah dia merasa telah menjadi seperti al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani,
al-Hafzih as-Suyuthi atau al-Hafizh as-Sakhawi atau bahkan merasa lebih alim
dari mereka?! Bagaimana ia membandingkan makan daging babi yang telah nyata dan
tegas hukum haramnya di dalam al-Qur’an, lalu ia samakan dengan peringatan
Maulid Nabi yang sama sekali tidak ada pengharamannya dari nash-nash syari’at?!
Ini artinya, bahwa orang-orang semacam dia yang mengharamkan maulid ini tidak
mengetahui Maratib al-Ahkam; tingkatan-tingkatan hukum. Mereka tidak mengetahui
mana yang haram dan mana yang mubah, mana yang haram dengan nash dan mana yang
haram dengan istinbath. Tentunya orang-orang ”tolol” semacam ini sama sekali
tidak layak untuk diikuti dan dijadikan panutan atau ikutan dalam mengamalkan
ajaran agama Allah ini.
Pembacaan
Buku-Buku Maulid
Di
antara rangkaian acara peringatan Maulid Nabi adalah membaca kisah-kisah
tentang kelahiran Rasulullah. Al-Hafizh as-Sakhawi menuliskan sebagai berikut:
وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْمَوْلِدِ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُقْتَصَرَ مِنْهُ عَلَى مَا أَوْرَدَهُ أَئِمَّةُ الْحَدِيْثِ فِيْ تَصَانِيْفِهِمْ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ كَالْمَوْرِدِ الْهَنِيِّ لِلْعِرَاقِيِّ – وَقَدْ حَدَّثْتُ بِهِ فِيْ الْمَحَلِّ الْمُشَارِ إِلَيْهِ بِمَكَّةَ-، وَغَيْرِ الْمُخْتَصَّةِ بِهِ بَلْ ذُكِرَ ضِمْنًا كَدَلاَئِلِ النُّـبُوَّةِ لِلْبَيْهَقِيِّ، وَقَدْ خُتِمَ عَلَيَّ بِالرَّوْضَةِ النَّـبَوِيَّةِ، لأَنَّ أَكْثَرَ مَا بِأَيْدِيْ الْوُعَّاظِ مِنْهُ كَذِبٌ وَاخْتِلاَقٌ، بَلْ لَمْ يَزَالُوْا يُوَلِّدُوْنَ فِيْهِ مَا هُوَ أَقْبَحُ وَأَسْمَجُ مِمَّا لاَ تَحِلُّ رِوَايَتُهُ وَلاَ سَمَاعُهُ، بَلْ يَجِبُ عَلَى مَنْ عَلِمَ بُطْلاَنُهُ إِنْكَارُهُ، وَالأَمْرُ بِتَرْكِ قِرَائِتِهِ، عَلَى أَنَّهُ لاَ ضَرُوْرَةَ إِلَى سِيَاقِ ذِكْرِ الْمَوْلِدِ، بَلْ يُكْتَفَى بِالتِّلاَوَةِ وَالإِطْعَامِ وَالصَّدَقَةِ، وَإِنْشَادِ شَىْءٍ مِنَ الْمَدَائِحِ النَّـبَوِيَّةِ وَالزُّهْدِيَّةِ الْمُحَرِّكَةِ لِلْقُلُوْبِ إِلَى فِعْلِ الْخَيْرِ وَالْعَمَلِ لِلآخِرَةِ وَاللهُ يَهْدِيْ مَنْ يَشَاءُ.
“Adapun
pembacaan kisah kelahiran Nabi maka seyogyanya yang dibaca hanya yang
disebutkan oleh para ulama ahli hadits dalam karangan-karangan mereka yang
khusus berbicara tentang kisah kelahiran Nabi, seperti al-Maurid al-Haniyy
karya al-‘Iraqi (Aku juga telah mengajarkan dan membacakannya di Makkah), atau
tidak khusus -dengan karya-karya tentang maulid saja- tetapi juga dengan
menyebutkan riwayat-riwayat yang mengandung tentang kelahiran Nabi, seperti
kitab Dala-il an-Nubuwwah karya al-Baihaqi. Kitab ini juga telah dibacakan
kepadaku hingga selesai di Raudlah Nabi. Karena kebanyakan kisah maulid yang
ada di tangan para penceramah adalah riwayat-riwayat bohong dan palsu, bahkan
hingga kini mereka masih terus memunculkan riwayat-riwayat dan kisah-kisah yang
lebih buruk dan tidak layak didengar, yang tidak boleh diriwayatkan dan didengarkan,
justru sebaliknya orang yang mengetahui kebatilannya wajib mengingkari dan
melarang untuk dibaca. Padahal sebetulnya tidak mesti ada pembacaan kisah-kisah
maulid dalam peringatan maulid Nabi, melainkan cukup membaca beberapa ayat
al-Qur’an, memberi makan dan sedekah, didendangkan bait-bait Mada-ih Nabawiyyah
(pujian-pujian terhadap Nabi) dan syair-syair yang mengajak kepada hidup zuhud,
mendorong hati untuk berbuat baik dan beramal untuk akhirat. Dan Allah memberi
petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki”.
Kerancuan
Faham Kalangan Anti Maulid
1.
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid
Nabi tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, juga tidak pernah dilakukan oleh
para sahabatnya. Seandainya hal itu merupakan perkara baik niscaya mereka telah
mendahului kita dalam melakukannya”.
Jawab: Baik, Rasulullah tidak melakukannya, apakah
beliau melarangnya? Perkara yang tidak dilakukan oleh Rasulullah tidak
sertamerta sebagai sesuatu yang haram. Tapi sesuatu yang haram itu adalah
sesuatu yang telah nyata dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah. Karena itu
Allah berfirman:
(الحشر: 7) فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا الرَّسُولُ آَتَاكُمُ وَمَا
“Apa
yang diberikan oleh Rasulullah kepadamu maka terimalah dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah”. (QS. al-Hasyr: 7)
Dalam
firman Allah di atas disebutkan “Apa yang dilarang ole Rasulullah atas kalian
maka tinggalkanlah”, tidak mengatakan “Apa yang ditinggalkan oleh Rasulullah
maka tinggalkanlah”. Ini artinya bahwa perkara haram adalah sesuatu yang
dilarang dan diharamkan oleh Rasulullah, bukan sesuatu yang ditinggalkannya.
Suatu perkara itu tidak haram hukumnya hanya dengan alasan tidak dilakukan oleh
Rasulullah. Melainkan ia menjadi haram ketika ada dalil yang melarang dan
mengharamkannya.
Lalu
kita katakan kepada mereka: Apakah untuk mengetahui bahwa sesuatu itu boleh
atau sunnah harus ada nash dari Rasulullah langsung yang secara khusus
menjelaskannya?! Apakah untuk mengetahui boleh atau sunnahnya perkara maulid
harus ada nash khusus dari Rasulullah yang berbicara tentang maulid itu
sendiri?! Bagaimana mungkin Rasulullah berbicara atau melakukan segala sesuatu
secara khusus dalam umurnya yang sangat singkat?! Bukankah jumlah nash-nash
syari’at, baik ayat-ayat al-Qur’an maupun hadits-hadits nabi, itu semua
terbatas, artinya tidak membicarakan setiap peristiwa, padahal
peristiwa-peristiwa baru akan terus bermunculan dan selalu bertambah?! Jika
setiap perkara harus dibicarakan oleh Rasulullah langsung, lalu dimanakah
posisi ijtihad dan apa fungsi ayat-ayat atau hadits-hadits yang memberikan
pemahaman umum?! Misalkan firman Allah:
“Dan
lakukan kebaikan oleh kalian supaya kalian beruntung” (QS. al Hajj: 77)
Apakah
kemudian setiap bentuk kebaikan harus dikerjakan terlebih dahulu oleh
Rasulullah supaya dihukumi bahwa kebaikan tersebut boleh dilakukan?! Tentunya tidak
demikian. Dalam masalah ini Rasulullah hanya memberikan kaedah-kaedah atau
garis besarnya saja. Karena itulah dalam setiap pernyataan Rasulullah terdapat
apa yang disebut dengan Jawami’ al-Kalim. Artinya bahwa dalam setiap ungkapan
Rasulullah terdapat kandungan makna yang sangat luas. Dalam sebuah hadits
shahih Rasulullah bersabda:
مَنْ سَنَّ فيِ اْلإِسْـلاَمِ سُنَّةً حَسَنـَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ (رواه الإمام مسلم في صحيحه)
“Barang
siapa yang memulai (merintis perkara baru) dalam Islam sebuah perkara yang baik
maka ia akan mendapatkan pahala dari perbuatannya tersebut dan pahala dari
orang-orang yang mengikutinya sesudah dia, tanpa berkurang pahala mereka
sedikitpun”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya).
Dalam
hadits shahih lainnya, Rasulullah bersabda:
“Barang siapa merintis sesuatu yang baru dalam
agama kita ini yang bukan berasal darinya maka ia tertolak”. (HR. Muslim)
Dalam
hadits ini Rasulullah menegaskan bahwa sesuatu yang baru dan tertolak adalah
sesuatu yang “bukan bagian dari syari’atnya”. Artinya, sesuatu yang baru yang
tertolak adalah yang menyalahi syari’at Islam itu sendiri. Inilah yang dimaksud
dengan pernyataan Rasulullah dalam hadits di atas: “Ma Laisa Minhu”. Karena,
seandainya semua perkara yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah atau oleh
para sahabatnya adalah perkara yang pasti haram dan sesat dengan tanpa
terkecuali, maka Rasulullah tidak akan mengatakan “Ma Laisa Minhu”, tapi
mungkin akan berkata: “Man Ahdatsa Fi Amrina Hadza Syai’an Fa Huwa Mardud”
(Siapapun yang merintis perkara baru dalam agama kita ini maka ia pasti
tertolak). Dan bila maknanya seperti ini maka berarti hal ini bertentangan
dengan hadits riwayat Imam Muslim di atas sebelumnya. Yaitu hadits: “Man Sanna
Fi al-Islam Sunnatan Hasanatan....”. Padalah hadits riwayat Imam Muslim ini
megandung isyarat anjuran bagi kita untuk membuat suatu yang baru, yang baik,
dan yang sejalan dengan syari’at Islam. Dengan demikian tidak semua perkara
baru adalah sesat dan tertolak. Namun setiap perkara baru harus dicari hukumnya
dengan dilihat persesuaiannya dengan dalil-dalil dan kaedah-kaedah syara’. Bila
sesuai maka boleh dilakukan, dan jika menyalahi maka tentu tidak boleh
dilakukan. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menuliskan sebagai
berikut
“Cara
mengetahui bid’ah yang hasanah dan sayyi-ah menurut tahqiq (penelitian) para
ulama adalah; bahwa jika perkara baru tersebut masuk dan tergolong kepada hal
yang baik dalam syara’ berarti termasuk bid’ah hasanah, dan jika tergolong
kepada hal yang buruk dalam syara’ maka berarti termasuk bid’ah yang buruk”.
Pantaskah
dengan keagungan Islam dan keluasan kaedah-kaedahnya jika dikatakan bahwa
setiap perkara baru adalah sesat?
2.
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi biasanya berkata: “Peringatan
maulid itu sering dibarengi dengan perkara-perkara haram dan maksiat”.
Jawab: Apakah
karena alasan tersebut lantas peringatan maulid menjadi haram secara mutlak?!
Pendekatannya; Apakah seseorang haram baginya untuk masuk ke pasar, dengan
alasan di pasar banyak yang sering melakukan perbuatan haram, seperti membuka
aurat, menggunjingkan orang, menipu dan lain sebagainya?! Tentu tidak demikian.
Maka demikian pula dengan peringatan maulid, jika ada kesalahan-kesalahan atau
perkara-perkara haram dalam pelaksanaannya, maka kesalahan-kesalahan itulah
yang harus diperbaiki. Dan memperbaikinya tentu bukan dengan mengharamkan hukum
maulid itu sendiri. Karena itulah al-Hafizh Ibn Hajar telah mengatakan: “Asal peringatan maulid adalah bid’ah yang
belum pernah dinukil dari kaum Salaf saleh pada tiga abad pertama, tetapi meski
demikian peringatan maulid mengandung kebalikan dan lawannya. Barangsiapa dalam
memperingati maulid berusaha melakukan hal-hal yang baik saja dan menjauhi
lawannya (hal-hal buruk yang diharamkan), maka itu adalah bid’ah hasanah”.
3.
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi berkata: “Peringatan Maulid
itu seringkali menghabiskan dana yang sangat besar. Hal itu adalah perbuatan
tabdzir. Mengapa tidak dialokasikan saja untuk kebutuhan ummat yang lebih
penting?”.
Jawab: Laa
Hawla Walaa Quwwata Illa Billah. Perkara yang telah dianggap baik oleh para
ulama disebutnya sebagai tabdzir?! Orang yang berbuat baik, bersedekah, ia
anggap telah melakukan perbuatan haram, yaitu perbuatan tabdzir?! Mengapa
orang-orang seperti ini selalu saja berprasangka buruk (suuzhzhann) terhadap
umat Islam?! Mengapa harus mencari-cari dalih untuk mengharamkan perkara yang
tidak diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya?! Mengapa mereka selalu saja
beranggapan bahwa peringatan maulid tidak ada unsur kebaikannya sama sekali
untuk ummat ini?! Bukankah peringatan Maulid Nabi mengingatkan kita kepada
perjuangan Rasulullah dalam berdakwah sehingga membangkitkan semangat kita
untuk berdakwah seperti yang telah dicontohkan beliau?! Bukankah peringatan
Maulid Nabi memupuk kecintaan kita kepada Rasulullah dan menjadikan kita banyak
bershalawat kepadanya?! Sesungguhnya maslahat-maslahat besar semacam ini bagi
orang yang beriman tidak bisa diukur dengan harta.
4.
Kalangan yang mengharamkan peringatan Maulid Nabi sering berkata: “Peringatan
Maulid itu pertama kali diadakan oleh Sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Tujuan
beliau saat itu adalah memobilisasi ummat untuk berjihad. Berarti orang yang
melakukan peringatan maulid bukan dengan tujuan itu, telah menyimpang dari tujuan
awal maulid. Oleh karenanya peringatan maulid tidak perlu”.
Jawab:
Pernyataan
seperti ini sangat aneh. Ahli sejarah mana yang mengatakan bahwa orang yang
pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah sultan Shalahuddin al-Ayyubi.
Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn al-Jauzi, Ibn Katsir,
al-Hafizh as-Sakhawi, al-Hafizh as-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan
bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Raja
al-Muzhaffar, bukan sultan Shalahuddin al-Ayyubi. Orang yang mengatakan bahwa
sultan Shalahuddin al-Ayyubi yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi telah
membuat “rekayasa jahat” terhadap sejarah. Perkataan mereka bahwa sultan
Shalahuddin membuat maulid untuk tujuan mobilisasi umat untuk jihad dalam perang
salib, maka jika diadakan bukan untuk tujuan seperti ini berarti telah
menyimpang, adalah perkataan yang menyesesatkan.
Target
mereka yang berkata demikian adalah hendak mengharamkan maulid, atau paling
tidak hendak mengatakan tidak perlu. Kita katakan kepada mereka: Apakah jika
orang hendak berjuang harus bergabung dengan bala tentara sultan Shalahuddin?
Apakah menurut mereka yang berjuang untuk Islam hanya bala tentara sultan
Shalahuddin saja? Dan apakah dalam berjuang harus mengikuti metode dan strategi
Shalahuddin saja, dan jika tidak, berarti tidak berjuang namanya?! Hal yang
sangat mengherankan ialah kenapa bagi sebagian mereka yang mengharamkan maulid
ini, dalam keadaan tertentu, atau untuk kepentingan tertentu, kemudian mereka
mengatakan maulid boleh, istighotsah boleh, bahkan ikut-ikutan tawassul, tapi
kemudian terhadap orang lain mereka mengharamkannya?! Hasbunallah.
Posting Komentar