Sistem pendidikan sebuah bangsa sejatinya
merupakan sumber daya manusia dan bangsa itu dipersiapkan. Sangat wajar jika
kemajuan dan suksesnya suatu bangsa dikaitkan erat dengan pengelolaan sistem
pendidikannya, begitu juga dengan sejahtera atau tidaknya publik bangsa kita
ini, juga tidak pernah luput dari sistem pendidikan yang tampaknya tidak pernah
ditangani secara serius, khususnya pendidikan yang menekankan syari’at Islam.
Salah satu problematika kehidupan bangsa yang
terpenting di abad ke-21 ini adalah kurangnya pengajaran pendidikan
yang syar’i, seperti moral dan akhlak. Kemerosotan nilai-nilai
moral yang mulai melanda masyarakat kita saat ini tidak lepas dari
ketidakefektifan penanaman nilai-nilai syar’i baik di lingkungan sekolah,
maupun dalam lingkungan bermasyarakat. Secara keseluruhan efektivitas paradigma
pendidikan syar’i yang berlangsung di jenjang pendidikan formal hingga kini
masih sering diperdebatkan.
Sekolah bukanlah tempat yang paling utama
sebagai sarana transfer nilai-nilai moral dan syar’i apalagi pendidikan moral
di sekolah baru menyentuh aspek-aspek kognitif, belum menyentuh aspek edukasi
dan implementasi.[1]
Tidaklah heran manakala beberapa pengamat sosial menyatakan bahwa kunci
keberhasilan pendidikan moral dan syar’i juga terletak pada peran keluarga dan
masyarakat sekitar. Perkembanagan pesat Iptek, dewasa ini ada kecenderungan
yang positif di masa depan, khususnya di bidang pendidikan syari’at Islam,
karena kecenderungan positif ini tidak hanya terjadi di negara-negara maju,
akan tetapi juga terjadi di negara- negara berkembang dan negara-negara miskin.
Akan tetapi perkembangan ini tampaknya belum
sepenuhnya diimbangi dengan perkembangan nilai-nilai moral dan syar’i, sehingga
hal ini memungkinkan terjadinya kesenjangan yang berarti. Salah satu
konsekuensinya adalah problem-problem sosial yang hingga kini belum terpecahkan.
Beberapa problem sosial yang belum dapat dijawab secara tuntas adalah masih cukup
banyak warga masyarakat kita khususnya di Aceh, yang belum memiliki integritas
pribadi, kesadaran religius, kepekaan sosial yang rendah serta pendidikan dan
kelakuan yang tidak syar’i.[2]
Bila ditinjau lebih jauh lagi, kondisi
religius masyarakat kita sekarang yang kurang menguntungkan terutama untuk
menatap masa depan bangsa akibat penurunan idealisme di kalangan sebagian besar
masyarakat. Serta sistem pendidikan dan pembinaan moral yang kurang syar’i dan
efektif. Selain itu, faktor-faktor lain yang tidak dapat diabaikan. Masyarakat
yang tidak mempunyai pendidikan secara syar’i tidak hanya merugikan diri
sendiri tapi juga orang lain, bahkan bangsa secara keseluruhan.
Keprihatinan masyarakat akan krisisnya moral
dan pendidikan yang syar’i memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas.
Hancurnya perilaku syari’at masyarakat kita bukan saja dilihat dari orang-orang
yang tidak berpendidikan, tetapi juga
mereka yang mempunyai pendidikan bahkan sampai pada pendidikan tinggi
dengan jabatan- jabatan istimewa. Hal ini barangkali menjadi hal utama yang
perlu dikaji dan dicerna oleh semua unsur republik ini, terutama dunia
pendidikan khususnya pendidikan syari’at Islam.
Karena pendidikan syar’i adalah langkah yang
tepat bagi masyarakat untuk membangun kehidupan masyarakat, dimana setiap
individu menjadi cerdas, berakhlak mulia, selau menjalankan perintah Allah dan
menjauhi segala larangannya, dan mandiri dalam segala dimensi kehidupannya.
Pendidikan–pendidikan syari’at hakikatnya menuntun setiap individu dalam
berbagai kemampuan intelektual, emosional dan spiritual dalam membangun sebuah
kepribadian yang kokoh dan jauh dari kemaksiatan.
Hal ini jelas dengan ditunjang oleh berbagai
ilmu pengetahuan baik melalu teori maupun praktek dari berbagai cabang ilmu. Singkatnya,
tanpa mengurangi peranan dimensi kehidupan lain, pendidikan syar’i ialah wadah-wadah yang menciptakan seseorang
untuk membangun nilai- nilai yang positif bagi diri dan sesamanya menuju
manusia yang utuh atau insan kamil.[3]
Pendidikan syar’i merupakan markas
penyimpanan kekuatan yang luar biasa. Yang memiliki akses keseluruh aspek
manusia, memberikan informasi berharga tentang norma-norma agama, pegangan
hidup masa depan, serta membantu peserta didik untuk
mempersiapkan dan menghadapi perubahan, Oleh karena itu,
pendidikan syar’i hendaknya harus diterapkan kepada seluruh pelajar di Aceh
karena mengingat pendidikan secara syar’i dapat memberikan solusi yang
seluas-luasnya pada fungsi pendidikan.
Menurut cita-cita dan ajaran Islam, belajar
dari negara-negara Barat yang dalam
ilmu dan teknologi telah maju adalah perlu, tapi sementara ini umat Islam lupa
bahwa dasar-dasar mereka adalah Islam. Dimasa awal kepemimpinan terdahulu,
cendekiawan pendidikan Islam diterima oleh seluruh dunia. Kebudayaan dan ilmu Islam
telah menembus ke setiap lingkungan kehidupan manusia di seluruh bumi, untuk
waktu yang lama dunia terus berfikir dengan cara Islam, dan mengambil petunjuk
dari kehidupan Islam. Di dunia Barat, bahasa Arab
merupakan kendaraan ilmu dan setiap penulis menggunakan bahasa ini untuk
mengatakan apa yang ia katakan[4].
Lalu pertanyaannya, mengapa hal tersebut tidak
terjadi lagi di era globalisasi saat ini ? bahkan seharusnya ajaran Islam itu
lebih bisa ditingkatkan di era globalisasi saat ini, khususnya di bumi Serambi
Mekkah ini. Seperti yang telah kita ketahui, bahwa mayoritas penduduknya
bersama Islam karena mengingat kemampuan teknologi yang sudah sangat canggih
dan ilmu pengetahuan yang sangat luas. Dan hal ini benar-benar sangat disayangkan, karena
pemuda-pemudi generasi muda di Aceh kita tercinta ini
sangat menginginkan terwujudnya Aceh madani secara hakiki.
Seperti yang kita ketahui bahwasanya
masyarakat madani bila ditinjau dari
sisi nilai-nilai Islam merupakan sebuah gagasan yang sangat Islami karna ia
merupakan cita-cita Islam. Karena sejarah telah menuntut bahwa masyarakat
madani pernah dibangun oleh Rasulullah Saw. Ketika beliau mendirikan komunitas
muslim di Madinah. Sebelum terbentuk kota Madinah, daerah tersebut bernama
Yastrib. Lalu nabi Muhammad lah yang kemudian mengubah namanya menjadi madinah,
setelah hijrah ke kota itu.
Menurut Nurcholish Madjid, perubahan nama dari
Yastrib menjadi Madinah pada hakikatnya adalah sebuah pernyataan niat atau
proklamasi untuk mendirikan dan membangun masyarakat berperadaban pada saat
itu. Di kota madinah
inilah Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat berperadaban yang berlandaskan ajaran Islam yaitu
masyarakat yang bertakwa kepada Tuhan yang maha Esa. Masyarakat madani yang
dibangun nabi Muhammad SAW tersebut bercirikan antara lain: egalitarianisme,
penghargaan kepada manusia berdasarkan prestasi (bukan prestise seperti keturunan, dan suku bangsa) akan
tetapi semuanya pada pandangan hidup berketuhanan dengan konsenkuensi tindakan
kebaikan kepada sesama manusia. Karena masyarakat madani tegak berdiri di atas
landasan keadilan, yang antara lain bersendikan keteguhan berpegang kepada
hukum Islam[5].
Dalam
menunjukkan masyarakat madani sepeti yang ditemukakan diatas, diperlukan
manusia-manusia, yang secara pribadi berpandangan hidup dengan semangat
ketuhanan, dengan konsekuensi tindakan kebaikan sesama manusia. Maka dari itu warga negara Indonesia,
khususnya di Aceh perlu dikembangkan untuk menjadi warga negara yang cerdas,
demokratis, dan religius. Untuk itu
nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh dalam
mewujudkan suatu masyarakat seperti ciri-ciri masyarakat di atas.
Maka adapun
langkah-langkah yang kita lakukan demi mewujudkan pendidikan syar’i dalam
mewujudkan Aceh madani adalah sbb:
Ø Pertama kita harus harus membuat pendidikan secara syar’i sebagai
centre of excellence bagi pengembangan Iptek yang tidak bebas atau keluar dari
syar’i yakni mengembangkan Iptek dengan sumber ajaran qur’an dan sunnah.
Misalnya mampukah ahli-ahli perbankan memajukan sistem permodalan tanpa riba.
Ø Kedua kita harus membuat sistem pendidikan Islam di Aceh menjadi pusat
pembaharuan pemikiran Islam yang benar-benar mampu merespon tantangan zaman
tanpa mengabaikan aspek aqidah syariah yang wajib diikuti.
Ø Ketiga, pendidikan Islam harus mampu menumbuh kembangkan
kepribadian yang benar-benar beriman dan bertakwa kepada tuhan lengkap dengan
kemampuan bernalar ilmiah yang tidak mengenal batas akhir[6],
dengan demikian insya Allah kita akan
bisa mewujudkan masyarakat Aceh yang beradab, menjunjung nilai-nilai
kemanusiaan yang maju dalam penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK),
melalui pendidikan syar’i.
Penulis adalah: Siswa Kelas II MAS
Dayah Darul Ihsan Tengku Haji Hasan Krueng Kalee, Siem, Darusslam, Aceh Besar.
Posting Komentar