Oleh: Tgk H Muakhir Zakaria, MA
TIADA terasa, pemilu 2014 hanya tinggal
beberapa minggu lagi. Seperti pada pemilu-pemilu sebelumnya, perhelatan akbar
demokrasi tahun ini juga “dihantui” oleh satu kekhawatiran paling signifikan,
yaitu masih tingginya jumlah masyarakat yang tidak mau berpartisipasi sama
sekali sebagai pemilih, atau yang sering dikenal dengan istilah golput
(golongan putih).

Pertanyaan yang muncul adalah, bolehkan
kita memilih untuk golput dan tidak berpartisipasi dalam pemilu? Seberapa besar
mudharat yang ditimbulkan dari pilihan ini ditinjau dari nilai dan ajaran
Islam? Tulisan yang sederhana ini berupaya untuk mendiskusikan dua pertanyaan
ini dalam koridor Alquran, hadis dan sejarah Islam.
Urgensi Memilih Pemimpin dalam Islam
Sebagai agama yang sempurna, Islam
menempatkan keberadaan seorang pemimpin pada posisi sangat urgen dan wajib
adanya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Rasulullah SAW
memerintahkan tiga orang yang bepergian untuk mengangkat salah seorang dari
mereka sebagai pemimpin. Jika memilih pemimpin hukumnya wajib dalam perkara
bepergian, maka dalam konteks Indonesia yang lebih luas, dengan jumlah
penduduknya yang mencapai lebih dua ratus juta jiwa, memilih pemimpin tentu
lebih wajib lagi.
Fakta sejarah Islam juga mengisyaratkan
betapa kuatnya kesadaran para sahabat terhadap pentingnya persoalan
kepemimpinan. Fakta ini dapat kita pahami dari berkumpulnya para sahabat dari
golongan Anshar dan Muhajirin di sebuah tempat bernama Saqifah Bani Sa’idah,
langsung setelah mereka memastikan wafatnya Rasulullah SAW. Padahal, Rasulullah
saat itu belum dikuburkan.
Berangkat dari hadis dan fakta sejarah di
atas, pemilu legislatif dan eksekutif, yang tidak lain adalah agenda lima
tahunan untuk memilih unsur-unsur pimpinan dan perwakilan umat Islam, wajib
diikuti oleh setiap muslim yang telah mencukupi syarat. Kewajiban ini tidak
semestinya diabaikan oleh seorang muslim, karena pentingnya persoalan
kepemimpinan dalam Islam.
Berkaca Pada Sikap Abubakar dan Umar
Dalam kitab Tarikh Al-Khulafak, Imam Suyuthi menyebutkan bahwa ketika kaum Anshar
berkumpul di Saqifah Bani Sa’idah untuk mengangkat khalifah pengganti
Rasulullah SAW, sampailah berita tersebut ke telinga Umar bin Khattab. Umar
kemudian langsung mengatakan kepada Abubakar, “Wahai Abubakar, ikutlah bersama kami untuk
berkumpul dengan saudara-saudara kita kaum Anshar.”
Mendengar ajakan tersebut, Abubakar tidak
lagi mengulur-ngulur waktu dan langsung menuju Saqifah, diikuti oleh
sahabat-sahabat yang lain. Di tengah jalan, keduanya bertemu dengan dua orang
lain di tengah jalan. Kedua orang tersebut bertanya, “hendak kemana kalian wahai kaum muhajirin?” Umar menjawab, “Kami ingin ke tempat saudara-saudara kami
kaum Anshar.” Kedua orang tersebut lalu mengatakan, “janganlah kalian dekati mereka, urus saja
urusan kalian sendiri.”
Namun perkataan ini dijawab oleh Umar, “Demi Allah kami akan mendatangi mereka.”
Sebagai penerus panji-panji Islam setelah
Rasulullah Saw. wafat, Abubakar dan Umar wajib kita jadikan sebagai panutan,
karena Rasulullah SAW bersabda dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu
Daud: “Berpeganglah
pada sunnahku dan sunnah Khulafaurrasyidin setelahku.”
Berpijak pada hadis ini, tidak semestinya
seorang muslim golput, bersikap masa bodoh dan acuh tak acuh terhadap agenda
pemilihan pemimpin, karena sikap tersebut sangat bertentangan dengan sunnah
Abubakar dan Umar yang segera menuju Saqifah dan meninggalkan kegiatan-kegiatan lain agar dapat
berpartisipasi dan memberikan suaranya dalam pemilihan khalifah pengganti
Rasulullah SAW.
Pemilu Sebagai Kewajiban dan Amanah Sosial
Prof. Nashr Farid Washil, Mantan Mufti
Mesir, menyebutkan bahwa Islam mewajibkan ummatnya untuk menunaikan segala bentuk amanah,
sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat Annisak ayat 58 yang artinya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk
menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” Salah satu amanah yang Allah
bebankan kepada umat Islam adalah memilih unsur-unsur pimpinan, baik
legislatif, eksekutif maupun yudikatif, dalam koridor sistem syura dan
demokrasi.
Oleh karena itu, seseorang yang telah
mencukupi syarat, sudah semestinya menjalankan amanah ini dan mendahulukan
kepentingan negara di atas kepentingan pribadi. Orang yang tidak mau
menggunakan hak pilihnya, menurut beliau, akan berdosa secara agama, karena dia
tidak menunaikan amanah dan kewajibannya terhadap masyarakatnya.
Senada dengan itu, Prof. Abdurrahman
Albar, seorang ulama hadis Universitas Al-Azhar, menyebutkan bahwa salah satu
kewajiban seorang muslim yang hidup dalam sebuah masyarakat adalah memberikan
kontribusi positif dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat
tersebut, sesuai dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, orang yang
mendapatkan kesempatan untuk memilih perwakilan umat Islam di legislatif atau
eksekutif tidak boleh menyiakan-nyiakan kesempatan tersebut.
Beliau juga menambahkan bahwa jika seorang
muslim tidak ikut serta dalam pemilihan, maka ia tidak melaksanakan salah satu
kewajiban sosial lainnya, yaitu menegakkan amar makruf dan nahi munkar.
Alasannya adalah, karena orang tersebut membuka peluang bagi orang-orang yang
jauh dari agama dan gemar melakukan kerusakan di muka bumi untuk terpilih
sebagai salah satu unsur pemimpin masyarakat. Akibatnya, masyarakatlah yang nantinya
akan menderita dengan ulah pemimpin yang seperti itu.
Kewajiban Mengenali Pemimpin
Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah menyebutkan bahwa kaum muslimin
wajib mengenal pemimpinnya, baik nama, orangnya maupun sifat-sifatnya. Beliau kemudian mengutip
pernyataan Sulaiman bin Jarir yang menegaskan bahwa kewajiban mengenal pemimpin
seperti halnya kewajiban mengenal Allah dan Rasul-Nya.
Berdasarkan penegasan ini, kita dianjurkan
untuk memiliki pengetahuan mendalam terhadap sifat dan track record orang-orang yang mencalonkan
diri sebagai pemimpin, agar kita dapat memilih orang yang paling tepat.
Rasulullah SAW bersabda, "jika sesuatu urusan diserahkan bukan pada ahlinya,
maka tunggulah saat kehancuran." Maka, bagaimana mungkin kita
dapat mengenal dan menemukan orang yang tepat untuk posisi legislatif dan
eksekutif jika kita bersikap “masa bodoh” dengan identitas para kontestan
pemilu dan malah tidak mau memilih orang yang jujur dan amanah.
Walhasil, berdasarkan pemaparan
di atas, golput dalam Islam ternyata memiliki mudharat yang sangat besar,
karena pilihan ini merupakan bentuk pelanggaran terhadap beberapa prinsip
penting dalam Islam.
Dengan demikian, seorang muslim yang tidak
berpartisipasi dalam pemilu tanpa alasan yang jelas telah melanggar kewajiban
memilih pemimpin, tidak menjalankan sunnah Abubakar dan Umar, tidak menunaikan
amanah dan kewajiban sosial, dan tidak melaksanakan kewajiban mengenal
pemimpin. Mudharat yang ditimbulkan pun tidak bisa
dikatakan kecil, karena akan membuka peluang yang cukup besar bagi orang-orang
yang nantinya akan merusak sendi-sendi kehidupan umat Islam dengan kezaliman
mereka.Allah
Musta'an.
Penulis adalah guru Dayah Darul Ihsan Abu Hasan Krueng
Kalee, Siem, Aceh Besar.
Posting Komentar