Dikutib dari Buku: "Tela'ah Kritis Atas Doktrin Faham Salafi/Wahabi"
Oleh: A. Shihabuddin
Riwayat kapan dimulainya
peringatan maulid Nabi saw itu itu bermacam-macam. Ada riwayat yang
mengatakan bahwa pertama kali yang mengadakan acara peringatan hari
kelahiran Nabi saw dan para keluarga beliau saw, adalah pada pertengahan abad
kedua tahun Hijriyah yakni pada zamannya Imam Ja’far Shodiq atau Imam Musa
Al-Kadhim dan diteruskan para Khalifah Bani Fathimiyah di Kairo pada abad ke empat
Hijriyah. Mereka memperingati dan mengenang hari kelahiran dan
kewafatan Nabi saw., Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib kw., Sayyidah Fatimah
ra., Imam Hasan dan Imam Husin bin Ali bin Abu Thalib r.a dan orang-orang
sholeh lainnya, walaupun tidak dengan perayaan.
Ada lagi riwayat bahwa
peringatan Maulid Nabi saw pertama kali dilakukan oleh raja Irbil (wilayah Iraq
sekarang), bernama Muzhaffaruddin
al-Kaukabri, pada awal abad ke 7 hijriyah, sebagaimana yang
disebutkan Ibn Katsir dalam kitab Tarikh,
beliau berkata: “Sultan Muzhaffar mengadakan peringatan maulid Nabi pada bulan
Rabi’ul Awwal. Beliau merayakannya secara besar-besaran. Beliau adalah seorang
yang berani, pahlawan, alim dan seorang yang adil-semoga Allah merahmatinya-”.
Ada lagi yang
dikatakan oleh golongan pengingkar bahwa -menurut riwayat sejarah-
awal mula peringatan maulidin Nabi saw. diada- kan oleh Al-Muiz-Liddimillah
al-Abadi dan dia ini memiliki nama yang jelek karena dekat dengan
Yahudi, Nasrani jauh dari Muslim dan sebagainya. Umpama saja riwayat dan
mengenai pribadi orang ini kita benarkan sebagaimana yang dikatakan
golongan pengingkar, kita tidak perlu melihat pribadi seseorang yang mengarang
sesuatu, tapi yang penting lihat dan bacalah isi dan makna yang ditulis
atau diciptakan oleh orang tersebut. Selama hal itu baik dan bermanfaat serta
tidak keluar dari syari’at Islam maka dibolehkan dan malah dianjurkan oleh
Islam untuk mengamalkannya! Sebagaimana ada kata-kata yang terkenal: ‘Janganlah
kalian melihat siapa yang berbicara tapi dengarkan apa yang dibicarakan’. Jadi
walaupun orang kafir tapi mempunyai ide/saran yang baik dan sarannya itu
tidak keluar dari syari’at Islam, malah kita dianjurkan untuk menerimanya, bila
hal itu bermanfaat bagi masyarakat.
Memang sifat kebiasaan
golongan pengingkar yang sudah terkenal yaitu bila mereka tidak menyenangi
amalan sesuatu karena bertentangan dengan pahamnya, mereka akan mencela,
mencari macam-macam jalan untuk menjelekkan pribadi orang-orang
yang menulis atau yang menciptakan sesuatu amalan tersebut.
Dengan demikian
riwayat-riwayat tentang awal mulanya peringatan maulidin Nabi saw. bermacam-macam,
begitu juga mengenai tanggal lahir beliau saw., tetapi semua ini bukan suatu
masalah yang perlu kita bahas disini. Yang sudah pasti bahwa berkumpulnya
manusia secara massal untuk menyelenggarakan
peringatan-peringatan atau keagamaan ini terjadi setelah zaman Nabi saw.
dan para sahabat, tetapi dilakukan pada zaman tabi'in. Peringatan maulid ini di
selenggarakan oleh muslimin ,baik dari kaum ulama mau pun kaum awam, diseluruh
negara didunia antara lain: Mesir, Iran, Iraq, Indonesia, Malaysia, Singapora,
Saudi Arabia, Afrika, Yaman, Marokko, Pakistan, India, serta dinegara-negara
barat antara lain di Inggris, Belanda, Perancis, Jerman dan lain
sebagainya. Di Saudi Arabia -walaupun disini tempat lahirnya Muhammad Abdul Wahhab, imam golongan
wahabi/salafi serta pengikutnya- sudah
bertahun-tahun banyak diadakan peringatan maulid Nabi saw. dirumah-rumah atau
flat-flat serta dihadiri oleh orang banyak dan cukup berkedudukan penting
dipemerintahan Arab-Saudi. Mereka tidak dibolehkan menyolok mengadakan peringatan
tersebut karena dikuatirkan akan terjadi keonaran yang ditimbulkan oleh
golongan yang fanatik dan anti peringatan tersebut.
Penulis pernah tinggal di Saudi
Arabia pada tahun tujuh puluhan dan sering menghadiri peringatan maulid
disana. Malah sekarang bisa kita lihat sendiri di YouTube 'Sayyid Abbas Maliki in television art'
atau 'Dhikr mawlid mouhadith
Al-Alawi al Maliki al-Makki' (ulama yang berdomisili di Saudi
Arabia), peringatan maulid yang diadakan di Saudi atau negara Arab
lainnya.
Kira-kira mulai sepuluh-limabelas tahun
yang lalu di Madinah pun setiap musim haji, bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan
bulan mulia lainnya pada setiap malam jum’at mulai jam 22.00, ribuan orang -sebagian besar dari golongan madzhab Syiah dari Iran,
Irak, Kuwait dan lainnya- duduk berkumpul
dimuka kuburan Baqi’ (yaitu kuburan yang letaknya berhadapan dengan Kubah
kuburan Nabi saw di Masjid Nabawi Madinah) untuk membaca bersama do’a Kumail (do’anya
Kumail bin Ziyad) dengan pengeras suara, dan sekitar tempat itu dijaga
oleh tentara-tentara Saudi Arabia hanya untuk menjaga keamanan saja.
Kami, waktu naik
haji dan Umrah, kebetulan melihat dan menyaksikan hal tersebut serta memotonya.
Kami kira jama’ah Haji lainnya bila bertepatan malam jum’at berjalan didaerah
itu akan bisa menyaksikan sendiri hal tersebut.
Padahal dahulunya
ulama-ulama Saudi sangat melarang adanya kumpulan-kumpulan pembacaan do’a
dimuka umum seperti itu, apalagi sambil menggunakan pengeras suara. Mungkin
dengan adanya dialog antara para ulama Saudi dengan ulama madzhab lainnya
mengenai hal tersebut, mereka tidak bisa melarangnya karena tidak adanya dalil
yang jelas dan tegas tentang larangan tersebut malah sebaliknya banyak dalil
yang mengarah kebolehan dan kesunnahan berkumpul bersama untuk membaca dzikir.
Begitu juga dahulu para muthowik melarang orang memoto masjidil
Haram walaupun dari luar, tetapi sekarang didalam masjid Haram pun boleh
orang memoto.
Peringatan maulid memang
tidak pernah dilakukan orang pada masa kehidupan Nabi saw., itu memang bid’ah
(rekayasa), tetapi rekayasa yang baik, karena sejalan dengan
hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama. Sifat
rekayasanya/ bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah, bukan
terletak pada per-orangan (individu) yang memperingati hari kelahiran Nabi
saw. Sebab masa hidup beliau saw dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim
melakukannya meski pun tidak disebut ‘perayaan atau peringatan’. Begitu
juga tidak adanya contoh pada zaman Rasulallah saw atau para sahabat, itu bukan
sebagai dalil untuk melarang atau mensesatkan peringatan maulidin Nabi saw.
Tidak lain semua itu adalah ijtihad para pakar Islam untuk
mengumpulkan muslimin guna memperingati maulid Nabi saw. secara bersama/massal.
Jadi bid’ah (rekayasa) seperti itu adalah rekayasa yang baik sekali karena
banyak hikmah dan manfaat pada majlis tersebut. .
Lupa adalah salah satu ciri
kelemahan yang ada pada setiap orang, tidak pandang apakah ia berpikir cerdas
atau tidak. Kita sering mendengar orang berkata : Summiyal-Insan liannahu
mahallul khatha’i wan-nisyan (dinamakan manusia/Insan karena ia tempat
kekeliruan dan kelupaan/nisyan). Dengan demikian lupa sering digunakan orang
untuk beroleh maaf atas suatu ke salahan atau kekeliruan yang
telah diperbuat. Bahkan di Al-Qur’an dalam surat Al-Kahfi : 63 terdapat isyarat
bahwa lupa adalah dorongan setan, yaitu ketika murid (pengikut) Nabi
Musa as. menjawab pertanyaan nabi Musa, dengan mengatakan: ‘Tidak ada
yang membuatku lupa mengingat (makanan) itu kecuali setan’.
Satu-satunya obat untuk
dapat mencegah atau menyembuhkan penyakit lupa yaitu peringatan. Bila
orang telah di-ingatkan atau diberi peringatan, ia tidak mempunyai alasan lagi
untuk menyalahgunakan lupa agar beroleh maaf atas perbuatannya yang
salah itu. Kata dzikir, dzakkara atau dzikra (ingat, mengingatkan,
peringatan dan seterusnya) adalah sempalan kata lain dari akar kata dzikir
yang berulang-ulang ditekankan dalam Al-Qur’an.
Bahkan para Nabi dan Rasul -termasuk
junjungan kita Nabi Muhammad saw- disebut juga sebagai Mudzakkir
yakni Pemberi ingat. Dengan tekanan makna yang lebih tegas dan keras,
para Nabi dan Rasul disebut juga sebagai Nadzir yakni pemberi peringatan
keras kepada manusia yang menentang kebenaran Allah swt.
Dengan keterangan singkat
diatas jelaslah betapa besar dan penting masalah peringatan dan mengingatkan.
Tujuannya adalah agar manusia sebatas mungkin dapat terhindar dari penyakit
lupa dan lalai yang akan menjerumuskannya kedalam pemikiran salah
dan perbuatan sesat. Itulah masalah yang melandasi pengertian kita tentang
betapa perlunya kegiatan memperingati maulid Nabi Muhammad saw.. Peringatan
maulid Nabi saw. ini merupakan amal kebaikan yang sangat dianjurkan. Banyak
sekali dalil -naqli maupun ‘aqli- yang mendukung dan
membenarkan kegiatan yang baik itu. Bukan lain adalah Al-Qur’an sendiri telah
mengisyaratkan betapa mulianya dan betapa terpujinya kegiatan memperingati
kelahiran para Nabi dan Rasul.
Cara-cara memperingati
hari-hari Allah
- Allah swt.. berfirman: “Dan sesungguhnya Kami
telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat kami, (dan Kami perintahkan
kepadanya), ‘Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang
benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah”.
Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. ” (QS. Ibrahim [14] : 5).
Yang dimaksud
dengan hari-hari Allah pada ayat itu ialah peristiwa yang telah terjadi
pada kaum-kaum dahulu serta nikmat dan siksa yang dialami mereka. Umat nabi
Musa disuruh oleh Allah swt. untuk mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang
telah lalu ,baik itu yang berupa nikmat atau berupa adzab, dari Allah swt.. Dengan adanya peringatan
maulid itu kita selalu di-ingatkan kembali kepada junjungan kita Rasulallah
saw. sebagai penghulu para Nabi dan Rasul!
Mengapa justru golongan
pengingkar melarang dan membid’ahkan munkar orang yang sedang memperingati hari
kelahiran Rasulallah saw.?
Tidak ada ketentuan
syari’at cara mengingat atau memperingati hari-hari Allah yang harus diselenggarakan
pada hari-hari tertentu. Juga tidak ditetapkan peringatan itu harus dilakukan
secara berjama’ah ataupun secara individual. Begitu juga halnya
dengan peringatan maulid, dapat diadakan setiap waktu, boleh secara individu
atau berjama’ah. Sudah tentu waktu yang paling tepat ialah pada hari turunnya
nikmat Allah. Dalam hal memperingati maulid Nabi saw. waktu yang paling sesuai
adalah pada bulan Rabiul-awal (bulan kelahiran Rasulallah saw.). Akan tetapi
mengingat besarnya manfaat peringatan maulid ini dan mengingat pula bahwa
dengan cara berjama’ah lebih utama dan lebih banyak barakah, maka peringatan
maulid dapat diadakan pada setiap kesempatan yang baik secara
berjama’ah.
Misalnya pada hari-hari
mengkhitankan anak-anak, pada waktu hari pernikahan, pindah rumah, pelaksanaan
nadzar yang baik, beroleh rizki yang banyak dan lain sebagainya. Bagaimana pun
juga setiap acara-acara yang
penting yang di-isi atau diselenggarakan maulid Nabi saw. -menurut
pandangan Islam- pasti jauh lebih baik dan lebih bermanfaat daripada
di-isi dengan acara-acara
lain yang hanya bersifat bersenang-senang saja tanpa makna.
Mengenai diselenggarakannya
peringatan hari-hari Allah pada hari-hari ulang tahun turunnya nikmat,
terdapat hadits shohih yang dapat dijadikan dalil, yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim tentang puasa pada hari ‘Asyura. Karena
puasa sunnah ‘Asyura dianjurkan oleh Rasulallah saw. setelah beliau saw melihat
kaum Yahudi di Madinah puasa pada hari 10 Muharram tersebut. Beliau saw.
bertanya kepada kaum Yahudi mengapa mereka ini berpuasa pada hari itu? Mereka
menjawab; ‘Pada hari ini Allah swt. menyelamatkan Nabi mereka dan
menenggelamkan musuh mereka’. Kemudian Nabi saw. menjawab: ‘Kami lebih
berhak memperingati Musa dari pada kalian’! (Nahnu aula bi
muusaa minkum).
- Kecuali
itu terdapat hadits lainnya, diketengahkan oleh Ibnu Taimiyah dari hadits Ahmad
bin Hanbal yang menuturkan sebagai berikut: “Aku mendengar berita, pada suatu
hari sebelum Rasulallah saw. tiba (disuatu tempat di Madinah) diantara para
sahabatnya ada yang berkata: ‘Alangkah baiknya jika kita menemukan suatu hari
dimana kita dapat berkumpul untuk memperingati nikmat Allah
yang terlimpah kepada kita’. Yang lain menyahut: ‘Hari Sabtu!’. Orang yang lain lagi
menjawab; ‘Jangan (karena) berbarengan dengan harinya kaum Yahudi’! Terdengar
suara yang mengusulkan; ‘Hari Minggu saja’! Dijawab oleh yang lain: ‘Jangan
(karena) berbarengan dengan harinya kaum Nasrani’! Kemudian menyusul yang lain
lagi berkata; ‘Kalau begitu, hari ‘Arubah saja’! Dahulu mereka menamakan hari
Jum’at hari ‘Arubah. Mereka lalu pergi berkumpul dirumah Abu Amamah
Sa’ad bin Zararah. Dipotonglah seekor kambing cukup untuk dimakan bersama“.
(Iqtidha’us Shirathil Mustaqim).
- Kecuali dua hadits tersebut diatas terdapat
hadits lainnya lagi yang juga di ketengahkan oleh Bukhori dan Muslim mengenai
nyanyian yang didendangkan oleh sekelompok muslimin, untuk memperingati hari
bersejarah. Peristiwanya terjadi dikala Rasulallah saw. masih hidup
ditengah ummatnya. Nyanyian itu justru didendangkan orang ditempat kediaman
Rasulallah saw. sekaitan dengan datangnya hari raya ‘Idul Akbar.
Peringatan demikian itu dilakukan juga oleh sekelompok muslimin sekaitan dengan
hari bersejarah lainnya, yakni hari Biats yaitu hari kemenangan
suku-suku Arab melawan Persia, sebelum Islam. Pada hari itu Abubakar dan ‘Umar
[ra] berusaha mencegah sejumlah wanita berkumpul dan menyanyikan
lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang Anshar. Melihat Abubakar dan
‘Umar berbuat demikian itu, Rasulallah saw. menegor dua orang sahabatnya ini.
Beliau saw. minta agar kedua-duanya membiarkan mereka merayakan hari besar
dengan cara-cara yang sudah biasa dipandang baik menurut tradisi dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Hadits yang berasal dari
Ummul mukminin ‘Aisyah ra itu lengkapnya sebagai berikut:
“Pada suatu hari Abubakar
Ash-Shiddiq ra datang kepada ‘Aisyah ra (putri nya). Pada saat itu dikediaman
‘Aisyah r.a. ada dua orang wanita Anshar sedang menyanyikan lagu-lagu yang
biasa dinyanyikan oleh kaum Anshar pada hari Bi’ats. Siti ‘Aisyah ra.
memberitahu ayahnya, bahwa dua orang wanita yang sedang menyanyi itu bukan
biduanita. Abubakar menjawab: ‘Apakah seruling setan dibiarkan dalam tempat
kediaman Rasulallah?’ Peristiwa tersebut terjadi pada hari raya. Menanggapi
pernyataan Abubakar ra., Rasulallah saw. berkata: ‘Hai Abubakar,
masing-masing kaum mempunyai hari raya, dan sekarang ini hari raya kita’
“. (Shohih Muslim III/210 dan Shohih Bukhori 1/170).
Yang dimaksud dalam hadits
kata hari raya kita ialah hari terlimpahnya nikmat Allah
swt.kepada kita, oleh karenanya kita boleh merayakannya. Berdasarkan riwayat
yang berasal dari Ummul Mukminin ‘Aisyah ra. itu imam Bukhori dan Muslim
memberitakan, bahwa “didalam tempat kediaman Nabi saw. pada saat itu
terdapat dua orang wanita sedang bermain rebana (gendang)”.
- Dalam shohih Bukhori 1/119
diriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah ra yang berkata: “Pada suatu hari
Rasulallah saw. datang kepadaku. Saat itu dirumah terdapat dua orang wanita
sedang menyanyikan lagu-lagu Bi’ats. Beliau saw. lalu berbaring sambil
memalingkan muka. Tak lama kemudian datanglah Abubakar (ayah ‘Aisyah). Ia marah
kepadaku seraya berkata; ‘Apakah seruling setan dibiarkan berada dirumah
Rasulallah ?’….Mendengar itu Rasulallah saw. segera menemui ayahku lalu
berkata: ‘Biarkan sajalah mereka’! Setelah Abubakar tidak memperhatikan
lagi keberadaan dua orang wanita itu, mereka lalu keluar meninggalkan tempat”.
- Riwayat lainnya memberitakan, bahwa
“pada hari-hari perayaan Muna, Abubakar ra. datang kepada Siti ‘Aisyah
ra. Ketika itu dirumah isteri Nabi saw. terdapat dua orang wanita sedang
menyanyi sambil menabuh/memukul rebana. Saat itu Rasulallah saw. sedang menutup
kepala dengan burdahnya. Oleh Abubakar dua orang wanita itu dihardik.
Mendengar itu Rasulallah saw. sambil menanggalkan burdah dari kepalanya berkata
: ‘Hai Abubakar, biarkan mereka, hari ini hari raya’ “!
- Siti ‘Aisyah ra juga pernah
menceriterakan pengalamannya sendiri; “Aku teringat kepada Rasulallah saw.disaat
beliau sedang menutupi diriku dengan bajunya (yang dimaksud adalah hijab/kain
penyekat), agar aku dapat menyaksikan beberapa orang Habasyah (Ethiopia) sedang
bermain hirab (tombak pendek) didalam masjid Nabawi (di Madinah). Beliau saw.
merentang bajunya didepanku agar aku dapat melihat mereka sedang bermain.
Setelah itu aku pergi meninggalkan tempat. Mereka mengira diriku seorang budak
perempuan Arab yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.
- Dalam shohih Muslim ketika itu ‘Aisyah
ra mengatakan: “Aku melihat Rasulallah saw. berdiri didepan pintu kamarku, pada
saat beberapa orang Habasyah sedang bermain hirab didalam masjid Nabawi.
Kemudian beliau saw. merentangkan baju didepanku agar aku dapat melihat mereka
bermain. Setelah itu aku pergi. Mereka mengira diriku seorang budak perempuan
Arab yang masih muda usia dan gemar bersenang-senang”.
- Dalam hadits yang lain lagi Siti
‘Aisyah ra.menuturkan: “ Pada suatu hari raya beberapa orang kulit hitam -negro
dari Habasyah- bermain darq (perisai terbuat dari kulit
tebal) dan hirab. Saat itu, entah aku yang minta kepada Rasulallah saw.
ataukah beliau yang bertanya kepadaku: ‘Apakah engkau ingin melihat’? Aku
menjawab: ‘Ya’. Aku lalu diminta berdiri di belakang beliau demikian dekat
hingga pipiku bersentuhan dengan pipi beliau. Kepada orang-orang yang
bermain-main itu Rasulallah saw. bersabda: ‘Hai Bani Arfidah…teruskan, tidak
apa-apa’! Kulihat mereka terus bermain hingga merasa jemu sendiri. Kemudian
Rasulallah saw. bertanya kepadaku; ‘Sudah cukup’? Kujawab; ‘Ya’. Beliau
lalu menyuruhku pergi, ‘kalau begitu pergilah’ “!.
- Dalam Shohih Muslim diriwayatkan juga
sebuah hadits berasal dari ‘Atha ra yang menuturkan bahwa yang bermain-main itu
entah orang-orang Persia, entah orang-orang Habasyah (Ethiopia). Mereka bermain
hirab didepan Rasulallah saw. Tiba-tiba ‘Umar Ibnul Khattab datang, ia lalu
mengambil beberapa buah kerikil dan dilemparkan kepada mereka.
Ketika melihat kejadian tersebut Rasulallah saw. berkata: ‘Hai Umar, biarkan
saja mereka’!
Sekarang telah kita
ketahui, bahwa bentuk perayaan atau peringatan ,sebagaimana yang
dituturkan oleh hadits-hadits tersebut diatas, ternyata bermacam-macam. Ada
yang berupa ibadah puasa, ada yang dengan cara memotong kambing
lalu dimakan bersama, ada yang merayakan dengan nyanyian, dan
mendeklamasikan syair-syair sambil memukul rebana dan ada pula yang
merayakan dengan bermain-main tombak serta perisai. Semua ini
diriwayatkan oleh para sahabat Nabi terdekat, bahkan oleh isteri beliau saw.
sendiri yang langsung menyaksikan. Semua riwayat ini kemudian dicatat dan
diberitakan oleh para Imam ahli hadits seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Bukhori
dan Muslim -radhiyallahu ‘anhum- agar diketahui oleh
segenap kaum muslimin.
Dalam hadits-hadits itu
telah diketahui pula bahwa Rasulallah saw. membenarkan dan membolehkan
diadakannya perayaan-perayaan atau peringatan-peringatan hari bersejarah,
terutama sekali hari-hari pelimpahan nikmat Allah swt. kepada ummat manusia.
Beliau saw. tidak pernah mengatakan perayaaan atau peringatan itu
perbuatan kufur atau bid’ah dhalalah/sesat! Kita mengetahui pula bahwa
Abubakar ra menyebut nyanyian sebagai seruling setan dan ‘Umar ra
melempari orang-orang yang bermain tombak dengan kerikil. Akan tetapi kita pun
mengetahui juga bahwa Rasulallah saw. seketika itu juga menegor Abubakar
dan ‘Umar karena dua orang sahabat Nabi itu berusaha melarang nyanyian (yang
baik, tentunya) ter-iring bunyi rebana, dan menghalangi orang-orang
bermain tombak dalam merayakan hari besar bersejarah itu.
Beliau saw. menegor dua
orang sahabat tersebut karena beliau tidak memandang permainan-permainan atau
perayaan-perayaan itu sebagai perbuatan kufur, ma’siyat dan tidak keluar
dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at Islam. Dua sahabat Nabi saw. menerima
tegoran Nabi saw. dengan jujur dan ikhlas.
- Dalam shohih Muslim halaman 168
juga memperkuat dalil-dalil keabsahan peringatan maulid (kelahiran) Nabi saw.
yaitu mengenai puasa setiap hari Senin yang dilakukan oleh Nabi saw.
Beberapa orang sahabat beliau saw. bertanya apa sesungguhnya motifasi beliau
berpuasa tiap hari Senin? Beliau saw. menjawab: “Pada hari itu -yakni hari Senin- adalah hari kelahiranku
dan hari turunnya wahyu (pertama) kepadaku”. Dengan adanya hadits
ini kita memandang bahwa hari Senin sebagai hari yang bersejarah, karena
mencakup dua peristiwa besar. Jika Rasulallah saw sendiri
berpuasa setiap hari Senin untuk memperingati dan mensyukuri hari kelahiran
beliau sendiri, bukankah sangat utama jika kita -sebagai ummat beliau saw.-
berbuat mengikuti jejak beliau yaitu giat memperingati hari maulid beliau
setiap tahun, bahkan tiap minggu (tiap hari Senin)? Dalam hal ini mengapa harus
di munkarkan atau disesatkan…?
Pernyataan beliau saw. itu
bisa dipandang sebagai dalil syar’i mengenai keabsahan peringatan maulid Nabi
saw. Jawaban beliau saw. yang menghubungkan hari kelahiran beliau dengan hari
turunnya wahyu pertama (hari bi’tsah kenabian) kepada beliau,
menunjukkan ketinggian martabat hari kelahiran (maulid) nabi sebagai hari terlimpahnya
nikmat Allah swt. Dengan demikian sudah semestinyalah kita memandang hari
maulid beliau saw. sebagai hari besar dan mulia yang perlu
diperingati sewaktu-waktu.
Dalil-dalil lain dan hikmah
yang berkaitan dengan kebolehan peringatan Maulid
Dengan adanya majlis-majlis
peringatan maulid tersebut meneguhkan iman kita serta membangkitkan kita
lagi untuk selalu ingat dan cinta pada Allah dan Rasul-Nya, karena kehidupan
manusia dibumi ini senantiasa berubah dan berkembang. Itu telah menjadi hukum
kehidupan Sunnatulllah yang tidak mungkin dicegah oleh siapa pun. Kewajiban
untuk meningkatkan kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulallah
saw. itu sejalan dengan sunnahnya dan firman Allah. Firman Allah swt. yang
mengingatkan ummat Muhammad yang mengakui mencintai Allah, untuk mencintai
Rasul-Nya Muhammad saw., sebagaimana firman-Nya:
قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ
اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ
Artinya:
"Jika kamu mencintai Allah, ikutlah (dan cintai dan
hormati) aku (Muhammad) , dan Allah akan mencintai
kamu".( Surat Aal-Imran : 31).
- Dalam
surat Ibrahim ayat 5, Allah swt. berfirman: "Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa
ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): “Keluarkanlah kaummu dari
gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah. Sesunguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang
penyabar dan banyak bersyukur". (QS Ibrahim 5).
-
Dalam surat Al-Maidah [5] :114, Allah swt. berfirman: “ ’Isa putera Maryam
berdo’a, ‘Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari
langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari Raya bagi kami
yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan
menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah
pemberi rezeki yang paling Utama’ ”.
Turunnya
makanan dari Allah swt. untuk ummat nabi ‘Isa saja sudah sebagai suatu kenikmatan
dan hari Raya untuk ummat ‘Isa dan untuk yang datang sesudah mereka.
Bagi ummat Muhammad Allah swt. telah memberikan berbagai kenikmatan dan
kemuliaan karena lahirnya dan turunnya makhluk yang paling mulia
yaitu Habibullah Rasulallah saw. kedunia ini.
Kami
ingin bertanya lagi 'Mengapa golongan pengingkar selalu melarang kita
menyambut dan merayakan hari yang bersejarah yakni maulid beliau saw., sebagai
suatu kenikmatan dan kebahagiaan buat kita?
- Dalam
surat Yusuf ayat 111, Allah swt. berfirman:
لَقَدْ كَانَ في قَصَصِهِمْ عِبْرَةٌ لأوْلِى
الألْبَابِ
Artinya: “Sungguh,pada
kisah-kisah mereka itu (para Nabi dan Rasul) terdapat pelajaran
bagi orang-orang yang berakal”.
- Dalam surat Hud: 120, Allah swt berfirman:
وَكُلاًّ
نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أنْبَاءِ الرُسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ
فُؤَادَك
Artinya: “Dan semua kisah para Rasul kami ceriterakan kepadamu,
yang dengan kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu “.
- Dalam surat Al-Hajj: 32, Allah swt berfirman: "Demikianlah
(perintah Allah) dan
barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah (lambang
kebesaran) Allah, itu
sesungguhnya (timbul) dari hati yang takwa”
- Dalam surat Al-Haj: 30, Allah swt berfirman : “Demikianlah (perintah
Allah), dan barangsiapa
mengagungkan apa yang mulia disisi Allah, itulah yang terbaik baginya
disisi Tuhannya”.
Allah swt.
didalam kitab suci Al-Qur’an telah menceriterakan riwayat-riwayat para
Nabi dan Rasul berulang–ulang dibeberapa Surah. Umpama riwayat Nabi Isa as.
dalam surah Maryam, disini kisah beliau mulai kelahirannya hingga dewasa,
bahkan dikisahkan juga da’wah dan mu’jizatnya. Juga riwayat Nabi Ibrahim as
banyak dalam Al-Qur’an, Nabi Yusuf as., Nabi Sulaiman as. dan nabi-nabi
lainnya. Allah mengisahkan bagaimana kehidupan, kemuliaan/kedudukan para Rasul
ini dan lain sebagainya. Tidak lain tujuan dan maksud Allah swt. untuk
mengisahkan riwayat para Nabi dan Rasul -sebagaimana firman-Nya yang telah dikemukakan tadi- adalah jelas untuk dijadikan pelajaran dan
memperteguh iman dalam hati.
Jadi kalau kisah
para Nabi dan Rasul yang lain saja sudah sedemikian besar arti dan
manfaatnya, apalagi kisah kelahiran dan kehidupan junjungan kita Nabi
besar Muhammad saw., yang telah diriwayatkan sebagai penghulu para Nabi dan
Rasul!
Begitu juga telah
dikemukakan bahwa diantara tanda-tanda orang yang bertaqwa adalah orang
yang mau mengagungkan syi’ar Allah swt. dan orang yang mengagungkan apa yang
mulia disisi Allah swt. itu adalah yang terbaik baginya disisi Allah swt. Tidak diragukan lagi Rasulallah saw. adalah makhluk yang
paling mulia diantara makhluk-makhluk Ilahi, dengan kenabian dan kerasulan-nya,
dengan segala mu’jizat -termasuk mu’jizat yang terbesar yaitu Al-Qur’an- yang dikaruniakan Allah
kepada beliau saw adalah lambang kebenar an dan kebesaran (syi’ar)
serta lambang kekuasaan Allah swt.. Memuliakan dan mengagungkan syi’ar
Allah ini adalah bukti dari hati yang bertakwa kepada Allah swt.
- Didalam majlis maulid
ini selalu dikumandangkan sholawat, riwayat kisah Rasulallah saw. dan
ceramah agama yang mana semuanya ini sangat baik dan sejalan dengan
dalil-dalil hukum syara’ serta sejalan dengan kaidah-kaidah umum agama. Bahkan
sholawat ini adalah perintah Allah swt. sebagaimana firman-Nya :
إنَّ اللهَ َمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِي
Artinya: "Sesungguhnya Allah dan para Malaikat
sentiasa bersalawat kepada Nabi" (QS 33:56). Seterusnya ayat
ini disambung dengan perintah Tuhan,
يَآاَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا
تَسْلِيْمًا
Artinya: " Wahai orang-orang yang beriman
berselawatlah kamu kepadanya ".
Arti shalawat
Allah swt.pada ayat ini -menurut ahli
tafsir- berarti pujian
Allah swt. terhadap Nabi saw., pernyataan kemuliaannya serta maksud meninggikan
dan mendekatkannya, begitu juga sholawat para Malaikat kepada beliau saw. untuk
memuji dan memuliakan Rasulallah saw.. Dan orang yang beriman disuruh
juga bersholawat dan bersalam pada beliau saw.
Ayat ini saja
sudah menjadi bukti bahwa iman seseorang itu bergantung kepada dan
dilahirkan melalui sholawat kepada Nabi saw. Ya Allah ! Limpahkanlah sholawat
serta salam kepada Nabi, ahli keluarga beliau saw. dan para sahabat.
- Kita juga dianjurkan oleh Allah swt agar
ingat-mengingatkan sesama muslim karena hal ini sangat bermanfaat bagi kita
sebagaimana Firman-Nya:
وَذَكِّرْ فَإنَّ الِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ
Artinya: “Dan ingatkanlah, karena peringatan
itu sesungguhnya bermanfaat bagi orang orang yang beriman”. (Adz
Dhariyat : 55)
- Juga kita dianjurkan selalu berbuat kebaikan yang
mana kebaikan itu bisa menghapuskan dosa kita sebagaimana firman Allah swt:
اِنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّآتِ
Artinya: “Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan
keburukan”. (QS. Hud : 114)
Tidak diragukan
lagi bahwa orang yang membaca riwayat maulidin Nabi saw. -baik secara individu maupun berjama’ah- adalah termasuk berbuat kebaikan. Sekali lagi, menarik
kesimpulan arti firman-firman Allah dan hadits-hadits diatas ini bahwa kesempurnaan
iman seseorang itu amat bergantung pada kecintaannya terhadap Rasulallah
saw.. Kecintaan, ketaatan dan keimanan pada Allah swt. dan Rasul-Nya,
ini akan bertambah tebal dan mantep dihati kita bila selalu di-ingatkan
berulang-ulang dengan membaca dan mendengar riwayat kisah kehidupan Rasulallah
saw. serta bersholawat pada beliau saw.!!
- Hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulallah saw. telah
bersabda:
لاَ يُؤْمِنُ أحَدُكُمْ حَتَّى اَكُونَ اَحَبَّ اِلَيْهِ
مِنْ وَالِدِهِ وَ وَلدِهِ وَ النَّاسِ اجْمَعِيْنَ.
Artinya: "Tidak sempurna iman kamu
sehingga aku lebih dicintainya daripada anak, ibu-bapa dan manusia
seluruhnya."
- Dalam sebuah hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari,
Nabi saw. bersabda; "Tidak
sempurna iman kamu sehingga aku kamu lebih cintai daripada diri kamu
sendiri." Umar bin Khattab ra berkata; "Ya Rasulallah aku mencintaimu
lebih daripada diriku sendiri”.
Dalam
hadits Rasuallah saw. kita diperintahkan untuk mencintai Rasulallah saw.
melebihi dari anak-anak kita sendiri, orang tua dan manusia seluruhnya. Keimanan
kita tergantung dengan besarnya kecintaan kita kepada beliau saw. dan cinta
kepada beliau saw. berarti kita cinta kepada Allah swt. yang mengutus Rasul-Nya
ini. Dengan sering memperingati hari kelahiran Rasulallah saw. akan menambah
kecintaan kita kepada Allah swt. dan kepada beliau saw. serta memantepkan hati
kita untuk bisa mencontoh pribadi dan perjalanan beliau saw.
Pendapat
para ulama dan tokoh cendekiawan Muslim yang berkaitan dengan peringatan
maulidin Nabi saw
- Ibnu
Taimiyyah dalam kitab Iqtidha'us-Shriathil-Mustaqim, mengatakan:
"Memuliakan hari maulid Nabi dan menyelenggarakan peringatannya secara
rutin banyak dilakukan orang. Mengingat maksudnya yang baik dan bertujuan
memuliakan Rasulallah saw., adalah layak jika dalam hal itu mereka beroleh ganjaran
pahala besar. Sebagaimana telah saya katakan kepada anda, bahwa bisa jadi
sesuatu yang dianggap buruk oleh seseorang mu'min yang lurus ada kalanya
dianggap baik oleh orang lain".
Ibnu Taimiyyah dalam Majmu‘ Fatawa Ibn Taymiyyah,jld. 23, hal. 133, dan kitabnya Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm,
hal. 294-295, bab “Perayaan yang diada-adakan pada waktu dan tempat
tertentu, (Ma Uhditsa min al-A‘yad al-Zamâniyyah wa al-Makaniyyah)”
mengatakan; “Demikian halnya apa yang diada-adakan
oleh sebagian orang dengan menganalogikan pada orang-orang Nasrani yang
merayakan kelahiran Isa, atau karena rasa cinta kepada Nabi saw dan untuk
memujanya, Allah swt akan memberi mereka pahala atas cinta dan usahanya ini,
bukan atas kenyataan bahwa itu suatu bid’ah …".
Merayakan dan menghormati kelahiran Nabi saw dan menjadikannya sebagai
saat-saat yang dihormati, Ibn Taymiyyah tentang maulid -sebagaimana diuraikan
dalam kitabnya- sebagaimana dilakukan oleh sebagian orang
adalah baik, dan padanya ada pahala yang besar, karena niat baik mereka dalam
menghormati Nabi saw..
Dalam teks yang disebutkan diatas, Ibn Taymiyyah juga menyebutkan fatwa
Imam Ahmad ibn Hanbal, imamnya madzhab fikih Ibn Taymiyyah, tatkala orang-orang
bercerita kepada Imam Ahmad mengenai seorang pangeran yang membelanjakan 1000
dinar untuk membuat hiasan Alquran, beliau (Imam Ahmad) mengatakan: “Itulah
tempat terbaik baginya untuk menggunakan emas”.
Seorang editor majalah golongan Salafi (baca: Wahabi) ,Iqtidha’, Muhammad
al-Fiqqî, menulis dua halaman catatan kaki untuk teks tersebut. Di
dalamnya ia berteriak keras, “Kayfa yakunu lahum tsawab ‘ala hadza? … Ayyu
ijtihâd fi hadza? (Bagaimana mungkin mereka dapat memperoleh pahala
untuk hal tersebut? … Ijtihad macam apa ini??)”.
Para ulama Salafi kontemporer bisa dikatakan berlebihan dan menyimpang
menyangkut peringatan maulid ini. Mereka merubah sikap Ibn Taymiyyah
tersebut dengan ketetapan hukum mereka sendiri, padahal Ibn Taymiyyah adalah
tokoh ulama panutan golongan ini.
Pengarang Salafi yang lain, Manshur Salman, juga bersikap serupa diatas
ketika menerangkan isi kitab al-Bâ‘its ‘alâ Inkâr al-Bida‘ karya Abû
Syâmah. Karena Abû Syâmah bukannya mengkritisi peringatan maulid, tetapi justru
menyatakan, “Sungguh itu
(peringatan maulidin Nabi saw.) suatu
bid’ah yang patut dipuji dan diberkati”.
Pembolehan peringatan hari kelahiran Nabi saw. oleh Ibn Taymiyyah ini ─yang oleh para
pendukungnya telah diartikan secara keliru sebagai suatu kritikan atas
peringatan maulid─ telah disebut-sebut oleh para ulama Sunni seperti Sa‘id
Hawwa dalam al-Sîrah bi Lughat al-Syi‘r wa al-Hubb; Ibn ‘Alawi
al-Maliki dalam, Mafahim Yajibu an Tushahhah; al-Sayyid Hâsyim al-Rifâ‘î
dalam Adillat Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah; dan ‘Abd al-Hayy al-Amrunî
dan ‘Abd al-Karîm Murâd dalam Hawla Kitâb al-Hiwar ma‘a al-Mâlik.
- Al-Hafidh
Al-Qasthalani dalam Al-Mawahibulladunniyyah juz 1 hal. 148 cet. almaktab
al-Islam berkata : 'Maka Allah akan menurunkan rahmat-Nya kepada orang yang
menjadikan kelahiran Nabi saw. sebagai hari besar'.
- Al-Hafidh
Assakhawiy dalam Sirah al-Halabiyah berkata: 'Tidak dilaksanakan maulid
oleh salaf hingga abad ketiga, tetapi dilaksanakan setelahnya dan tetap ummat
Islam diseluruh pelosok dunia melaksanakann dan bersedekah pada malamnya dengan
berbagai macam sedekat dan memperhatikan bacaan maulid dan terlimpah terhadap
mereka keberkahan yang sangat besar'.
- Imam
Al-Hafidh Ibnul Jauzi dengan kitab maulidnya yang terkenal al-aruus
berkata tentang pembacaan maulid sebagai berikut; 'Sesungguhnya membawa
keselamatan tahun itu, dan berita gembira dengan tercapai semua maksud dan
keinginan bagi siapa yang membacanya dan merayakannya'.
- Imam
Al-Hafidh Ibn Abidin dalam syarahnya maulid Ibn Hajar berkata: ‘Ketahuilah
salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid dibulan kelahiran
Nabi saw.’.
- Imam Ibn
Hajar al-‘Asqalânî dalam al-Durar al-Kâminah fî ‘Ayn al-Mi’ah al-Tsâminah
menyebutkan; bahwa Ibn Katsîr –seorang ahli hadits pengikut Ibn Taymiyyah– pada
hari-hari terakhir hayatnya menulis sebuah kitab berjudul Mawlid Rasulallah
yang tersebar luas. Kitab tersebut menyebutkan kebolehan dan anjuran
memperingati maulid Nabi saw.” (Ibn Katsîr, Mawlid Rasulallah, editor
Shalah al-Din Munajjad (cet. Dâr al-Kitâb al-Jadîd, beirut 1961).
Dalam
kitab Ibn Katsîr tersebut, ia mengatakan, “Malam kelahiran Nabi saw. adalah
malam yang agung, mulia, diberkati, dan suci, suatu malam yang membahagiakan
bagi orang-orang beriman, bersih, bersinar cemerlang, dan tak ternilai
harganya.” (Ibid., h. 19).
- Jalal al-Dîn
al-Suyûthî berkata: Syekh-Islam –seorang tokoh hadits pada masanya, Ahmad ibn
Hajar al-‘Asqalani– pernah ditanya mengenai kebiasaan memperingati kelahiran
Nabi saw.. Beliau memberikan jawaban sebagai berikut:
"Sehubungan
dengan asal muasal dari kebiasaan memperingati kelahiran Nabi saw, itu
merupakan suatu bid’ah yang kita tidak menerimanya dari para saleh di antara
kaum muslim terdahulu pada masa tiga abad pertama Hijriah. Meskipun demikian,
praktek tersebut melibatkan bentuk-bentuk yang terpuji dan bentuk-bentuk yang
tak terpuji. Apabila dalam praktek peringatan tersebut, orang-orang hanya
melakukan hal-hal terpuji saja, dan tidak melakukan yang sebaliknya, maka itu
bid’ah yang baik, tetapi bila tidak demikian, maka tidak baik. Dalil dasar dari
nas yang bisa dipercaya untuk merujuk keabsahannya telah saya temukan, yaitu
suatu hadits sahih yang dimuat dalam kumpulan Shahih al-Bukhari dan Shahih
Muslim, bahwa Nabi saw. datang ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi
berpuasa pada tanggal sepuluh Muharam (Asyura), maka beliau bertanya kepada
mereka tentang hari itu dan mereka menjawab: 'Hari ini adalah hari Allah swt
menenggelamkan Fir’aun dan menyelamatkan Musa a.s., maka kami pun berpuasa
untuk menyatakan syukur kepada Allah Taala'.
Dalil
ini menunjukkan keabsahan berterima kasih kepada Allah swt atas karunia-Nya
yang diberikan pada suatu hari tertentu, baik dalam bentuk pemberian nikmat dan
peng- hindaran dari bencana. Kita mengulang rasa syukur kita dalam peringatan
hari tersebut setiap tahun, dengan menyatakan syukur kepada Allah swt dalam
berbagai bentuk peribadatan seperti sujud syukur, puasa, memberi sedekah atau
membaca Alquran… Lantas, karunia apa lagi yang lebih besar daripada kelahiran
Nabi saw., Nabi pembawa rahmat, pada hari ini? Melihat kenyataan demikian, kita
seharusnya memastikan untuk memperingatinya pada hari yang sama, sehingga
sesuai dengan cerita tentang Musa a.s. dan tanggal sepuluh Muharam di
atas. Akan tetapi, orang yang tidak melihat persoalan ini penting,
merayakannya pada hari apa saja dalam bulan itu, bahkan sebagian meluaskannya
lagi pada hari apa saja sepanjang tahun, pengecualian apa pun dapat
diambil dalam pandangan semacam ini”.( Al-Suyûthî, al-Hâwî li al-Fatâwî seperti
disebutkan dalam The Reliance of the Traveller karya al-Mishrî,
terjemahan oleh Nuh Ha Mim Keller, bagian w58.0.).
- Dalam pandangan mufti Mekah, Ahmad ibn
Zaini Dahlan, “Memperingati hari kelahiran Nabi saw. dan mengingat Nabi saw.
itu dibolehkan oleh ulama muslim.” (al-Sîrah al-Nabawiyyah wa al-Âtsâr
al-Nabawiyyah, hal. 51. Kutipan-kutipan selanjutnya kebanyakan diambil dari
karya ini).
- Imam
al-Subki mengatakan; “Pada saat kita merayakan hari kelahiran Nabi saw, rasa
persaudaraan yang kuat merasuk ke hati kita, dan kita merasakan sesuatu yang khas”.
- Imam
Al-Jauzi (Al-Hafidz Jamaluddin ‘Abdurrahman Al-Jauzi) -seorang imam madzhab
Hanbali wafat tahun 567 H- mengatakan; “Manfaat istimewa yang terkandung dalam peringatan maulid
Nabi saw. ialah timbulnya perasaan tenteram disamping kegembiraan yang
mengantarkan ummat Islam kepada tujuan luhur. Dijelaskan pula olehnya
bahwa orang-orang pada masa Daulat ‘Abbasiyah dahulu memperingati hari maulid
Nabi saw. dengan berbuat kebajikan menurut kemampuan masing-masing,
seperti mengeluarkan shadaqah, infak dan lain-lain. Selain hari maulid, mereka
juga memperingati hari-hari bersejarah lainnya, misalnya hari keberadaan Nabi
saw. di dalam goa Hira sewaktu perjalanan hijrah ke Madinah. Penduduk Baqdad
memperingati dua hari bersejarah itu dengan riang gembira, berpakaian serba
bagus dan banyak berinfak.
- Imam al-Syawkani dalam al-Badr
al-Thali‘. mengatakan, “Dibolehkan merayakan hari kelahiran Nabi saw.”.
Beliau pun mengatakan bahwa Mulah ‘Alî al-Qârî memiliki pandangan yang sama
dalam kitabnya, al-Mawrid al-Rawi fi al-Mawlid al-Nabawi, yang ditulis
secara khusus untuk mendukung perayaan hari kelahiran Nabi saw..
- Imam
Abu Syamah, guru Imam al-Nawawî, dalam kitabnya tentang bid’ah, al-Ba‘its
‘ala Inkar al-Bida‘ wa al-Hawadits, berkata: Bid’ah yang paling baik pada
masa kita sekarang ini adalah peringatan hari kelahiran Nabi saw.. Pada
hari tersebut orang-orang memberikan banyak sumbangan, melakukan banyak ibadah,
menunjukkan rasa cinta yang besar kepada Nabi saw., dan menyatakan banyak
syukur kepada Allah swt. karena telah mengutus Rasul-Nya kepada mereka, untuk
menjaga mereka agar mengikuti sunah dan syariah Islam.
- Imam
al-Syakhawi mengatakan, “Peringatan hari kelahiran Nabi saw. dimulai pada tiga
abad setelah Nabi saw. wafat. Seluruh muslimin merayakannya dan seluruh
ulama membolehkannya, dengan cara beribadah kepada Allah swt, bersedekah, dan
membaca riwayat hidup Nabi saw.”.
- Al-Hafidh Ibn Hajar al-Haitami mengatakan,
“Sebagaimana orang-orang Yahudi merayakan Hari Asyura dengan berpuasa untuk bersyukur
kepada Allah swt, kita pun mesti merayakan maulid”. Beliau pun mengutip
hadits yang telah disebutkan di depan, “Tatkala Nabi saw. tiba di Madinah
…”. Ibn Hajar kemudian melanjutkan: (Selayaknya) orang bersyukur kepada
Allah swt atas rahmat yang telah Dia berikan pada suatu hari tertentu, baik
berupa kebaikan yang besar ataupun keterhindaran dari bencana. Hari
tersebut dirayakan setiap tahun setelah peristiwa itu. Ungkapan syukur
terlahir dalam berbagai bentuk peribadat an seperti sujud syukur, puasa,
sedekah, dan membaca Alquran. Lantas, kebaikan apa lagi yang lebih besar
dari kedatangan Nabi saw., seorang Nabi penyebar rahmat, pada hari
maulid?
- Ibn al-Jawzi (w. 579) menulis sebuah buku
kecil yang berisi syair dan riwayat hidup Nabi saw untuk dibacakan dalam
perayaan maulid. Buku itu berjudul Mawlid al-‘Arus, (Ibn
al-Jawzi, Mawlid al-‘Arus, Damaskus: Maktabat al-Hadharah, 1955)
dan beliau membuka dengan kata-kata, “Al-hamd li Allah al-ladzi
abraza min ghurrat ‘arus al-hadhrah shubhan mustanirah (Segala puji bagi
Allah swt yang telah mengeluarkan dari pancaran cahaya hadirat-Nya pagi hari
yang semburat dengan sinar cemerlang)”.
- Imam Nawawi (Al-Hafidz Muhyiddin bin Syarat An-Nawawi) yang wafat
dalam tahun 676 H bahkan mensunnahkan peringatan maulid Nabi saw.. Fatwa
Imam Nawawi tersebut diperkuat oleh Imam Al-Asqalani (Al-Hafidz
Abul-Fadhl Al-Imam bin Hajar Al-‘Asqalani) yang wafat dalam tahun 852 H. Dengan
berdasarkan dalil-dalil yang meyakinkan, Imam Al-‘Asqalani memastikan bahwa
memperingati hari maulid Nabi saw. dan mengagungkan kemuliaan beliau merupakan
amalan yang mendatangkan pahala.
Soal bentuk dan cara
pelaksanaan peringatan maulid dapat selalu berubah, berbeda dan berkembang
sesuai dengan perubahan, perbedaan dan perkembangan masyarakat setempat pada
setiap zaman. Syari’at Islam hanya menetapkan kewajiban mengingat nikmat
Allah swt., dan ini dapat dilaksanakan pada tiap kesempatan dan tiap keadaan.
Adapun bentuk dan caranya boleh saja mengikuti kelaziman yang biasa berlaku
dalam masyarakat, asalkan tidak menyalahi prinsip-prinsip ajaran agama Islam.
Hal yang demikian ini banyak sekali contohnya yang dapat dikemukakan, misalnya:
> Soal thawaf, sa’yu, wuquf dipadang
‘Arafah dan beberapa manasik haji yang lain, semuanya itu adalah ketentuan-ketentuan
yang tidak boleh diubah dan diganti, semuanya telah ditetapkan oleh nash.
Ibadah haji adalah suatu kewajiban bagi tiap muslim yang mampu dan memenuhi
syarat. Akan tetapi orang boleh memilih bagaimana cara dia berangkat kesana
misalnya dengan berjalan, berkendara- an mobil, dengan kapal laut, dengan
pesawat terbang dan sebagainya.
> Pembacaan
Al-Qur’an;
orang boleh juga memilih apakah ia lebih suka membaca ayat demi ayat yang
tertulis dalam kitab suci itu, ataukah hendak membacanya secara hafalan. Dia
boleh memilih juga cara membacanya dengan sendirian atau membaca bersama dengan
jama’ah.
> Cara
pembacaan do’a;
orang boleh mengutarakan sendiri apa yang menjadi isi hati dan permohonannya
atau dengan membaca kumpulan-kumpulan kalimat tertentu yang telah disiapkan
oleh para ahli penyusun do’a.
> Dalam
hal menunaikan zakat dan shadaqah atau infak; orang boleh
memilih cara yang dipandangnya terbaik. Ia boleh menyerahkan langsung kepada
orang-orang yang berhak menerimanya, atau lewat panitia-panitia pengumpul
zakat, badan-badan amal atau lembaga lembaga social.
> Demikian
juga masalah menyusun kekuatan yang diperintahkan Allah swt. kepada
ummat Muhammad saw.. Kita tidak terikat harus meneruskan cara-cara yang biasa
dilakukan oleh kaum muslimin pada masa hidupnya Nabi saw., lalu menolak atau
melarang penggunaan pesawat-pesawat tempur, tank-tank raksasa, peluru-peluru
kendali, roket-roket dan persenjataan modern lainnya. Banyak sekali kewajiban
yang diperintahkan syari’at, yang pelaksanaannya kita sesuaikan dengan keadaan
masyarakat pada kurun waktu tertentu. Mengenai soal-soal itu banyak sekali
dalil dapat kita ketemukan.
Kesimpulan keterangan
diatas ini ialah segala sesuatu yang menghasilkan maslahat/kebaikan bagi
dirinya atau masyarakat itu boleh dan baik diamalkan dengan cara bagaimana pun,
selama cara ini tidak keluar dari garis-garis yang ditentukan oleh syari’at
Islam. Lebih utama lagi jika pilihan kita itu sejalan dengan ijma’
(kesepakatan) para alim-ulama. Imam Syafi'i menegaskan: "Hal ihwal
baru yang diadakan, jika itu menyalahi Kitabullah atau Sunnah, atau
ijma' atau hadits (atsar), itu adalah bid'ah dhalalah (bid'ah sesat).
Hal ihwal baru berupa kebajikan, yang diadakan tidak menyalahi
ketentuan-ketentuan tersebut, itu terpuji”. Imam Al-'Izz bin
'Abdi-Salam, Imam Nawawi demikian juga Ibnu Atsir semuanya sependapat dengan
apa yang ditegaskan oleh Imam Syafi'i.
Sebagaimana juga yang telah
dikemukakan bahwa para sahabat sering pada zamannya Nabi saw mengerjakan
bid’ah/soal-soal baru mengenai bacaan-bacaan didalam sholat yang mana
sebelum dan sesudahnya tidak pernah dianjurkan atau diperintahkan oleh Nabi
saw.. Setelah dipertimbangkan masalah-masalah tersebut oleh beliau saw. dan
dipandang tidak menyalahi ajaran-ajaran pokok agama dan tidak berlawanan dengan
hukum-hukumnya, beliau saw. membiarkan dan malah meridhai
perbuatan-perbuatan mereka. Atas dasar itulah para ulama Figih (hukum Islam)
bersepakat menetapkan, ‘pada dasarnya segala sesuatu kaidah adalah mubah
atau halal, kecuali ada nash yang sah dan tegas dari Kitabullah dan Sunnah
Rasulallah saw. (hadits-hadits) yang mengharamkan masalah itu’.
Untuk lebih jelasnya
silahkan baca keterangan apa yang dimaksud kata-kata Bid'ah, yang
tercantum dalam hadits Rasulallah saw. pada bab "Bid’ah yang
dipermasalahan" di website ini. Dengan demikian, insya Allah kita
bisa menilai sendiri mana yang disebut bid'ah dholalah/sesat dan bid'ah yang
dibolehkan oleh syari'at.
- Doktor Abdul Ghaffar Muhammad Aziz, guru besar ilmu
da’wah pada Fakultas Ushuluddin, Universitas Al-Azhar, Kairo, dalam makalahnya
mengenai maulid yang dimuat di majalah Al-Islam antara lain sebagai
berikut:
“Memang ada
sementara orang yang berpendapat terlampau keras dan secara mutlak tidak
membenarkan adanya peringatan-peringatan keagamaan dalam bentuk apa pun juga
dan menganggapnya bid’ah yang tidak diakui oleh agama. Akan tetapi, saya
berpendapat, peringatan–peringatan itu tidak ada buruknya, asal saja
diselenggarakan menurut cara-cara yang sesuai dengan ajaran
syari’at.
Tidak ada
salahnya kalau peringatan Maulid, Isra Mi’raj atau peringatan-peringatan
keagamaan lainnya, dengan mengadakan pidato-pidato, ceramah ceramah dan
pelajaran khusus, baik di masjid-masjid, balai-balai pertemuan maupun lewat
segala macam mas media. Peringatan akan dapat mengingatkan kaum muslimin
pada soal-soal yang bersangkutan dengan agama. Selama peringatan-peringatan itu
berlangsung, mereka sekurang-kurangnya memperoleh kesegaran jiwa dan
melepaskan sementara kesibukan sehari-hari mengenai urusan hidup kebendaan yang
tiada habis-habisnya dan terus-menerus. Mengenai manfaat peringatan, Allah
swt. telah berfirman sebagai berikut:
وَذَكِّرْ فَإنَّ الِّكْرَى تَنْفَعُ المُؤْمِنِينَ
Artinya: “Dan ingatkanlah, karena peringatan itu sesungguhnya
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman “. (Adz-Dhariyat
: 55)
Peringatan
keagamaan seperti ini, yang diselenggarakan tanpa berlebih-lebihan atau
pemborosan yang tidak perlu, dapat dipandang sebagai sunnah hasanah
(perjalanan baik) yang diakui oleh hukum syara’ bahkan diterima dengan baik
dalam zaman kita sekarang. Zaman sekarang ini seakan-akan Allah swt.
hendak meratakan dan melestarikan berlangsungnya per- ingatan-peringatan
keagamaan itu sepanjang tahun. Seakan-akan Allah menghendaki supaya setiap
orang Muslim dari saat kesaat selalu berada di dalam suasana Al-Qur’an, suasana
sunnah Rasul-Nya dan suasana ke hidupan Islam, yang dari suasana segar seperti
itu Allah menghendaki kebaikan bagi umat manusia.
Mulai dari bulan
Muharram dengan segala kegiatan yang ada didalamnya sampai dengan bulan Rabiul
Awal yang penuh peringatan-peringatan Maulid Nabi saw, sampai bulan Rajab
dengan peringatan Isra Mi’raj, terus hingga bulan Sya’ban dan bulan turunnya
Al-Qur’an Ramadhan disambung lagi dengan tiga bulan musim haji yaitu Syawal,
Dzul Qi’dah dan Dzul Hijjah. Demikianlah suasana keagamaan berlangsung terus
menerus dan berulang-ulang setiap tahun”.
- Seorang penulis Islam, Al-Ustadz
Abdurrahim Al-Jauhari dalam makalah-nya antara lain menginginkan
agar peringatan maulid Nabi saw. tidak hanya berlangsung dalam waktu sehari
saja, tetapi supaya berlangsung selama sebulan penuh, agar para ulama
memperoleh waktu yang cukup untuk menyebarluaskan nilai-nilai abadi yang
terdapat didalam kehidupan Nabi saw. Karena dilihat dari besarnya pengaruh
ajaran Rasulallah saw. didalam kehidupan bangsa-bangsa, baik secara sosial mau
pun secara individual, maka kelahiran Nabi Muhammad saw. dapat dipandang
sebagai suatu peristiwa terbesar dalam sejarah. Oleh karenanya perayaan
peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang mulia itu harus disesuaikan dengan
keagungan pribadi beliau dan harus pula disesuaikan dengan kebesaran
pengaruhnya di seluruh dunia.
Ada pun mengenai
resepsi-resepsi resmi yang diadakan untuk memperingati maulid Nabi saw. itu
hanya dapat dianggap sebagai perayaan nasional bagi seluruh Negara yang
mengakui Islam sebagai agama resmi.
- Doktor Muhammad Sayyid Ahmad Al-Musir,
gurubesar ilmu ‘Aqidah dan Filsafat pada Fakultas Ushuluddin, dalam wawancara
khusus dengan wartawan majalah Al-Liwa’ul Islami menerangkan antara lain
sebagai berikut:
“Perayaan
peringatan maulid Nabi saw. itu dengan jamuan/pesta makan dan minum sama sekali
tak ada kaitannya dengan teladan mulia yang telah di berikan oleh Rasulallah
saw. Akan tetapi perlu dimengerti, bahwa kami tidak melarang atau
mengharamkan jenis-jenis tertentu dan makanan dan minuman yang disuguhkan
dalam peingatan tersebut, tetapi yang kami sesali ialah ada sementara orang
yang beranggapan bahwa bentuk-bentuk peringatan yang bersifat kebendaan
itu merupakan bagian daripada peringat an maulid Nabi saw.
Pendapat
sementara orang yang memandang peringatan maulid Nabi saw. atau peringatan
keagamaan lainnya sebagai bid’ah, perbedaan kami dengan mereka
(yang membid’ahkan peringatan-peringatan keagamaan--pen) ialah mengenai pengertian
atau ta’rif tentang bid’ah dan sunnah.
Mereka mengata kan bahwa ‘setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan
tempatnya di neraka’ sebagaimana yang terdapat di dalam hadits shahih.
Akan tetapi mereka
itu melupakan sesuatu yang amat penting yaitu bid’ah yang disebut sesat
(dholalah) dan yang tempatnya di neraka bukan lain adalah bid’ah yang
di-isyaratkan oleh Al-Qur’an, yakni firman Allah swt.: ‘Mereka
mensyari’atkan sebagian dari agama sesuatu yang tidak diizinkan Allah
” (Asy-Syura:21).
Jadi bid’ah yang
terlarang itu ialah penambahan bentuk peribadatan (yang pokok--pen)
didalam agama. Hal ini sama sekali tidak terdapat dalam peringatan
keagamaan yang diadakan, seperti peringatan maulid Nabi saw. dan peringatan
keagamaan lainnya”.
- Pendapat Al-Ustadz Mahmud Syaltut tentang
peringatan maulid Nabi saw. antara lain sebagai berikut:
“Setelah
abad-abad pertama Hijriyah (abad ke tujuh Masehi) di kalangan kaum
muslimin mulai berlangsung kebiasaan mengadakan perayaan memperingati hari
maulid Nabi saw. pada bulan Rabiul-Awal tiap tahun. Cara mereka memperingati
maulid ini berbeda-beda menurut keadaan lingkungan dinegeri mereka
masing-masing. Ada yang merayakan hari kelahiran Nabi saw. dengan menyiapkan makanan-makanan
khusus yang pada umumnya tidak biasa dimakan sehari-hari, kemudian mereka makan
bersama keluarganya pada malam 12 Rabiul awwal dalam suasana riang gembira.
Ada yang
merayakan dengan menyediakan beberapa macam kue-kue manis yang khusus dibuat
dalam aneka ragam bentuknya oleh para pedagang. Kue-kue ini diletakkan secara
teratur dan serasi didepan toko mereka untuk menarik para pembeli. Ada juga
yang merayakan dengan menyelenggarakan pertemuan-pertemuaan yang dibuka dengan
pembacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Kebanyakan para qari membacakan
ayat-ayat yang sesuai dengan sifat peringatan maulid tersebut. Setelah itu
dibacakan kisah maulid Nabi saw. dengan mengetengahkan sifat-sifat dan akhlak
beliau saw., juga kisah lainnya yang menerangkan keadaan masyarakat pada masa
kelahiran beliau saw.. Pada zaman pertama generasi-generasi berikutnya, orang
mulai menulis buku dan menghimpun ucapan orang-orang yang menyampaikan
berita-berita riwayat dan hadits-hadits. Kemudian buku ini disebar luaskan
kepada kaum muslimin untuk mengingatkan mereka tentang kebesaran
Nabi Muhammad saw. dan perangai mulia yang telah menjadi fitrah
beliau, yang telah dikenal baik oleh keluarga, sanak kerabat dan kaumnya
(yakni orang Quraish--pen). Antara lain diriwayatkan berita dalam buku-buku
tersebut:
‘Ketika beliau
masih sebagai anak penggembala kambing, ketika beliau masih remaja muda turut
bersama pamannya beliau dalam perang Fijjar (peperangan yang terjadi setelah
tahun Gajah antara orang-orang Quraish dan sekutunya orang-orang Kinanah disatu
pihak, melawan orang orang dari Bani Hawazin. Konon waktu itu Rasulallah
saw. umur 14 th. ada riwayat mengatakan umur beliau waktu itu 20 th.—red.) dan
persekutuan Fudhul. Juga dibuku tersebut meriwayatkan ketika beliau saw.
telah mencapai kematangan fitrah dalam hubungan dengan Allah dan masih banyak
lagi keterangan-keterangan riwayat beliau saw. yang tercantum dalam buku-buku
tersebut. Demikian itulah peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang lazim
dilakukan oleh kaum muslimin sebagai sunnah setelah abad-abad pertama Hijriyah’
”!
- Imam Abu Syamah -gurunya Imam Nawawi- ketika mengomentari peringatan maulid Nabi saw. berkata sebagai berikut:
“Diantara kegiatan terbaik yang diada-adakan pada masa kita sekarang ini adalah
kegiatan yang dilakukan setiap tahun bertepatan dengan kelahiran Nabi kita
Muhammad saw. yakni memperbanyak sedekah, mengerjakan hal-hal yang baik serta
menampakkan keriangan dan kegembiraan. Karena demikian itu selain didalamnya
terkandung perbuatan yang baik terhadap fakir miskin juga mengesankan suatu
kecintaan dan pengagungan kepada Nabi saw. serta juga rasa syukur kepada Allah
swt.atas karunia-Nya yang telah menciptakan beliau saw. dan mengutusnya sebagai
rahmat bagi sekalian alam”.
- As-Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani
rohimahullah, beliau adalah seorang ulama dan anak seorang ulama besar -Al-Allamah Ustadz Alawi, dikerajaan Arab Saudi yang
berkedudukan sebagai Mufti Makkah-. Sekali pun secara
format kerajaan Arab Saudi madzhab Wahabi/ Salafi tapi beliau tetap sebagai
ulama yang bermadzhab Maliki. (Akhir-akhir ini ada golongan
Salafi/Wahabi ,sebagaimana kebiasaannya, berani mengkafirkan seorang ulama yang
bertauhid ini -yakni Ustadz
Muhammad al-Maliki ini- karena tidak
sepaham dengan mereka! Ya Allah janganlah kami dimasukkan kegolongan yang
mudah mengkafirkan sesama muslimin yang meng-Esakan Engkau dan beriman
kepada Malaikat-Malaikat-Mu, Rasul-Rasul-Mu serta mempunyai kiblat yang sama
dengan kaum muslimin lainnya. Amin--pen.).
Maulid Nabi saw.
yang tertulis dalam makalahnya Haulal–Ihtifal Bil-Maulidin
Nabawiyyisy-Syarif (Sekitar Peringatan Maulid Nabi yang Mulia) tersebut
merupakan salah satu karya tulis dari beberapa orang ulama dan penyair Islam
kenamaan, yang dimuat dalam buku koleksi pilihan tulisan para ulama dan para
penyair Islam berjudul Baaqah Ithrah, cetakan pertama tahun 1983,
yang terbit di Makkah. Pendapatnya mengenai peringatan maulid Nabi saw. dalam
makalahnya itu antara lain:
Sebenarnya sudah
terlalu banyak orang berbicara tentang perayaan atau peringatan Maulid Nabi
saw. Sesungguhnya masih banyak soal lain yang lebih memerlukan pemikiran kita.
Pembicaraan masalah ini seolah-olah menjadi permasalahan rutin setiap tahun,
sehingga orang merasa jemu. Selama masih banyaknya pikiran yang secara
diam-diam menyalahkan –bahkan mengharamkan– perayaan atau peringatan maulid
Nabi saw., maka tidak ada jeleknya jika saya (sayid Muhamad Al-Maliki) berusaha
memenuhi harapan kaum muslimin awam, yang masih merasa butuh kepada penjelasan
mengenai jaiz atau bolehnya
penyelenggaraannya.
Lebih baik
saya tekankan lebih dahulu bahwa bentuk peringatan Maulid Nabi saw.
seperti berkumpul untuk mendengarkan riwayat hidup beliau, menyatakan pujian-pujian
dan sholawat yang memang sudah menjadi hak beliau saw., kemudian dilanjutkan
dengan suguhan-suguhan makanan dan lain sebagainya guna menyemarakkan/
menggembirakan kaum muslimin, semuanya itu boleh/jaiz, tidak dilarang oleh
syara’. Perayaan atau peringatan maulid ini dapat dan boleh diselenggarakan
kapan saja. Memang benar peringatan ini diadakan pada bulan kelahiran beliau
saw. adalah lebih baik, karena lebih menggugah ingatan orang kepada
peristiwa besar yang terjadi dalam bulan itu dimasa silam. Dengan demikian
orang lebih mudah mengkaitkan masa kini dengan masa lampau.
Tidak dapat
disangkal bahwa mengumpulkan orang banyak untuk memperingati Maulid ini
merupakan salah satu cara terpenting untuk menda’wahkan kebenaran Allah dan
Rasul-Nya. Ini merupakan kesempatan emas yang tidak boleh disia-siakan.
Dalam kesempatan itupun para ulama dapat mengingatkan umat kepada junjungan
kita Rasulallah saw. Bagaimana sesungguhnya beliau itu, bagaimana keagungan dan
keluhuran budi pekerti serta akhlaknya, bagaimana kehidupan beliau saw.
sehari-hari, bergaul dengan para sahabatnya, bagaimana beliau menunaikan ibadah
kepada Allah dan sebagainya. Jadi kegiatan perayaan maulid ini adalah kegiatan yang
sangat baik dan bermanfaat.
Peringatan maulid
Nabi saw. tidak lain memantulkan kegembiraan kaum muslimin menyambut junjungan
mereka Rasulallah saw.. Bahkan orang kafir pun beroleh manfaat dari
sikapnya yang menyambut gembira kelahiran beliau, seperti Abu Lahab,
misalnya.
Sebuah hadits
dalam Shahih Bukhori menerangkan bahwa tiap hari Senin Abu Lahab
diringankan siksanya, karena ia memerdekakan budak perempuannya, Tsuwaibah,
sebagai tanda kegembiraannya menyambut kelahiran putera saudaranya Abdullah bin
Abdul Mutthalib, yaitu Muhammad saw.. Jadi, jika orang kafir saja beroleh manfaat dari
kegembiraannya menyambut kelahiran Rasulallah saw., apalagi orang yang
beriman!
(Begitu juga
Al-Hafidh Syamsuddin Muhammad bin Nashiruddin al-Dimasyqi berkata: “Jika orang
kafir yang nyata-nyata telah dicela oleh Allah melalui firman-Nya ‘Celakalah
dua tangan Abu Lahab’ serta dia kekal dalam neraka justru ada
keterangan bahwa selamanya disetiap hari Senin dia memperoleh keringanan
siksa lantaran kegembiraannya dengan kelahiran Nabi Muhamad saw. Lalu
bagaimanakah dengan orang yang sepanjang hidupnya bergembira dengan kelahiran
beliau dan diapun mati dalam keadaan bertauhid?--pen.)”.
Selanjutnya
Ustadz Muhammad Al-Maliki berkata: Rasulallah saw. sendiri menghormati hari
kelahiran beliau, dan bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat-Nya yang besar
itu. Beliau dilahirkan dialam wujud sebagai hamba Allah yang paling mulia dan
sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta. Cara beliau menghormati hari
kelahirannya dengan berpuasa. Hadits dari Abu Qatadah yang mengatakan,
bahwa ketika Rasulallah saw. ditanya oleh beberapa orang sahabat mengenai puasa
beliau tiap hari Senin, beliau menjawab:
ذَالِكَ يَوْمٌ وُلِدْتُ فِيْهِ وَيَوْمٌ بُعِثْتُ اَوْ
اُنْزِلَ عَلَيَّ فِيْهِ
Artinya: ‘Pada hari itu aku dilahirkan dan
pada hari itu juga Allah swt. menurunkan wahyu kepadaku”. (HR Shahih
Muslim)
Puasa yang beliau
lakukan itu merupakan cara beliau memperingati hari maulidnya
sendiri. Memang tidak berupa perayaan, tetapi makna dan tujuannya adalah
sama, yaitu peringatan. Jadi peringatan dapat dilakukan dengan cara
berpuasa, dengan memberi makan kepada pihak yang membutuhkan, dengan berkumpul
untuk berdzikir dan bershalawat atau dengan menguraikan keagungan perilaku
beliau sebagai manusia termulia dan sebagainya.
(Jawaban Rasulallah
saw. waktu ditanya tentang puasa hari Senin:
'hari itu, hari kelahiranku....', beliau saw. tidak menjawab misalnya :
“Puasa hari senin itu mulia dan boleh-boleh saja..”. Ini menunjukkan
bahwa hari kelahiran beliau saw. ada mepunyai nilai tambahan dari
hari-hari lainnya, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu. Maka jelaslah
sudah bahwa Nabi saw. termasuk perhatian terhadap hari kelahiran
beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam---pen.).
Pernyataan senang
dan gembira menyambut kelahiran Nabi saw. merupakan tuntunan
Al-Qur’an. Allah swt. berfirman:
قُلِ
بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَالِكَ فَلْـيَفْرَحُوا
Artinya: “Katakanlah: ‘Dengan karunia Allah
dan rahmat-Nya hendaklah (dengan itu) mereka bergembira’
“. (QS.Yunus: 58)
Allah swt.
memerintahkan kita bergembira atas rahmat-Nya dan Nabi Muhammad saw. jelas
merupakan rahmat Allah terbesar bagi kita dan semesta alam, sebagaiman
firman-Nya:
وَمَا أرْسَلـْنَاكَ إلاَ رَحْمَةً لِلعَالَمِـيْنَ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutusmu kecuali
sebagai rahmat bagi alam semesta”. (QS.Al-Anbiya:107)
Rasulallah saw.
memperhatikan kaitan antara suatu masa dan peristiwa-peristiwa besar
keagamaan yang pernah terjadi dimasa silam (sebelum beliau). Manakala masa
terjadinya peristiwa itu berulang, itu dipandang sebagai kesempatan untuk mengingatnya,
menghormati hari terjadinya dan suasana yang meliputinya. Mengenai itu beliau
telah menetapkan sendiri kaidahnya. Sebagaimana di riwayatkan dalam sebuah
hadits, setiba Rasulallah di Madinah, beliau melihat orang-orang Yahudi
berpuasa pada hari ‘Asyura (10 Muharram). Ketika beliau saw. menanyakan hal
itu, dijawab: ‘Mereka (orang Yahudi) berpuasa karena Allah telah menyelamatkan
Nabi mereka (Musa as) dan menenggelamkan musuh mereka’. Mendengar itu Nabi saw.
menjawab:
نَحْنُ أوْلَى بِمُوسَى مِنْكُمْ
Artinya: ‘Kami lebih berhak memperingati Musa
daripada kalian (orang-orang Yahudi)’. Beliau
kemudian berpuasa pada hari itu dan menyuruh para sahabat berpuasa juga.
Peringatan maulid
memang tidak pernah dilakukan orang pada masa hidup nya Nabi saw. Itu memang bid’ah
(rekayasa), tetapi bid’ah hasanah (rekayasa baik), karena sejalan dengan
dalil-dalil hukum syara’ dan sejalan pula dengan kaidah-kaidah umum agama.
Sifat bid’ahnya terletak pada bentuk berkumpulnya jama’ah (secara
massal), bukan terletak pada perorangan (individu) yang memperingati maulid
Nabi. Sebab masa hidup beliau, dengan berbagai cara dan bentuk setiap muslim
melakukannya, meski pun tidak disebut ‘perayaan atau
peringatan’.
Tidak semua yang
tidak pernah dilakukan oleh kaum Salaf (terdahulu) dan yang belum pernah
terjadi pada masa pertumbuhan Islam adalah bid’ah dholalah (sesat) dan
harus ditolak. Masalah demikian itu harus dihadapkan pada dalil-dalil syara’.
Yang mendatangkan maslahat bagi kaum muslimin adalah wajib,
yang membahayakan kehidupan Islam dan kaum muslimin adalah haram.
Adapun soal cara hukumnya tergantung pada maksud dan tujuannya
(niatnya).
Dalam peringatan
maulid ini pasti dikumandangkan ucapan-ucapan shalawat dan salam bagi
junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Shalawat dan salam, keduanya ini
dikehendaki oleh Allah swt. Dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya
Allah dan para Malaikat-Nya bershalawat (melimpahkan rahmat dan ampunan)
kepada Nabi. Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kalian bershalawat (mendo’akan
rahmat) baginya dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”. (QS.Al-Ahzab
: 56).
Betapa banyak pahala
kebaikan yang didapat oleh orang yang banyak mengucapkan shalawat Nabi,
sehingga Rasulallah saw. sendiri menjanjikan sepuluh kali lipat balasan do’a
beliau bagi orang dari umatnya yang bershalawat kepada beliau. Dalam peringatan
Nabi itu pasti mencakup uraian mengenai riwayat-riwayat beliau,
mu’jizat-mu’jizat beliau, sejarah kehidupan beliau dan pengenalan beliau akan
berbagai segi kemuliaan beliau. Bukankah kita diharuskan mengenal beliau
dan dituntut supaya berteladan kepada beliau serta mengimani Al-Qur’an sebagai
mu’jizat yang besar dan membenarkannya? Dikitab-kitab maulid banyak
memaparkan semuanya itu.
Dengan selalu
mengenal/mengingat keagungan perangai beliau serta mu’jizat-mu’jizat dan
pembinaan serta tuntunan beliau pasti akan lebih menyempurnakan keimanan
kita kepada beliau saw.. Mengenal keadaan beliau dan menyakini tiada
sesuatu (makhluk) yang lebih indah, lebih sempurna dan lebih utama daripada
semua sifat yang ada pada beliau saw., pasti semuanya ini akan menambah
kecintaan kita dan lebih menyempurnakan keimanan kita pada beliau sebagai Nabi
dan Rasul. Kedua-duanya itu merupakan tuntunan syara’ dan upaya/jalan untuk
bisa mencapai dua hal itu wajib kita lakukan. Allah swt berfirman:
“Dan semua kisah dari para Rasul, Kami ceriterakan kepadamu, yang dengan
kisah-kisah itu Kami teguhkan hatimu”. (QS Hud : 120)
Dari firman
tersebut tampak jelas banyak hikmah yang terkandung dalam kisah para Nabi dan
Rasul, dan menambah keteguhan hati Nabi Muhammad saw. Sudah pasti, umat Islam
terutama saat ini sangat memerlukan keteguhan hati dalam menghadapi berbagai
godaan dan cobaan hidup. Untuk itulah kita sangat membutuhkan kisah kehidupan
junjungan kita Nabi Besar Muhammad saw..
Pada umumnya
semua ulama dan kaum muslimin berpendapat tidak ada cara tertentu atau cara
khusus bagi peringatan maulid Nabi saw. yakni tidak ada cara tertentu yang
harus dilakukan orang. Sebab, tujuan pokok peringatan ini mengajak
orang kepada kebaikan yang bermanfaat bagi mereka didunia dan diakhirat.
Seumpama kita hanya menyatakan pujian-pujian dengan menyebut-nyebut junjungan
kita Nabi Muhammad saw., baik mengenai keutamaanya, perjuangannya dan lain-ain
sebagainya, itu sudah berarti terlaksanalah sudah peringatan
maulid Nabi saw. Menurut hemat kami pengertian demikian itu tidak akan
dipertengkarkan orang dan tidak pula menimbulkan pertikaian.
Masalah
Berdiri waktu Pembacaan Maulid.
Mengenai soal berdiri
dalam peringatan maulid, yaitu pada saat disebut detik-detik kelahiran Nabi
saw. dialam wujud ini, dikalangan sementara orang memang terdapat dugaan-dugaan
yang tidak benar dan tidak berdasar. Sepanjang pengetahuan kami
sangkaan yang salah itu tidak terdapat di kalangan para ahli ilmu (ulama).
Bahkan dikalangan yang hadir dan turut berdiri didalam peringatan maulid
itu sendiripun tidak ada sangkaan batil itu.
Sangkaan batil
itu adalah pada waktu berdiri itu percaya bahwa Nabi saw. keluar dari kuburnya
dengan jasad beliau hadir ditengah jama’ah yang sedang asyik
mendengarkan kisah kelahiran beliau. Sangkaan yang lebih buruk lagi bahwa
mereka beranggapan kemenyan, ukup atau wewangian lainnya, dan air dingin
yang terletak ditengah jama’ah merupakan air minum yang disediakan khusus untuk
beliau saw. Semua sangkaan dan dugaan-dugaan demikian itu sama sekali tidak
pernah terbayang dalam pikiran kaum muslimin, dan kita berlindung
kepada Allah swt. jangan sampai berpikir seperti itu. Sebab hal-hal semacam ini
termasuk 'kekurang-ajaran' terhadap kedudukan Rasulallah saw.
Tidak ada orang
yang berani memastikan kehadiran Rasulallah saw. dengan jasadnya kecuali
orang mulhid (atheis, kafir) dan pendusta besar. Anggapan seperti
itu adalah suatu kebohongan yang sengaja diada-adakan, suatu
kekurang-ajaran dan kejahatan yang tidak mungkin ada kecuali pada orang
yang benci, dungu dan menentang beliau saw.. Kita yakin bahwasanya Nabi
saw. hidup dialam barzakh yang sempurna dan sesuai dengan kedudukan beliau. Ruh
(bukan jasad) beliau berkeliling dialam malakut Allah swt., dapat pula
menghadiri tempat-tempat kebaikan dan tempat-tempat lain yang memancarkan
cahaya ilmu dan pengetahuan. Demikian juga ruh-ruh para pengikut beliau saw.,
orang-orang beriman yang setia kepada beliau saw..
- Imam
Malik ra mengatakan: “Saya mendengar hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa ’ruh’
adalah lepas bebas dapat bepergian kemana saja menurut kehendaknya”.
Salman Al-Farisi ra (sahabat Nabi saw) berkata: Bahwa ia mendengar
dari Rasulallah saw; “bahwa arwah (ruh-ruh) kaum mu’minin berada di alam
barzakh (tidak jauh) dari bumi, dan dapat bepergian menurut
keinginannya”. Demikian itulah menurut kitab ‘Mengenai Soal Ruh’
yang ditulis oleh Ibnul Qayyim, halaman 144.
(Lihat dua hadits
terakhir diatas ini, kalau bahwa seorang mu’min bisa bepergian kemana saja
menurut keinginannya, apalagi ruh suci junjungan kita Muhamad saw.! Ini semua
tidak lain kenikmatan dan rahmat yang diberikan Allah swt. terhadap hamba-Nya
yang mu’min. Memang soal alam ruh itu repot dijangkau oleh akal manusia yang
terbatas ini, sebagaimana yang Allah swt firmankan berikut ini: “Mereka
bertanya kepadamu (hai Muhamad) tentang ruh, jawablah: ‘Itu termasuk
urusan Tuhanku’, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit “.(Al-Isra
: 85)..--pen--.)
Karenanya soal
berdiri dalam peringatan maulid Nabi bukan soal wajib dan bukan
soal sunnah. Mempercayainya sebagai soal wajib atau sunnah sama sekali
tidak dapat dibenarkan. Itu bukan lain hanya suatu harakah (gerak) yang
mencerminkan keriangan dan kegembiraan para hadirin dalam peringatan maulid.
Pada saat mereka mendengar kisah kelahiran Nabi saw. disebut, tiap pendengarnya
( yang memahami maknanya) membayangkan seolah-olah pada detik-detik itu seluruh
alam wujud gembira menyambut ni’mat besar yang dikaruniakan Allah swt. Soal
kegembiraan adalah soal biasa, bukan soal keagamaan, bukan soal ibadah, bukan
syari’at dan bukan sunnah. Itu hanya merupakan kebiasaan yang lazim dilakukan
orang, dan pernyataan sukaria demikian itu dipandang baik oleh para ulama pakar
dan dilakukan oleh kaum muslimin diberbagai negeri, kawasan dan daerah. Para
ulama di Timur mau pun di Barat juga memandangnya sebagai kebiasaan yang
baik.
Hal itu dikatakan
sendiri oleh pengarang kitab maulid terkenal yaitu Syeikh Al-Barzanji.
Beliau mengatakan: “Para Imam ahli riwayat dan ahli rawiyyah (ahli
pikir) memandang baik orang berdiri pada saat kisah kelahiran Nabi saw.
disebut. Bahagialah orang yang memuliakan beliau saw. dengan segenap pikiran
dan perasaannya”.
Dalam sebuah
pantunnya/syairnya beliau juga menyatakan: ‘Para ahli ilmu, ahlul-fadhl (orang-orang
utama) dan ahli takwa mensunnahkan berdiri diatas kaki sambil berenung
sebaik-baiknya. Membayangkan pribadi Al-Mushthofa (Rasulallah saw.) karena beliau senantiasa Hadir di
tempat mana pun beliau disebut, bahkan beliau mendekatinya’.
Jelaslah sudah
bagi kita, bahwa Syeikh Al-Barzanjiy tidak mengatakan ‘Nabi
saw. yang mensunnahkan, dan tidak mengatakan para Khalifah Rosyidun
yang mensunnahkan. Beliau juga tidak mengatakan pensunnahan mereka itu
mutlak, beliau hanya mengatakan bahwa para ahli ilmulah yang
mensunnahkan berdiri.
Syeikh
Al-Barzanjiy berkata: 'Soal berdiri itu hanya untuk membayangkan pribadi
Al-Mushthafa (Rasulallah saw.) didalam imajinasi (dzihn). Membayangkan
pribadi beliau saw. adalah suatu yang terpuji, diminta dari setiap
muslim, bahkan perlu sering dilakukan oleh setiap muslim yang mukhlish.
Sering membayangkan pribadi beliau akan menambah kepatuhan dan kecintaan kepada
beliau saw., yang pada akhirnya gemar sekali mengikuti ajaran dan teladan yang
beliau saw. berikan kepada ummatnya. Berdiri ini hanya soal kebiasaan, maka
orang yang tidak berdiri pun tidak apa-apa, ia tidak berdosa dan tidak
melanggar ketentuan syari’at '.
Memang benar,
sikap tidak mau berdiri itu dapat menimbulkan penafsiran atau kesan pada orang
yang melihatnya (para hadirin), bahwa sikap seperti itu dianggapnya tidak
sopan, tidak berperasaan. Jadi, persoalannya sama dengan orang yang
meninggalkan adat-istiadat yang sudah menjadi tradisi masyarakat.
Berdiri
menghormati ahlul-Fadhl (manusia utama) adalah disyari’atkan oleh agama.
Dalil-dalil yang menetapkan hal itu banyak terdapat didalam Sunnah. Mengenai
masalah itu Imam Nawawi menulis bab khusus, diperkuat oleh Ibnu
Hajar. Ia menjawab sanggahan ‘Ali Ibnul-Haj -yang secara khusus menolak pendapat Imam Nawawi- dengan menulis bab tersendiri yang berjudul Raf’ul-Mulam
‘Anil-Qail bin Istihsanil-Qiyam Min Ahlil-Fadhl.
Sebuah hadits -Muttafaq ‘alaih- ( HR.bukhori nr.2878, Muslim hadits nr.1768) meriwayatkan bahwa
Rasulallah saw. dalam salah satu khutbahnya dihadapan kaum Anshor berseru: ‘Hendaklah
kalian berdiri untuk menghormat pemimpin kalian’.
Yang dimaksud
pemimpin kalian ialah Sa’ad ra.. Rasulallah saw. menyuruh mereka berdiri
bukan karena Sa’ad dalam keadaan sakit --sementara fihak menafsirkan mereka disuruh berdiri untuk
menolong Sa’ad turun dari kendaraannya, karena dalam keadaan sakit- sebab jika Sa’ad dalam keadaan sakit, tentu Rasulallah
saw. tidak menyuruh mereka semua menghormat kedatangan Sa’ad, melainkan
menyuruh beberapa orang saja untuk berdiri menolong Sa’ad. Begitu juga mengenai
berdirinya Thalhah ra
untuk Kaáb bin Malik ra.
- Imam
al-Khattabi berkata bahwa berdirinya orang bawahan untuk majikannya, murid
untuk kedatangan gurunya dan berdiri untuk kedatangan Imam yang adil dan
semacamnya itu, semuanya merupakan hal yang baik, berkata Imam Bukhori yang
dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yang duduk.
Imam Nawawi
berpendapat bila berdiri untuk penghormatan tidak apa-apa, sebagaimana Nabi
saw. berdiri saat kedatangan putrinya Fathimah ra., namun adapula
pendapat lain yang melarang berdiri untuk penghormatan (Fathul Baaari
Almasyhur juz 11 dan Syarh Imam Nawasi ala shohih Muslim juz 12 hal. 93)
Ada sementara
golongan yang mengatakan bahwa peristiwa tersebut diatas terjadi semasa beliau masih
hidup, dan beliau sendiri berada ditengah kaum Anshor, sedangkan dalam
peringatan maulid, beliau saw. tidak berada di tengah para hadirin. Sebagai
jawaban mengenai ini ialah: Sebagaimana yang telah saya kutip sebelumnya bahwa
orang yang membaca kisah maulid Nabi saw. membayangkan kehadiran beliau saw.
dalam imajinasinya. Meng-imajinasikan kehadiran beliau jelas akan menambah
penghormatan dan pemuliaan orang kepada beliau saw. Beliau datang ditengah alam
jasmani dari alam nurani jauh sebelum waktu kelahirannya. Meng-imajinasikan
kehadiran beliau berupa kehadiran nurani (ruhani) beralasan kuat, karena beliau
saw. seorang Nabi dan Rasul yang menghayati sepenuhnya akhlak Robbani. Dalam
hadits Qudsi beliau saw. mengatakan:
اَنَا جَلِيْسُ مَنْ ذَكَرَنِي
Artinya: “Aku duduk
menyertai orang yang menyebutku”.
Menurut sumber
riwayat lain :
اَنَا مَعَ مَنْ ذَكَرَنِي
Artinya:
“ Aku bersama orang yang menyebutku”.
Mengingat
kepatuhan dan kecintaan beliau saw. kepada Allah swt. dan kecintaan Allah swt
pada Rasulallah saw. serta mengingat pula akhlak Rabbani yang beliau hayati
sepenuhnya, maka dengan ruh beliau yang mulia dan agung itu beliau saw. bisa
selalu menghadiri ditempat mana saja beliau disebut.
Begitu pula
hadits mengenai bacaan salam kepada Rasulallah saw. dari Abu Hurairah ra
yang berkata bahwa Rasulallah saw. bersabda:
مَا مِنْ أحَدٍ يُسَلِّمُ عَلَيَّ إلاَّ رَدَّ اللهُ
عَلَيَّ رُوْحِي حَتَّى أرُدَّ عَلَيْهِ السَّلاَمُ
Artinya:“Tiada
seorang yang mengucapkan salam kepadaku melainkan Allah mengembalikan ruhku
hingga dapat menjawab salam “. (HR. Abu dawud)
Juga hadits lain
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah bahwa Rasulallah saw.
bersabda: “Jangan kamu jadikan kubur (makam) saya sebagai tempat perayaan, dan
bacakan selawat untukku, maka bacaan selawatmu itu akan sampai
kepadaku dimana saja kamu berada”.
Dengan adanya
dalil-dalil diatas tersebut maka para ulama untuk membiasakan berdiri dalam
peringatan maulid pada detik-detik membaca kisah kelahiran Rasulallah saw., memberi
salam serta selawat kepada beliau saw. Berdiri dalam acara maulid
ini banyak dilakukan oleh kaum muslimin -baik dari golongan awam atau ulamanya- dalam berbagai madzhab di berbagai negeri, kawasan dan daerah.
Ada orang yang
menafsirkan hadits riwayat Abu Daud terakhir diatas ini secara keliru, yang
mana mereka berkata bahwa kita tidak
boleh (bid’ah) ziarah
pada Rasulallah saw. karena cukup dengan membaca selawat dan salam untuk beliau
dimana saja akan sampai. Ini adalah penafsiran yang salah. Sebenarnya yang
dimaksud sabda Nabi tersebut adalah “janganlah kita bersusah payah harus
menempuh perjalanan jauh (ke Madinah) semata-mata
hanya untuk mengucapkan selawat dan salam dimuka makam
Rasulallah saw., karena membaca selawat dan salam akan sampai pada beliau saw.
dimana kita berada, jadi tidak
harus menunggu berada dimuka makam Rasulallah saw.”.
Sedangkan kalimat
hadits ‘sebagai tempat
perayaan’ artinya ialah agar kita tidak bicara keras, ramai-ramai
(dimuka makam Rasulallah aw.) seperti halnya orang yang pergi berpesta,
tapi kita harus dengan tenang memberi salam dan selawat dimuka kuburan beliau
saw. dan berdo’a pada Allah swt. Karena ini termasuk anjuran Allah swt yang
mendidik tatakrama kepada ummat Islam terhadap Nabi saw..
Sebagaimana
firman-Nya pada surat Al-Hujurat: 2/3/4 (Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi ...sampai akhir ayat).
Menurut pandangan
ulama ,antara lain Imam Malik bin Anas ra, firman Ilahi ini juga berlaku baik
dikala beliau saw. masih hidup mau pun beliau setelah wafat.
Begitu juga bila kita ziarah kepada kuburan Rasulallah saw. di Madinah, di
masjid haram ini ada tertulis ayat Al-hujurat tersebut, dengan
demikian orang-orang yang membaca dan mengerti artinya akan tidak berisik
dimuka makam Nabi saw. tidak lain semuanya sebagai tata krama terhadap
junjungan kita Rasulallah saw.
Para hadirin pada
umumnya tidak memahami makna kitab maulid Barzanji atau kitab maulid lainnya, yang
dibaca dalam bahasa Arab. Mereka hanya menikmati irama, lagu dan kemerduan
suara. Itu memang merupakan kekurangan yang harus menjadi perhatian kita.
Tetapi walau pun adanya kekurangan tersebut, tidak mengurangi kekhusyu’an jalannya
peringatan maulid, mereka mengharap kan berkah dan pahala karena ikut
hadir dalam mengagungkan kebesaran Allah dan mencintai
Rasul-Nya. Kegembiraan mereka menyambut peringatan kelahiran Nabi besar
Muhammad saw. adalah kebajikan, lebih-lebih lagi jika kegembiraan itu
disertai dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat ma’ruf dan ihsan,
seperti menyediakan makanan dan minuman bagi kaum fakir miskin,
walimah-walimah, dan memanjatkan do’a kepada Allah swt. mohon diberi kemantepan
iman, mohon keselamatan bagi semua kaum muslimin dan lain sebagainya. Semuanya
ini merupakan kegiatan yang baik dan patut dipuji, karena dalam jama’ah/
kumpulan tersebut terdapat barokah (baca bab Tawassul/Tabarruk dibuku ini).
Dalam hadits yang
diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dari ‘Abdullah bin Mas’ud ra.
mengatakan: bahwasanya Rasulallah saw. pernah menyatakan: 'Apa yang
dipandang baik oleh kaum muslimin baik dalam pandangan Allah swt. dan apa yang
dipandang buruk oleh kaum muslimin buruk dalam pandangan Allah'. Hadits ini
memperkuat fatwa jumhurul ulama (pada umumnya ulama) yang menganjurkan
kaum muslimin supaya melaksanakan peringatan-peringatan maulid Nabi saw. dengan
acara-acara yang sudah lazim berlaku. Yaitu; membaca uraian riwayat kehidupan
Nabi Muhammad saw., ucapan-ucapan sholawat, berdzikir, tilawatul Qur’an,
ceramah-ceramah agama dan lain sebagainya, yang semuanya ini disunnahkan
oleh syari’at, mathlub syar’iy (tuntutan syari’at).
Demikianlah
sebagian uraian para pakar Islam mengenai peringatan maulid Nabi
saw. Hanya orang-orang yang egois, fanatik sajalah yang melarang
hal-hal tersebut sampai berani mensesatkan, membid’ahkan munkar dan lain
sebagainya, dengan memasukkan dalil-dalil yang semuanya itu tidak ada kaitannya
dengan masalah tersebut.
Nama kitab-kitab yang
menulis riwayat hidup Rasulallah saw.
Menurut riwayat pada malam
Rasulallah saw. dilahirkan tidak seperti malam-malam manusia lain dilahirkan.
Peristiwa yang tertulis didalam hadits termasuklah getaran yang dirasakan di
istana ‘Chosroes’ dan padamnya api yang telah menyala selama 1000 tahun
di Persi dan beberapa peristiwa lain yang ditulis oleh Ibnu Katsir dalam al-Bidaya
jilid 2 halaman 265-268.
- Dalam
kitab al-Madhkal oleh Ibnu al-Hajj jilid 1 halaman 261 disebutkan:
“Menjadi satu kewajiban bagi kita untuk memperbanyak kesyukuran kepada Allah
setiap hari Senin bulan Rabi’ul Awwal karena Dia (Allah swt.) telah
mengurniakan kepada kita nikmat yang besar yaitu diutus-Nya Nabi saw.
untuk menyampaikan Islam".
Sering kita baca
dalam kitab-kitab maulid yang ditulis oleh para pakar Islam -setelah zaman Nabi saw dan para sahabat.- sejarah tentang kelahiran Nabi saw.,
keutamaan, kebesaran dan mukjizat-mukjizat beliau saw. dan lain sebagainya. Diantara kitab-kitab maulid
itu serta nama penulisnya, yang
kadangkala dibaca dimajlis-majlis atau perkumpulan adalah sebagai
berikut:
-
Dalam kitab Kasyfudz-Dzunun dikemukakan bahwa orang pertama yang
menulis kitab Maghazi (Manakib atau perilaku kehidupan Nabi Muhammad
saw.) ialah Muhammad bin Ishaq -terkenal dengan nama Ibnu Ishaq- wafat pada tahun 151 H (pada zaman tabi’in). Dengan indah dan cemerlang ia
menguraikan riwayat maulid Nabi serta menjelaskan berbagai manfaat yang
dapat dipetik dari bentuk-bentuk peringatan, seperti walimah, shadaqah
dan kebajikan-kebajikan lainnya yang semuanya bersifat ibadah.
Dapat dipastikan masa
hidupnya Muhammad bin Ishaq ini pada zaman yang menurut sejarah Islam
disebut zaman kaum Tabi’in. Karenanya dapatlah di simpulkan, bahwa semua
yang ditulis dan diterangkan olehnya berasal dari orang-orang yang menyaksikan
sendiri kehidupan para sahabat Nabi saw.. Hasil penulisannya kemudian
diteruskan pada zaman berikutnya oleh Ibnu Hisyam, wafat dalam tahun 213
H. Ia menulis riwayat tentang perilaku kehidupan Nabi saw., dan berhasil
menyelesaikannya dengan baik, sehingga ia dianggap sebagai penulis pertama
riwayat kehidupan Nabi saw. Dengan menulis kitab mengenai itu Ibnu Hisyam tidak
bermaksud menghimpun semua nash yang pernah diucapkan oleh Rasulallah saw. atau
oleh para sahabat terdekat beliau saw.. Meski pun demikian ternyata buah
karyanya beroleh sambutan baik dan dibenarkan oleh para ulama dan para pemuka
masyarakat Islam. Tidak lain semuanya ini bertujuan memelihara dan melestarikan
data sejarah kehidupan Nabi saw.
-
Adapun orang pertama yang menulis kitab maulid Nabi dan kemudian dibaca
didepan umum dalam pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh para penguasa
daulat ‘Abassiyah, adalah Imam Al-Hafidz Hujjatul Islam Al-Qadhi ‘Askar
Amirul Mu’minin Muhammad Al-Mahdi Al-‘Abbasi wafat tahun 207 H. Imam ini
adalah orang pertama yang menghimpun hadits-hadits para sahabat Nabi saw.
mengenai kebajikan dan pahala membaca riwayat maulid Nabi saw.. Sedangkan para
imam lainnya dalam menulis kitab-kitab maulid banyak mengambil dari Al-Waqidi,
kitab rujukan yang banyak dibaca dalam peringatan-peringatan maulid yang
diadakan oleh para Khalifah dan menteri-menterinya. Kecuali itu kitab tersebut juga banyak
dibaca didalam perguruan-perguruan agama Islam pada hari-hari peringatan dan
hari-hari raya, pada bulan-bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Sehingga kitab
maulid karya Al-Waqidi ini banyak dihafal oleh kaum muslimin dan
anak-anak keturunan mereka.
- Allamah
Nuruddin ‘Ali dalam kitabnya yang berjudul Wafa-ul-Wafa bi Akhbari
Daril-Mushtofa mengatakan bahwa Siti Khaizuran, bunda Musa Amirul
Mu’minin, pada tahun 170 H sengaja datang ke Madinah, lalu menyuruh penduduk
menyelenggarakan peringatan maulid Nabi saw. di dalam masjid Nabawi.
- Seorang ulama terkenal, Imam Taqiyyuddin
‘Ali bin ‘Abdul-Kafi As-Sabki -wafat tahun 756 H- menulis kitab khusus tentang kemuliaan
dan kebesaran Nabi Muhammad saw. Bahkan ia menfatwakan, barangsiapa menghadiri
pertemuan untuk mendengarkan riwayat maulid Nabi Muhammad saw. serta
keagungan maknanya ia memperoleh barokah dan ganjaran pahala.
- Imam
Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin ‘Ali bin Hajar Al-Haitsami As-Sa’di
Al-Anshari Asy-Syafi’i -wafat tahun 973 H- menulis
kitab khusus mengenai kemuliaan Nabi saw.. Ia memandang hari Maulid Nabi saw.
sebagai hari raya besar yang penuh barokah dan kebajikan.
- Imam
‘Abdur-Rabi’ Sulaiman At-Thufi As-Shurshuri Al-Hanbali -terkenal dengan nama Ibnul-Buqiy- wafat tahun 716 H. Ia menulis sajak dan sya’ir-sya’ir
bertema pujian memuliakan keagungan Nabi Muhammad saw., keagungan yang tidak
ada pada manusia lain mana pun juga. Tiap hari maulid Nabi para pemimpin Muslim berkumpul
dirumahnya. Ia lalu minta salah seorang dari hadirin supaya mendendangkan
sya’ir-sya’ir Al-Buqiy itu.
- Dalam
kitab Insanul-‘Uyun Fi Siratil-Amin Al-Ma’mum bab 1, Imam ‘Ali bin
Burhanuddin Al-Halabi mengatakan: “Kebiasaan berdiri pada saat orang
mendengar pembaca riwayat maulid menyebut detik-detik kelahiran Nabi saw.,
memang merupakan bid’ah hasanah/baik, bid’ah mahmudah/terpuji,
sama sekali bukan bid’ah dholalah atau bid’ah madzmumah/tercela atau
munkarah (bid’ah buruk yang tercela). Khalifah Umar Ibnul Khattab ra. sendiri menamakan shalat
tarawih berjama’ah sebagai bid’ah hasanah. Dengan demikian maka orang
yang berdiri -sebagai tanda penghormatan- pada saat mendengar
detik-detik kelahiran Nabi saw. disebut, apalagi jika peringatan maulid itu
dibarengi dengan kegiatan infak dan shadaqah, semua nya itu jelas
merupakan kegiatan terpuji.
- Ibnu Bathuthah
dalam buku catatan pengembaraannya menceriterakan kesaksiannya sendiri tentang bentuk
dan cara memperingati maulid Nabi saw. yang dilakukan oleh Sultan
Tunisia, Amirul Mu’minin Abul-Hasan, pada tahun 750 H. Ia mengatakan
bahwa Sultan ini pada hari maulid Nabi Muhammad saw. mengadakan pertemuan
umum dan terbuka dengan rakyat nya dan bagi semua yang hadir disediakan hidangan
makan-minum secukupnya. Untuk
itu Sultan menyediakan anggaran belanja beribu-ribu dinar (uang emas).
Ia membangun kemah-kemah raksasa untuk tempat pejabat pemerintahan dan
undangan-undangan lainnya. Dalam pertemuan itu di dengungkan sajak-sajak dan
sya’ir-sya’ir pujian kepada Nabi Muhammad saw. dan diuraikan pula riwayat
kehidupan beliau saw..Peringatan maulid dalam bentuk seperti ini juga
dituturkan oleh penulis kitab Murujudz-Dzahab. Ia menyebut berbagai
peristiwa yang terjadi pada tahun 738 H.
- Sultan Ibril, Mudzaffar -wafat
tahun 620 H- semasa hidupnya sangat menaruh perhatian terhadap
peringatan-peringatan maulid Nabi saw. yang di selenggarakan tiap tahun. Dua
bulan sebelum bulan Rabi’ul-awwal, ia sudah mulai sibuk mempersiapkan segala
kegiatan guna memeriahkan peringatan maulid. Tidak terhitung banyaknya ulama-ulama
dari berbagai negeri Islam yang datang ke Ibril untuk menghadiri
peringatan maulid Nabi Muhammad saw.. Mereka mengharap beroleh keberkahan
dengan datangnya hari yang mulia itu. Konon biaya yang dihabiskan untuk
keperluan peringatan maulid seperti itu tidak kurang dari dua ratus ribu
dinar tiap tahun. Demikian juga menurut pengembara yang lain lagi, Ibnu
Khalkan. Dalam sebuah buku yang ditulisnya ia mengetengahkan
keanehan-keanehan Sultan Mudzaffar.
Nama para
ulama lain dan kitabnya ialah:
1. Imam Al-Hafidz
Syihabul-Millah wa Ad-Din Ahmad bin Hajar wafat tahun 973 H;
2. Imam Abul-Khattab ‘Umar
bin Al-Hasan Dzun-Nasabain wafat tahun 604 H atas permintaan Sultan Ibril ia
menulis kitab maulid;
3. Imam Al-Hafidz
Abul-Faraj Ibnul-Jauzi nama kitabnya Al-Arus terkenal dengan nama Kitab
Maulid Ibnul-Jazi ditulis olehnya pada tahun 590 H ;
4. Allamah Imam Yusuf
An-Nabhani ;
5. Imam Jamaluddin
As-Sayuti ;
6. Imam Rabi’ At-Thufi
Ash-Shurshuri nama kitabnya Maulid Ash-Shurshuriy, ia menulis kitab ini
sekitar tahun 700 H ;
7. Imam Al-Hafidz
Abul-Hasan ‘Ali Al-Mas’udiy -wafat tahun 346 H- kitab maulidnya terkenal
dengan nama Kitab Maulid Al-Mas’udi.;
8. Imam Ash-Shalih As-Sayyid
Al-Bakri dikenal dengan kitabnya Kitab Maulid Al-Bakri ;
9. Imam Mar’i bin
Yusuf Al-Maqdisi -wafat tahun 1033
H- nama kitab maulidnya Kitab Maulid
Al-Maqdisi Al-Hanbali ;
10. Allamah ‘Utsman bin
Sind -wafat tahun 205 H- menulis kitab maulid dalam
bentuk sya’ir dengan tema memuji dan mengagungkan Rasulallah saw.;
11. Syeikh Hasan Asy-Syathi
-wafat
tahun 1274 H- dan 12. Al-‘Allamah Abus-Surur Asy-Sya’rawi -wafat
tahun 1136 H- kedua-duanya telah menulis kitab maulid.
13. Seorang ulama ahli
tafsir dari madzhab Hanbali Muhammad bin ‘Utsman bin ‘Abbas Ad-Dumani
Al-Manawi menulis kitab maulid terkenal sangat indah;
14. Al-‘Allamah
Al-Ustadz As-Sayyid Rasyid Ridha, pemimpin majalah Al-Manar telah
menulis kitab maulid yang banyak dibaca oleh kaum Muslimin di Mesir ;
15. kitab Attanwir fi
maulid basyir an nadzir oleh Imam Al-Hafidh al-Muhaddits Abulkhattab Umar
bin Ali bin Muhamad yang terkenal dengan nama Ibn Dihyah alkalbi ;
16. kitab urfu at ta’rif
bi maulid assyarif oleh Imam Al-Hafidh al-Muhaddits Syamsuddin Muhamad bin
Abdullah aljuzri ;
17. kitab maulid Ibn
Katstir oleh Imam Al-Hafidh Ibn Katsir ;
18. kitab maurid alhana
fi maulid asana oleh Imam Al-Hafidh Al-‘Iraqy ;
19. kitab al fajr al
ulwi fi mauldi an nabawi oleh Imam Assyakhawiy ;
20. kitab al mawarid al
haniah fi maulid kahiril bariyyah oleh ‘Allamah al fagih Ali Zainal Abidin
As Syamhudi ;
21. kitab maulid Ad-diba’i
oleh Al-Imam Al-Hafidh Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhamad
As-Syaibaniy terkenal dengan nama ibn diba’ ;
22. kitab itmam anni’mah
alal alam bi maulid sayyidi waladu adam oleh Iamam Ibn Hajar al-Haitsami ;
23. kitab maurud arrowi
fi maulid nabawi oleh Al-‘Allamah Ali Al Qari’ ;
24. kitab maulid Barzanji
oleh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Ja’far bin Hasan Al-Barzanji ;
25. kitab Al yaman wal
is’ad bi maulid khari al ibad oleh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Muhamad bin
Ja’far al Kattani ;
26. kitab jawahir an
nadmu al badi’ fi maulid as syafi’ oleh Al-‘Allamah Syeikh Yusuf bin Ismail
An-Nabhaniy ;
27. kitab al-maulid
mushtofa adnaani oleh Imam Ibrahim Assyaibaniy ;
28. kitab Al Alam Al
Ahmadi fi maulid muhammadi oleh Imam Abdulghaniy Annablisiy ;
29. kitab fath al latif
fi syarah maulid assyarif oleh Syihabuddin al-Halwani ;
30. kitab Al kaukab al
azhar alal ‘iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar oleh Imam Ahmad bin
Muhamad Addimyati ;
31. kitab nur as shofa’ fi
maulid al mushtofa oleh Syeikh Ali Attanthowiy;
32. kitab at tajaliat al
khifiah fi maulid khoir al bariah oleh Syeikh Muhamad Al maghribi ;
33. Imam Ibrahim Baajuri
mengarang hasiah atas maulid Ibn Hajar dengan nama kitab tuhfa al basyar ala
maulid ibn hajar ;
34. Imam
Al-Hafidh Nasruddin Addimasyqiq telah mengarang beberapa kitab maulid yaitu
kitab Jaami’ al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al-lafad arra’iq fi
maulid khair al khalaq dan Maurud asshadi fi maulid al hadi.
35. As-Sayyid Muhammad
Shalih As-Sahruwardi judul kitabnya Tuhfatul-Abrar fi Tarikh
Masyru’iyyatil-hafl Bi Yaumi Maulid An-nabiyyil-Mukhtar. Dalam
kitabnya ini dia mengemukakan dalil-dalil meyakinkan tentang keabsahan
peringatan maulid Nabi Muhamad saw. sebagai ibadah sunnah yang
ditekankan (sunnah mu’akkadah), agar kaum muslimin melaksanakannya dengan baik.
36. Al-államah Sayyid Ali bin Muhammad
Alhabsyi judul kitab
maulidnya Simtud
Durar. Kitab maulid ini sering dibaca juga di pesantren atau
dimajlis-majlis, khususnya dinegara kita. Dan masih banyak lagi nama-nama para
ulama yang menulis kitab-kitab mengenai maulidin Nabi saw, yang tidak tercantum
disini.
Dengan adanya
keterangan diatas ini kita bisa bertanya-tanya: Mengapa golongan
pengingkar berani mengharamkan, mensesat kan, membid'ahkan
dan lain sebagainya peringatan maulidin Nabi saw. yang mulia ini, tanpa
berdalil dengan nash yang jelas, hanya sering berdalil bahwa Nabi saw. dan para
sahabatnya tidak pernah melakukan atau memerintahkannya? Apakah para pakar
Islam yang telah dikemukakan diatas itu tidak mengerti hukum syari’at Islam
dan hanya ulama golongan pengingkar ini saja yang mengerti?
Insya Allah
dengan adanya beberapa dalil dan pendapat para ulama yang berkaitan dengan
peringatan keagamaan itu, cukup jelas bagi kita untuk menilai kebaikan dan
manfaatnya. Ingatlah sekali lagi walau pun pada zaman Nabi saw. atau para
sahabat tidak menjalankan hal tersebut bukan berarti tidak boleh dijalankan
atau dilarang/haram oleh agama. Semua yang dilarang oleh agama itu harus
mempunyai nash/dalil yang jelas dan tegas masalah tersebut.
Insya Allah juga
buat para pembaca lebih mantep dan jelas bahwa peringatan Maulid ini sudah ratusan
tahun yang lalu dikenal dan diamalkan oleh para ulama, para Salaf serta
Khalaf. Peringatan-peringatan maulid Nabi sudah biasa juga diadakan
oleh raja-raja serta sultan-sultan di Turki, Mesir, Iraq, India dan diberbagai
negeri Islam lainnya, termasuk Indonesia. Tentu saja dengan cara dan dalam
bentuk yang berbeda-beda sesuai dengan adat kebiasaan setempat, tetapi inti dan
motifnya sama yaitu memperingati hari besar yang bersejarah yakni lahirnya
junjungan kita nabi besar Muhamad saw.
Begitu juga semua
yang telah tercantum di website ini mengenai keabsahan peringatan maulid Nabi
saw., semuanya itu hanya berlaku jika peringatan maulid yang diadakan itu sama
sekali tidak bercampur-aduk dengan kemungkaran-kemungkaran tercela yang harus
ditolak. Jika peringatan maulid mencakup hal-hal yang harus ditolak seperti
bercampur baurnya lelaki dan wanita tanpa dipisah tempat duduknya serta
diselingi dengan hal-ihwal yang diharamkan agama, pengeluaran biaya yang
berlebih-lebihan sehingga banyak makanan yang terbuang, semuanya itu
tidak disenangi Rasulallah saw. dan tentu saja penyelenggaraan peringatan maulid yang demikian tersebut harus
dicegah. Dalam hal seperti ini yang dilarang bukanlah peringatan
maulidnya, tetapi sisipan dan cara penyelenggaraannya yang salah itulah yang
harus diperhatikan!!. Wallahu a’lam.
Sekelumit
makalah
Pernah kami baca
dari lembaran internet Salafi tanggal 25/01/2004 sebagai penulis Syekh Abdullah
bin Abdul Aziz bin Baz -salah seorang
ulama madzhab Wahabi/Salafi-, yang mengatakan pada majlis peringatan maulid Nabi saw.
tersebut berkumpulnya lelaki dan wanita-wanita yang bukan muhrim
sehingga itu semua adalah munkar dan haram. Dan didalam majlis maulid
Nabi saw. tersebut banyak hal-hal yang haram dijalankan oleh kaum muslimin
tersebut diantaranya: minum khamar/alkohol, main judi, minum ganja dan
sebagainya. Ini fitnahan yang membuat kaum muslimin pecah dan saling benci
membenci.
Sayang sekali
Syekh ini tidak menyebutkan pada majlis maulid apa dan dimana yang pernah
dihadiri oleh beliau, sehingga adanya minuman alkohol, main judi dan
sebagainya? Mungkin beliau ini hanya mendengar ceritera dongengan dari
kawan-kawannya yang anti pada majlis maulid tersebut. Syekh ini mudah sekali
menulis kata-kata bahwa majlis-majlis Maulid mungkar dan sebagainya dengan
berdalil pada ayat Ilahi dan hadits-hadits Nabi saw. yang mana tidak ada
kaitannya dengan majlis peringatan maulidin Nabi saw. Beliau dan kawan-kawannya
ini mudah sekali mensesatkan, mengkafirkan amalan-amalan yang baru, yang tidak
sependapat dengan faham mereka, walaupun amalan itu sejalan dan tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
Lebih mudahnya
mari kita baca bukunya Ustadz Quraish Shihab-seorang ulama di Indonesia- yang berjudul Fatwa-Fatwa Seputar Ibadah dan
Muamalah, disini menerangkan bahwa ajaran hukum Islam ada dua macam haram;
Pertama; haram
karena zatnya, misalnya babi itu haram dimakan, karena zat daging babi itu
sendiri najis dan haram. Demikian juga dengan berzina.
Kedua; haram
karena dia dapat mengantarkan ke sesuatu yang haram karena zatnya, misalnya ;
berkumpulnya dua orang berlainan jenis disuatu tempat yang terpisah dari
khalayak ramai (berduaan saja) adalah haram, ini diharamkan karena dapat
mengantarkan pada perzinaan.
Sedangkan
berkumpulnya banyak orang pria dan wanita dalam satu majlis terbuka, umpama
dalam majlis peringatan keagamaan atau lainnya, dimajlis terbuka ini tidak
mungkin dapat mengantarkan perzinaan, apalagi bila tempat duduk mereka
terpisah. Dengan demikian hal tersebut tidak dinilai sebagai sesuatu yang haram
atau terlarang dalam agama. (Umpama dimajlis tersebut ada orang yang bermaksiat
atau perbuatan munkar, maka orang itulah yang bertanggung jawab pada Allah
swt., jadi bukan majlis dzikirnya yang harus dilarang atau diharamkan karena
perbuatan maksiat pribadi tersebut--pen).
Pada masa
Rasulallah saw., kaum wanita pernah ikut bahu membahu dan bekerja sama
dengan kaum pria dalam berbagai aktivitas. Imam Bukhori dalam kitab haditsnya
menjelaskan betapa kaum wanita terlibat dalam pengobatan para korban perang
atau ikut dalam expedisi perang dilaut. Umar bin Khattab ra.
mengangkat Al-Syifa’ -seorang wanita
yang pandai menulis untuk mengurus pasar di Madinah- yang sudah tentu disana bercampur baur antara lelaki dan
wanita! Juga dalam Shahih Bukhori dikemukakan banyak riwayat tentang dialog
wanita dengan pria. Tentunya dalam dialog tersebut wanita berbicara
dengan lelaki.
Agama
Islam pada hakekatnya hanya melarang pergaulan bebas, bukan menganjurkan
pergaulan yang terbatas (berlainan jenis hanya berduaan disatu ruang). Agama
melarang segala sesuatu yang dapat mengantarkan keperzinaan atau kedurhakaan.
Sedangkan berkumpulnya banyak wanita dan lelaki diruang terbuka, apalagi
tempatnya terpisah, tidak dapat dinilai sebagai sesuatu yang
terlarang. Demikianlah keterangan Ustadz Quraish
Shihab.
Sedangkan
mengenai suara wanita; Al-Hafidh Ibnu Hajar ketika mengomentari hadits
‘Aisyah -yang menyatakan
bahwa Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan wanita ketika baiat, hanya
dengan ucapan- mengatakan; dalam hadits ‘Aisyah ini ada hukum
bolehnya (mendengarkan) suara wanita yang bukan muhrim, dan suara
mereka itu bukanlah aurat..... (Fathul-Bari, 16/330)
Kalau sekiranya
pendapat Syekh Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz ini benar yaitu haramnya
berkumpul antara wanita dan lelaki yang bukan muhrimnya di majlis terbuka,
mengapa para Muthawwi’ Saudi Arabia -yang sepaham akidahnya dengan Syeikh ini- membiarkan para wanita shalat berdampingan dengan
kaum lelaki yang bukan muhrimnya di Masjidil Haram, Makkah pada musim haji,
atau bulan-bulan Rajab, Sya’ban?, yang mana kami alami sendiri pada waktu musim
haji dan bulan-bulan suci lainnya. Padahal ada riwayat hadits yang
menganjurkan tempat wanita shalat bila berjama’ah adalah di belakang lelaki,
juga letak seorang ibu di belakang anak lelakinya. Dan hal ini di setujui oleh
jumhur ulama ahli Fiqih. Dalam hal ini -ibadah sholat- seharusnya malah
lebih diperhatikan daripada berkumpulnya lelaki dan wanita pada peringatan
keagamaan itu yang duduk mereka sering
berpisah.
Bila kejadian
tersebut diatas mereka katakan darurat, tidaklah mungkin karena mereka bisa
mengatur untuk memisahkannya. Sebagaimana mereka bisa mengatur dan memeriksa
tas-tas ratusan ribu orang yang mau masuk ke Masjid Makkah ini dan memisahkan
tempat duduk para wanita serta menghalangi ratusan ribu orang masuk ke masjid
kalau didalam masjid sudah sangat penuh. Sedangkan di-masjidil Haram Madinah
sholat wanita berdampingan dengan lelaki yang bukan muhrim ini tidak pernah
kami alami, walau pun di Madinah waktu itu juga ribuan muslimin yang sholat
disana.
Begitu juga
Rasulallah saw. memerintahkan agar orang berthawaf di sekitar Baitullah
(Ka’bah) yang mana dalam ibadah ini dilakukan bersama-sama antara lelaki
dan wanita, baik thawaf sunnah atau thawaf wajib pada waktu haji atau lainnya.
Pada waktu thawaf ini sering terjadi perbuatan dosa yaitu tangan-tangan
jahil lelaki -yang tidak
bertujuan untuk ibadah- waktu penuh
sesak akan sengaja menyentuh aurat wanita atau merapatkan tubuhnya pada wanita
didepannya, mencuri dan lain sebagainya. Syari'at Islam tidak melarang
pelaksanaan thawaf bersama lelaki dan wanita dalam ruangan terbuka,
tetapi yang dilarang oleh agama ialah perbuatan haram/dosa yang disengaja yaitu
perbuatan orang-orang jahil yang telah kami kemukakan tadi. Sebenarnya hal
inilah yang harus lebih diperhatikan oleh para ulama Saudi khususnya agar sebisa
mungkin memisahkan atau membatasi tempat-tempat thawaf antara wanita
dan lelaki, sehingga tidak mungkin akan terjadi pergesekan atau persentuhan tubuh antara lelaki dan wanita
pada waktu-waktu penuh sesak!!.
Bila thawaf
bersamaan antara lelaki dan wanita diruangan yang terbuka tersebut
dilarang oleh agama, tidak mungkin Rasulallah saw. -makhluk Ilahi yang paling taqwa- memerintahkan thawaf kepada kaum
lelaki dan kaum wanita baik diwaktu menjalani manasik Haji maupun thawaf
sunnah lainnya. Begitu juga beliau saw. tidak memerintahkan agar wanita
diberi waktu-waktu khusus untuk mereka! Tidak lain karena beliau saw.
telah meneliti dan melihat pada tempat yang terbuka tersebut tidak mungkin akan
terjadi perzinaan, sedangkan bila ada terjadi tangan-tangan jahil yang
dilakukan perorangan -yang
tidak niat ibadah- ditempat
tersebut itu adalah dosa besar yang ditanggung oleh pribadi itu sendiri. Jadi
ibadah/amalan thawaf tidak perlu dilarang atau dimungkarkan
karena perbuatan perorangan tersebut, sebagaimana pendapat syekh Bin Baz yang
memungkarkan peringatan maulud karena disana terjadi bercampur nya lelaki dan
wanita -diruangan terbuka- yang bukan muhrim.
Jadi sekali lagi
bahwa agama Islam pada hakekatnya hanya melarang pergaulan bebas, melarang
segala sesuatu yang dapat mengantarkan keperzinaan atau kedurhakaan. Sedangkan
berkumpulnya banyak wanita dan lelaki diruang terbuka (dimajlis-majlis dzikir,
maulid, pengajian dan sebagainya), apalagi tempat mereka terpisah, ini tidak
dapat dinilai sebagai sesuatu yang terlarang/ haram. Baik wanita maupun lelaki
selalu dianjurkan oleh syariat agama agar menutup auratnya seperti yang
dianjurkan syari’at Islam. Begitu juga dianjurkan kepada para pengurus/organisator
majlis-majslis dzikir agar mengatur sebaik mungkin tempat-tempat kaum lelaki
dan kaum wanita, yang sejalan dengan syari'at atau yang tidak mungkin akan
terjadinya maksiat didalam majlis-majlis itu. Bila masih ada orang yang
melanggar syari’at baik ditempat majlis dzikir atau lainnya, itu adalah berdosa
dan tanggung jawab pribadi orang itu terhadap Allah swt., jadi bukan majlisnya yang harus
ditutup atau diharamkan. Wallahu A’lam.
Semoga kita
semua diberi hidayah dan taufiq oleh Allah swt. dan tidak saling cela-mencela
sesama saudara muslimnya dikarenakan amalan-amalan sunnah tersebut.
Sekelumit
tentang peringatan Isra dan Mi'raj Rasulallah saw.
Isra dan Mi’raj
termasuk hari-hari Allah yang layak diperingati, karena berkaitan langsung
dengan Nabi Besar Muhammad saw. ke alam jabarut atas kehendak dan kekuasaan
Allah swt. Kejadian Isra dan Mi’raj Rasulallah saw. ini telah disebutkan
dalam firman Allah swt. (QS.Al-Isra), sedangkan riwayat perjalanan Isra dan
Mi’raj Rasulallah saw. ini diriwayatkan dalam berbagai hadits diantaranya oleh
Imam Bukhori, Imam Muslim dan lainnya.
Peristiwa Isra
dan Mi’raj ternyata merupakan ujian tentang sejauh mana orang benar-benar
mengimani kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Diantara sejumlah kaum muslimin yang
masih sedikit pada masa itu, sebagian goyah dan goncang keimanannya. Bagi
mereka yang tidak beroleh hidayat dari Allah swt. bahkan keluar meninggalkan
Islam, kembali ke kepercayaan semula.
Bagi mereka ini
memang sulit sekali mempercayai sesuatu yang dirasa tidak masuk akal, bahkan
mereka ketika mendengar berita tentang peristiwa itu mengolok-ngolok Rasulallah
saw, bahkan menuduhnya ‘keranjingan setan’. Ada lagi yang menganggap peristiwa
Isra dan Mi’raj itu perbuatan sihir. Memang demikianlah keadaan manusia yang
hanya mengenal nikmat lahiriyah (fisik-material), tetapi terjauhkan dari nikmat
bathiniah (mental-spritual), yaitu nikmat Iman dan Islam.
Tidak dapat
dipungkiri, bahwa peristiwa Isra dan Mi’raj Nabi Muhammad saw. merupakan
sebagian dari nikmat dan kebesaran Allah swt yang mengandung banyak hikmah
dan pelajaran bagi ummat manusia, khususnya bagi kaum Muslimin.
Peristiwa Isra yang mendahului Mi’raj dan terjadi pada malam yang sama, juga
merupakan mu’jizat yang meyakinkan manusia akan kebenaran Risalah dan agama
yang dibawakan oleh junjungan kita Nabi Muhammad saw., terutama mengenai
pemberitaan bentuk bangunan Masjid Al-Aqsha di Yerussalem yang disampaikan oleh
beliau saw. kepada para sahabat.
Riwayat
singkatnya:
Setelah beliau
saw. sholat dua rakaat didalam masjid Al-Aqsha, dan beliau saw. mengimami sholat
jama’ah para Nabi dan Rasul terdahulu di Masjidul-Aqsha ini, Jibril as. membawa
beliau Mi’raj yakni naik kelangit pertama sampai ke langit ketujuh. Setiap
langit yang beliau saw. hampiri, beliau saw. disambut oleh para Rasul yang
terdahulu, misalnya Nabi Adam as berada dilangit yang pertama, Nabi Isa dan
Yahya –‘alaihimas salaam- berada dilangit yang kedua, Nabi Yusuf as. dilangit
yang ketiga, Nabi Idris as dilangit yang keempat, Nabi Harun as. dilangit yang
kelima, Nabi Musa as. dilangit yang keenam dan Nabi Ibrahim as. berada dilangit
yang ketujuh, sedang bersandar pada Al-Baitul-Makmur. Tiap hari tujuh puluh
ribu malaikat masuk kedalamnya (Baitul Makmur) tanpa keluar lagi. Kemudian
Rasulallah saw. naik ke Sidratul-Muntaha. Pada waktu peristiwa Mi’raj ini Allah
swt. mewahyukan kepada beliau saw. tentang ketetapan lima waktu sholat wajib
sehari semalam. Beliau saw. adalah manusia satu-satunya yang mengalami
kejadian itu, Ini tidak lain menunjukkan betapa luhur dan agungnya kedudukan
beliau saw..
Peristiwa ini
bisa kita ambil pelajaran beberapa soal penting umpamanya, setiap beliau saw.
sampai disatu lapis langit selalu disambut gembira oleh para Nabi dan Rasul
terdahulu, dan semua mendo’akan kebajikan bagi beliau saw.. Dalam perjalanan
Isra ke Palestina di Yerussalem beliau saw. mengimami sholat jama’ah para
Nabi dan Rasul terdahulu di Masjidul-Aqsha. Tidak kurang pentingnya dari
semuanya itu ialah do’a kebajikan yang dipanjatkan oleh para Nabi dan Rasul di alam
baqa bagi junjungan Nabi kita Muhammad saw. Dengan demikian riwayat disini
menunjukkan bahwa arwah orang yang telah wafat bisa berdo’a dan terbang
kemana-mana menurut kehendaknya sebagaimana yang diriwayatkan oleh perawi
hadits (lebih mendetail baca kehidupan ruh-ruh manusia yang telah wafat pada
bab Ziarah kubur dibuku ini).
Seperti yang
telah dikemukakan sebelumnya bahwa tidak ada ketentuan syari’at cara mengingat
atau memperingati hari-hari Allah yang harus diselenggarakan pada hari-hari
tertentu, begitu juga bentuk perayaan atau peringatan -sebagaimana yang dituturkan dalam hadits-hadits- ternyata bermacam-macam. Ada yang berupa ibadah puasa, ada yang
dengan cara memotong kambing lalu dimakan bersama, ada yang merayakan dengan
nyanyian, dan mendeklamasikan sya’ir-sya’ir sambil memukul rebana dan ada pula
yang merayakan dengan bermain-main tombak serta perisai.
Begitu juga
halnya dengan peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad saw., walaupun
sementara orang berpendapat bahwa tidak ada nash yang jelas menyebut pada malam
apa, tanggal berapa dan bulan apa Isra dan Mi’raj itu terjadi, itu sama sekali bukan
halangan atau larangan untuk memperingati peristiwa penting dan besar dalam
sejarah itu. Keabsahan peringatan Isra Mir’raj menurut syara’ sama dengan keabsahan
peringatan maulid. Alasan-alasan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan
untuk memperkokoh keabsahaan maulid, pada dasarnya memperkuat juga
keabsahan peringatan Isra dan Mi’raj. (silahkan rujuk dalil-dalil yang
telah kami kemukakan sebelumnya).
Peringatan Isra
Mi’raj ini dapat diselenggarakan kapan saja, tetapi yang lebih tepat dan afdhal
ialah pada waktu yang telah diisyaratkan dalam berita-berita riwayat
(yaitu pada bulan Rajab). Tujuan utama memperingati ini tidak lain sama halnya
dengan peringatan maulid Nabi saw. dan hari-hari Allah lainnya adalah
mensyukuri nikmat Allah swt. yang tidak terhingga besarnya. Hari hijrah
Rasulallah dari Makkah ke Madinah pun sangat banyak sekali hikmahnya. Banyak
sekali pelajaran yang dapat ditarik oleh kaum muslimin dari peristiwa besar
dalam sejarah Islam ini. Untuk mengetahui lebih mendetail mengenai perjalanan
Isra dan Mi’raj Nabi Besar Muhammad saw. silahkan membaca kitab Shohih Bukhori
atau dalam shohih Muslim dan kitab lainnya. Demikianlah sekelumit tentang
peringatan Isra dan Mi’raj Sayyidul Mursalin Rasulallah saw.
Mengagungkan
Nabi Muhammad saw.
Sebenarnya
dalil-dalil tentang kewajiban ummat muslimin untuk mengagungkan Nabi
Muhammad saw. yang telah kami kemukakan, insya Allah jelas bagi kita
bahwa pengagungan pada Rasulallah saw. dan hamba-hamba yang sholeh itu termasuk
anjuran agama dan bukan sebagai penyembahan atau perbuatan berlebihan.
Tetapi selama masih ada kata-kata yang sering kita dengar dari
saudara-saudara muslimin yang melarang untuk mengagungkan Nabi saw.
sampai-sampai ada yang mensyirik kannya, maka tidak ada salahnya kami
tambahkan kutipan berikut ini yang berkaitan dengan pengagungan/penghormatan
terhadap Rasulallah saw..
Pengagungan/penghormatan
tinggi kita pada Rasulallah saw. oleh golongan pengingkar dianggap sebagai penyembahan
pada beliau saw.. Mereka melarang ini berdalil pada sabda Nabi saw. sebagai
berikut:
لاَ تُطْرُوْنِى كَمَا أطْرَتِ النَّصَارَى عِيْسَى بْنَ
مَرْيَمَ
Artinya: “Janganlah kalian mengagung-agungkan
diriku seperti kaum Nasrani mengagung-agungkan ‘Isa putra Maryam’ “.
Dengan beralasan
hadits diatas ini mereka menganggap mengagungkan beliau saw. merupakan sikap ghuluw
(berlebih-lebihan) yang dapat membawa orang kepada perbuatan syirik. Juga
mereka berpendapat bahwa menyanjung beliau saw. lebih tinggi dari manusia yang
lain, dan memandang beliau saw. mempunyai kelebihan-kelebihan lebih dari manusia
biasa itu adalah bid’ah keagamaan dan perbuatan yang menyalahi sunnah
beliau saw..
Pengertian serta
pemikiran mereka seperti itu adalah sangat naif sekali. Kalau kita teliti
hadits diatas tersebut yang dilarang oleh Rasulallah saw. yaitu orang yang
mengagungkan beliau saw. seperti orang Nasrani yang mengagungkan nabi Isa
as. Pengagungan orang-orang Nasrani terhadap nabi Isa as. adalah melampui
batas yang mana mereka menganggap bahwa nabi Isa itu anak Tuhan apalagi
orang-orang Katolik disamping menganggap nabi Isa anak Tuhan juga beliau
sebagai Tuhan dibumi/ didunia. Pengagungan seperti inilah yang dilarang oleh
agama agama Islam dan dianggap syirik karena menyekutukan Allah swt..
Sedangkan orang
yang mengagungkan Rasulallah saw. dengan cara yang tidak melampaui batas
kedudukan beliau sebagai hamba Allah dan Rasul-Nya yang paling mulia dan taqwa
serta tidak disertai kepercayaan seperti kaum Nasrani, maka cara itu tidak
bertentangan dengan Tauhid, malah diperintahkan oleh Allah swt. untuk
menghormat dan mengagungkan beliau saw.. Mari kita rujuk ,berikut ini,
firman-firman Allah swt. yang berkaitan dengan pribadi para Rasul dan khususnya
pribadi Rasulallah saw. :
- firman Allah swt. :
الَّذِيْنَ آمَنُوْا بِهِ وَ عَزَّرُوْهُ وَ نَصَرُوْهُ
وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الذِّي اُنْزِلَ مَعَهُ أوْلاَئِكَ هُـمُ
الْمُفـْلِحُوْنَ
Artinya: Maka orang-orang yang beriman kepadanya (Nabi Muhammad saw.) mengagungkannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang diturunkan bersamanya (yakni Al-Qur’an) mereka
itulah orang-orang yang memperoleh keberuntungan”. (QS.Al-A’raf : 157)
- Firman-Nya
juga :
وَ قَالَ اللهُ اِنِّي مَعَكُمْ لَئِنْ اَقَمْتُمُ
الصِّلاَةَ وَاَتَيْتُمُ الزَّكَاةَ وَاَمَنْتُمْ بِرُسُلِيْ
وَعَزَّرْتُمُوْهُمْ وَاَقْرَضْتُمُ اللهَ
قَرْضًا
حَسَنًا َلاُكَفِّرَنَّ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَلاُدْخِلَنَّكُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِى مِنْ تَحْتِهَا
الاَنْهَارُ
Artinya: “Sesungguhnya Aku bersama kamu,
jikalau kamu benar-benar mendirikan sholat, menunaikan zakat, beriman terhadap
para Rasul-Ku, mengagungkan mereka dan kamu memberikan pinjaman kepada
Allah dengan pinjaman yang baik, maka Aku akan bebaskan daripadamu sebagian
dosa-dosa kesalahanmu dan Aku akan masukkan kamu kedalam surga yang dibawahnya
mengalir sungai-sungai’”.
Menurut tafsir Qurtubi jilid 6
halaman 151, arti daripada ‘azzartumuuhum’
adalah ‘memuliakan atau mengagungkan mereka’. Jadi memuliakan para Rasul termasuk salah
satu amalan yang dapat mendatangkan maghfirah/
ampunan dan menurunkan rahmat. Terbukti dalam ayat diatas bahwa
mereka yang mengagungkan dan memuliakan para Rasul akan diampunkan sebagian
dosanya dan akan dimasukkan kedalam surga. Apalagi kalau yang kita agungkan dan
muliakan itu adalah Asyroful
Anbiya wal Mursalin (yang paling mulia antara para nabi dan Rasul)
yakni junjungan kita Nabi besar Muhammad saw.
- Allah swt. berfirman :
ذَالِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَاللهِ فَإنَّهَا مِنْ
تَقْوَى القُلًوْبِ
Artinya: “Demikianlah (perintah
Allah) dan barangsiapa yang mengagungkan syiar-syiar Allah (lambang
kebesaran) Allah, itu sesungguhnya (timbul) dari hati yang takwa” (QS. Al-Hajj :
32)
Tidak diragukan
lagi Rasulallah saw. dengan kenabian dan ke Rasul-annya, dengan segala mu’jizat
-termasuk mu’jizat yang terbesar
yaitu Al-Qur’an- yang
dikaruniakan Allah kepada beliau saw. adalah lambang kebenaran dan kebesaran (syi’ar) serta lambang
kekuasaan Allah swt. Memuliakan syi’ar Allah ini adalah bukti dari hati yang
bertakwa kepada Allah swt.
- Dalam firman Allah swt. :
ذَالِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللهِ فَهُوَ خَيْرٌ
لَّهُ عِنْدَ رَبِّهِ
Artinya: “Demikianlah (perintah Allah),
dan barangsiapa mengagungkan apa yang mulia disisi
Allah, itulah yang terbaik baginya disisi Tuhannya”. ( QS Al-Haj : 30)
Rasulallah saw. adalah yang paling mulia dan taqwa
dari semua makhluk Ilahi. Begitu juga para ahli taqwa termasuk juga
makhluk yang mulia disisi Allah swt.
- Allah swt. berfirman :
إنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِي
يَآاَيُّهَا الذِّيْنَ آمَنوْا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Artinya: "Sesungguhnya Allah dan para Malaikat
sentiasa bersalawat kepada Nabi,
Wahai
orang-orang yang beriman berselawatlah kamu kepadanya ". (QS 33:56).
Shalawat Allah
swt. -pada ayat diatas- menurut ahli tafsir berarti pujian Allah swt. terhadap Nabi saw.,
pernyataan kemuliaannya, serta maksud meninggikan
dan mendekatkannya. Dan orang-orang beriman disuruh juga bershalawat (memuji/meninggikannya)
dan bersalam pada beliau saw.
Firman Allah swt.
agar manusia bersikap sopan dan hormat dalam bercakap-cakap dengan beliau saw.
atau tidak memanggil beliau saw. sebagaimana memanggil sesama kita.
يَاأيَّهَالذِّيـنَ آمَنُوا لاَ تَرْفَعُوا أصْوَاتَكُمْ
فَوْقِ صَوْتِ النَّبِي
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah
mengeraskan suara kalian lebih tinggi dari suara Nabi”. (Al-Hujurat: 2)
- Juga firman-Nya sebagai berikut :
لاَ
تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضَا
Artinya: “Janganlah kalian memanggil Rasul sebagaimana kalian memanggil satu
sama lain diantara kalian”. (An-Nur : 63)
- Firman-Nya juga :
إنَّ الذِّيْنَ يُنَادُوْنَكَ مِنْ وَرَاءِ الحُجُرَاتِ
اَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْقِلُونَ
Artinya: “Orang-orang
yang memanggil-manggilmu (hai Muhammad) dari luar kamarmu, mereka itu
kebanyakan tidak mengerti". (Al-Hujurat : 4)
-
Allah swt. memuji budi pekerti Nabi saw dan kita juga dianjurkan mengagungkan
beliau saw. :
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِى رَسُوْلِ اللهِ إُسْوَةٌ
حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُ اللهَ وَ اليَوْمِ الآخِر وَذَكَرَ اللهُ
كَثِيْرًا
Artinya: “Sesungguhnya pada diri Rasulallah itu
menjadi contoh utama bagi orang-orang yang mengharapkan keridhaan Allah dan
hari akhirat serta banyak mengingat Allah”. (Al-Ahzab : 21)
- Firman-Nya sebagai berikut :
وَإنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
Artinya:“Dan sungguhlah bahwa engkau (hai
Muhammad) berbudipekerti luhur”. (Al-Qalam : 4 )
- Firman-Nya :
إنَّا أرْسَلْنَاكَ شَهِيْدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيْرًا
لِتُؤْمِنُوْا بِاللهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ
Artinya:“Sungguhlah Kami telah mengutusmu (hai
Muhammad )sebagai saksi, sebagai pembawa kabar gembira dan sebagai pemberi
peringatan, maka hendaklah kalian (manusia) beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
memperkuat (agama) dan mengagungkannya”. (Al-Fath : 8-9)
- Firman-Nya :
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُوْلٌ مِنْ اَنْفُسِكُمْ عَزِيْزٌ
عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيْصٌ عَلَيْكُمْ بِالمُؤْمِنِيْنَ رَؤُفٌ
رَحِيْمٌ
Artinya:“Sesungguhnya telah
datang kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari kaummu sendiri, berat terasa
olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu,
amat belas kasihan (rouufun) lagi penyayang (rohimun) terhadap orang-orang
mu’min”. (At-Taubah : 128)
Ayat-ayat diatas ini bisa
kita tarik kesimpulan bahwa Allah swt. memuji budi pekerti Rasulallah saw. dan
siapa yang selalu memuji dan mengagungkan beliau saw. berarti dia termasuk
orang yang beriman, yang cinta dan mengharapkan ridha Allah swt. dan Rasul-Nya
serta termasuk orang ahli takwa.
Dengan adanya
firman-firman Allah yang telah dikemukakan tadi, maka dengan jelas bahwa
Allah swt. sendiri dan para malaikat memuji dan mengagungkan beliau saw. dan
orang yang beriman disuruh mengagungkan, memberi salam pada beliau saw.. Allah
swt. melarang kita memperlakukan beliau saw. dengan perlakuan yang biasa kita
berikan kepada sesama kita atau memanggil nama beliau dengan cara seperti
memanggil teman kita sendiri. Allah swt juga memerintahkan agar para sahabat
pergi ke Rasulallah saw agar dimintakan ampun atas kesalahan mereka
(An-Nisa:64).Dengan semuanya ini menunjukkan bahwa pribadi serta kedudukan
Rasulallah saw. adalah sangat tinggi sekali, yang pantas dipuji dan diagung-agungkan
dan bukan termasuk sebagai perbuatan ghuluw!
Disamping itu
banyak firman Allah swt. yang menyifatkan Rasul-Nya sebagai sifat-Nya (Haalim,
Kariim, dan sebagainya), sedangkan sifat Allah Rouf hanya disifatkan untuk Rasulallah
saw (QS.At-Taubah:128) tidak kepada para Rasul-Nya lainnya. Sifat Allah
saw yang disifatkan kepada para Rasul-Nya ini mempunyai makna majazi/kiasan,
sedangkan sifat yang ada pada Allah swt. adalah sifat yang hakiki/sebenarnya.
Jadi pada saat Allah swt. berfirman Dialah yang mempunyai sifat Rahiim,
Haliim, Ghofuur, Qawi, Nashiir, Waliyyan dan sebagainya itu, maka
Rasulallah saw. dan para Rasul lainnya atas izin-Nya termasuk didalamnya (baca
keterangan dibab 2 pada bab Apakah Al-Qur’an hanya bisa diartikan secara
tekstual dan literal). Begitu juga dalam riwayat yang telah kami kemukakan
bahwa para sahabat memohon hujan dengan tawassul kepada Abbas bin Abdul
Muttalib. Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan
mengatakan: 'Selamat atasmu wahai Penurun hujan untuk
Haramain'. Para sahabat mengerti dan mengetahui bahwa Penurun hujan
sebenarnya adalah Allah swt. sedangkan Abbas ra. Penurun hujan secara kiasan.
Dan tidak ada seorang pun dari para sahabat mengatakan bahwa julukan seperti
itu adalah ghuluw
dan bisa menjerumuskan orang kepada kesyirikan!!
Nah, apa
salahnya kalau kita memuji dan mengagungkan pribadi beliau saw. dengan menyebut
beliau saw. sebagai penolong, pengampunkan dosa dan sebagainya
yang mana Allah swt. sendiri telah memerintahkan para sahabatnya untuk datang
kepada beliau saw. agar Rasulallah saw. memohonkan ampun kepada Allah swt.
untuk para sahabat ini (An-Nisaa:64)?. Hal tersebut masih dilakukan oleh
sahabat beliau saw. setelah wafatnya. (baca bab tawassul/tabarruk). Sudah tentu
semua orang tahu bahwa bukan Rasulallah saw. yang bisa mengampunkan dosa para
sahabat, tetapi dengan perantaraan beliau saw. dosa para sahabat yang
bersangkutan itu diampunkan oleh Allah swt. Dengan demikian Rasulallah saw.
bisa dijuluki -secara kiasan- sebagai Pengampunkan dosa.
Itulah juga yang
dimaksud oleh pengarang-pengarang kitab -Burdah, Barzanji, Dhiba’ dan lain-lain- yang
ditulis oleh penyair dan ulama terkenal ini yang sebagian besar isinya
memuliakan, mengagungkan Allah swt. dan Rasulallah saw. serta mensifati beliau
saw. -secara
kiasan- sebagai Penolong, Pengampunkan dosa dan lain
sebagai nya? Sudah tentu para ulama itu sadar dan yakin serta mengetahui bahwa
pemuliaan, pengagungan dan pensifatan terhadap Rasulallah saw. sebagai hamba
Allah (Makhluk) tidak setaraf dengan pemuliaan, pengagungan dan
pensifatan kita terhadap Allah swt. sebagai Pencipta (Al-Khalik). Bila ada
pikiran yang memandang secara hakiki/sebenarnya makhluk setaraf dengan
Sang Pencipta itulah baru dikatakan syirik ! Apakah mungkin para ulama
dan penyair yang terkenal itu menulis kitab yang mengandung atau berbau
kekufuran, kesyirikan ? Sudah tentu tidak mungkin! Apakah hanya ulama
golongan pengingkar saja yang paling mengetahui, paling pandai dan paling
hati-hati dalam syari’at Islam? Sudah tentu tidak!!
Golongan
pengingkar ini mempercayai riwayat-riwayat -yang telah kami kemukakan pada bab 2-, yang
berkaitan dengan Tajsim/penjasmanian dan Tasybih/ penyerupaan
Allah swt. kepada Makhluk-Nya, umpamanya Allah swt. mempunyai tangan, jari
kelingking, kaki, nafas dan lain sebagainya secara hakiki/ sebenarnya,
dan mereka melarang orang mentakwil atau mengartikan maknanya yang sesuai
dengan sifat ke Mahaagungan dan ke Mahasucian-Nya. Disatu sisi mereka melarang
orang mengagungkan Rasulallah saw. karena hal itu sebagai perbuatan
berlebih-lebihan yang dilarang oleh agama -walau pun jelas banyak ayat Ilahi yang menunjukkan
kebolehannya- tetapi disisi lain mereka sendiri mempercayai Tajsim dan
Tasybih Allah swt. kepada makhluk-Nya secara hakiki (baca keterangannya pada
bab 2 diwebsite ini), yang mana hal ini sudah jelas dilarang oleh Allah
swt. ! Ini pikiran yang sangat aneh sekali !
Syair-syair
untuk Nabi saw.dan para sahabat
Pada zaman Nabi
saw terdapat banyak penyair yang terkenal dan hebat datang kepada Rasulallah
saw. dan mempersembahkan kepada beliau berhalaman-halaman syair yang memuji
dan mengagungkan beliau saw.. Ini dibuktikan dengan banyaknya
syair yang dikutip di dalam Sirah Ibnu Hisham, al-Waqidi dan lain-lain.
Penyair-penyair tekenal mengagung-agungkan Rasulallah saw dihadapan beliau dan
para sahabat, tidak dilarang oleh Rasulallah saw. dan tidak ada para sahabat
yang mencela atau mengatakan hal tersebut berlebih-lebihan (ghuluw)
dan sebagainya.
Rasulallah saw.
amat menyenangi syair yang indah seperti yang diriwayatkan Bukhari didalam
al-Adab al-mufrad dan kitab-kitab lain. Rasulallah saw. bersabda: "Terdapat
hikmah didalam syair". Paman Nabi saw. Al-'Abbas mengarang syair
memuji kelahiran Nabi saw. diantara bait terjemahannya sebagai berikut: ‘Dikala
dikau dilahirkan, bumi bersinar terang hingga nyaris-nyaris pasak-pasak bumi
tidak mampu untuk menanggung cahayamu, dan kami dapat terus
melangkah lantaran karena sinar dan cahaya dan jalan yang terpimpin’ ( Imam
as-Suyuti dalam Husn al-Maqsid : 5 dan Ibnu Katsir dalam kitab Maulid : 30 dan
juga didalam kitab Ibnu Hajar, Fath al-Bari).
- Ibnu
Katsir menerangkan didalam kitabnya bahwa para sahabat ada meriwayatkan
bahwa Nabi saw. memuji nama dan nasabnya, serta membaca syair mengenai diri
beliau semasa peperangan Hunain untuk menambah semangat para sahabat dan
menakutkan para musuh. Pada hari itu beliau saw
berkata: ‘Aku adalah Rasulallah! Ini bukanlah dusta. Aku anak
'Abdal–Muttalib !’ Beliau saw. juga sering berkata:
أنَا خَيْرُ أصْحَابِ اليَمِيْنِ ، أنَا
خَيْرُالسَّابِقِيْن ، أنَا أتْقَى وَلَدِ آدَمَ وَأكْرَمُهُمْ عَلَى اللهِ
وَلاَ فَخْر
Artinya: Akulah ashabul-yamin yang
terkemuka (dalam
Dala’ilun Nubuwwah :5 , .....Akulah khairussabiqin (dalam Syarhul
Mawahib 1:62) ....dan akulah anak Adam yang paling bertakwa dan paling
mulia di sisi Allah dan aku tidak sombong....” (HR. At-Thabrani dan
Al-Baihaqi didalam Dala’ilun Nubuwwah),
Sabda beliau saw.
:
أنَا سَيْدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ القِيَامَةِ
Artinya: “Saya adalah sayyid (orang yang paling mulia) anak Adam di
hari Kiamat nanti’ (HR. Ahmad, Ibnu
Majah dan Turmudzi) atau sabda beliau saw. :
أنَا سَيْدُ النَّاس يَوْمَ القِيَامَةِ
Artinya: ‘Aku adalah sayyid semua manusia di hari kiamat’ (HR. Ahmad, Bukhori
dan Muslim).
- Riwayat Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi hadits
dari Abu Hurairah ra: Nabi saw bersabda: ”Aku adalah penghulu
putra Adam pada hari kiamat, dan aku adalah orang pertama yang keluar dari
kubur (jasadnya), dan aku adalah orang pertama pemberi syafa’at dan
orang pertama diberi syafa’at”.
- Sedangkan dalam redaksi Tirmidzi disebutkan:
“Aku adalah penghulu putra Adam pada hari kiamat di tanganku terdapat Liwaaul
Hamdi / panji pujian dan aku tidak sombong.Tidak seorang Nabi pun
pada hari itu baik Adam dan yang lainnya terkecuali dibawah naungan panji-panjiku
dan aku adalah orang pertama yang keluar dari kubur dan aku tidak sombong”.
Masih banyak lagi
kata-kata beliau saw. untuk dirinya. Kalau pujian-pujian ini semuanya dilarang
dan dikatakan ghuluw, maka tidak akan diucapkan dari lisan orang yang
paling taqwa dan mulia Rasulallah saw. serta dari lisan para sahabat yang
ditujukan kepada beliau saw.
Rasulallah saw.
sendiri sering menerangkan betapa mulia dan tingginya kedudukan beliau
saw. disisi Allah swt., ini tidak lain agar kita kaum muslimin sadar dan dapat
membedakan serta mengakui bahwa Allah swt. memberi kedudukan Rasulallah
saw.paling tinggi dan mulia daripada makhluk-makhluk Allah lainnya, dan sabda
beliau tersebut sejalan dengan firman Ilahi untuk pribadi beliau saw.
Dengan demikian kita tidak boleh menyamakan kedudukan dan kemuliaan beliau saw.
dengan manusia biasa!
- Hasan bin
Tsabit ia mendendangkan syair yang bunyinya antara lain: ‘Anda lah (Rasulallah
saw.) makhluk suci pilihan Allah... Andalah seorang Nabi dan keturunan
terbaik Adam, keagungannya bagaikan ombak samudra..dan seterusnya’.
Hasan bin Tsabit ra. sering melagukan dan membacakan syair-syairnya di depan
Sayyidul Mursalin Muhammad saw. dan didepan para sahabat beliau. Tidak ada
satupun yang mencela atau mengatakan berlebih-lebihan (ghuluw)!
Tertera di batu
nisan Hasan ibnu Tsabit beliau menulis mengenai Nabi saw.:
“Bagiku tiada
siapa dapat mencari kesalahan didalam diriku, Aku hanya seorang yang telah
hilang segala derita rasa, Aku tidak akan berhenti dari pada memujinya
(nabi saw.), karena hanya dengan itu mungkin aku akan kekal didalam syurga
bersama-sama 'Yang Terpilih', yang daripadanya aku mengharapkan
syafa’at, dan untuk hari itu, aku kerahkan seluruh tenagaku kearah itu”.
- Hasan bin
Tsabit waktu membaca syair di masjid Nabawi ditegur oleh Umar bin Khattab ra.,
lalu Hasan bin Tsabit berkata kepada Umar ra. : 'Aku sudah baca syair nasyidah
disini dihadapan orang yang lebih mulia dari engkau wahai Umar (yakni Nabi
saw.)', lalu Hasan berpaling kepada Abu Hurairah ra dan berkata; 'bukankah
engkau dengar Rasul saw. menjawab syairku dengan doá 'Wahai Allah bantulah ia dengan
ruhulqudus'. Abu Hurairah ra. menjawab; Benar. (HR.bukhori hadits
nr. 3040, Muslim hadits nr. 2485).
Jadi tidak semua
syair yang dibaca didalam masjid semuanya haram, hadits yang meriwayatkan
keharaman baca syair didalam masjid yaitu syair-syair yang membawa kepada
ghaflah (kelupaan), hanya bersifat keduniaan. Tetapi syair yang
memuji Allah swt. dan Rasul-Nya itu diperbolehkan malah dipuji dan didoakan
oleh beliau saw.
- Rasulallah
saw. mendirikan mimbar khusus dimasjid agar ia (Hasan bin tsabit ra)
berdiri untuk melantunkan syair-syairnya (Mustadrak ala shohihain hadits
nr. 6058, sunan Attirmidzi hadits nr. 2846).
- Menurut
riwayat yang berasal dari Abu Bakar Ibnul Anbari, ketika Ka’ab bin
Zuhair dalam mendendangkan syair pujiannya sampai kepada sanjungan bahwa beliau
saw. adalah sinar cahaya yang menerangi dunia dan beliau laksana pedang
Allah yang ampuh terhunus. Sebagai tanda kegembiraan beliau saw., maka
beliau menanggalkan kain burdahnya (kain penutup punggung) dan diberikan
pada Ka’ab. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan pada masa kekuasaannya berusaha membeli
burdah itu dari Ka’ab dengan harga sepuluh ribu dirham, tetapi Ka’ab
menolaknya. Setelah Ka’ab wafat, Mu’awiyah membeli burdah pusaka Nabi saw. itu
dari ahli waris Ka’ab dengan harga dua puluh ribu dirham.
Banyak sekali
hadits yang diriwayatkan para sahabat Nabi saw. tentang bagaimana mereka
membaca bait-bait syair untuk memuliakan dan mengagungkan Nabi saw.
seperti Amr bin ‘Ash, Anas bin Malik, Usamah bin Syarik dan lain-lain. Semua
pujian dan syair-syair ini tidak dilarang oleh beliau saw.! Juga
syair-syair tersebut boleh dilagu kan dan diiringi dengan bermain gendang.
- Didalam
kitab Madarij al-salikin, Ibnu Qayyim menulis bahwa Nabi saw. memberi
izin untuk menyanyi pada hari perkawinan dan membenarkan syair
dipersembahkan untuk beliau saw.. Beliau mendengar Anas dan para sahabat
memujinya dan membaca syair ketika beliau saw. sedang menggali parit semasa
peperangan Khandaq dan mereka pernah berkata," Kamilah yang telah
memberi bai'ah kepada Muhammad untuk berjihad selama kami hidup."
- Ibnu
Qayyim juga telah menceritakan mengenai 'Abdullah ibnu Rawaha membaca
syair yang panjang memuji-muji Nabi Muhammad saw. semasa penaklukan kota
Makkah, dan Nabi pun berdo’a untuk beliau ra. Rasulallah saw. juga pernah
mendo’akan untuk Hasan ibnu Tsabit agar Allah senantiasa memberi bantuan
kepadanya dengan ruh suci (the holy spirit) selama beliau memuji-muji
Nabi saw melalui syairnya. Nabi juga pernah meminta Aswad bin Sarih
untuk mengarang syair memuji-muji Allah dan beliau saw. Nabi saw. pernah
meminta seseorang untuk membaca syair puji-pujian yang memuat seratus halaman
yang dikarang oleh Umayya ibnu Abi Halh.
- Menurut
Ibnu Qayyim lagi, 'Aisyah ra selalu membaca syair memuji baginda saw. dan
beliau amat menyenanginya." Ditulis juga oleh Ibnu Qayyim di dalam
kitabnya, Allah memberi keizinan kepada Nabi saw. agar membaca Al-Qur’an dengan
berlagu. Pada suatu hari Abu Musa al-Ash'ari sedang membaca Al-Qur’an dengan
berlagu dan suara yang merdu dan ketika itu Nabi saw. sedang mendengar bacaan
beliau .
Setelah beliau
selesai mengaji, Nabi saw. mengucapkan tahniah kepada beliau karena bacaan
beliau yang begitu merdu dan Nabi saw. bersabda: ‘Engkau mempunyai suara
yang merdu’ beliau saw. bersabda lagi bahwa: ‘Abu Musa al-Ash'ari
telah dikurniakan Allah 'Mizmar' (seruling) diantara mizmar-mizmar Nabi
Daud’. Abu Musa pun berkata, ‘Ya Rasulallah jika aku tahu yang engkau
sedang mendengarkan bacaanku niscaya aku akan membaca dengan suara yang lebih
merdu dan lagu yang lebih enak lagi yang engkau belum pernah dengar’.
- Ibnu
Qayyim menulis lagi, Nabi saw. bersabda : ”Hiasilah al-Qur’an dengan suara
kamu’, dan siapa-siapa yang tidak melagukan al-Qur’an bukanlah
dari kalangan kami." Ibnu Qayyim mengatakan juga: ‘Untuk menyenangi
suara yang merdu adalah dibenarkan seperti juga kita menyenangi pemandangan
yang indah, gunung-gunung, alam semesta ataupun harum-haruman dan wangi-wangian
ataupun hidangan yang lezat selama semua itu tidak melanggar
batas-batas syari’at’.
- Seorang
ahli hadits, Ibnu 'Abbad telah memberikan fatwa tentang hadits
Rasulallah saw. berikut ini: “Seorang wanita telah datang menemui
Nabi di waktu beliau saw. baru pulang dari medan peperangan, dan wanita itu pun
berkata; ‘Ya Rasulallah, aku telah bernadzar jika sekiranya, Allah
menghantarkan engkau kembali dalam keadaan selamat, aku akan bermain gendang
disebelahmu.’ Nabi pun bersabda; ‘Tunaikanlah nadzarmu’ ."
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Imam Ahmad)
Lihat hadits
terakhir diatas yang diriwayatkan oleh para rawi yang cukup terkenal bahwa
Rasulallah saw. mengizinkan wanita tersebut untuk melaksanakan nadrnya yaitu bermain
gendang sebelah Rasulallah saw.. Bilamana hal tersebut dilarang maka akan
dilarang pula oleh beliau saw., walau pun hal itu sebagai nadr. Karena nadr
tidak boleh dilaksanakan bila bertentangan dengan syari’at Islam.
Riwayat-riwayat
diatas -mengenai
syair-syair pengagungan, permainan gendang dengan niat yang baik
dihadapan Rasulallah saw. dan para sahabatnya- telah
membuktikan bahwa beliau saw. gembira dan mendo’akan serta memberi hadiah pada
para penyair yang memuji-muji beliau saw tersebut. Dengan demikian kita ingin
bertanya lagi kepada golongan pengingkar pengagungan kepada Rasulallah
saw :
Alasan
apa orang menyalahkan dan mengharamkan pembacaan syair atau qosidah-qosidah
pujian pada majlis peringatan
agama -baik untuk
Rasulallah saw. maupun untuk para ahli takwa lainnya- sambil di-iringi dengan suara
gendang agar lebih menarik bagi pendengarnya? Mereka semua mempunyai niat yang
baik untuk membaca, mendengar syair, qosidah pujian-pujian itu
dan semuanya ini tidak bertentangan dengan syari’at Islam! Bila menulis,
membacakan dan melagukan syair pujian itu, permainan gendang haram,
haram pula lah perkara-perkara yang telah disebutkan dalam hadits-hadits
Rasulallah saw..
Rasulallah
saw. khususnya dan para sahabat adalah para tokoh Salaf Sholeh begitu juga para
hamba Allah yang sholihin, mengapa golongan pengingkar yang mengaku madzhab dan
pengikut Salaf Sholeh justru melarangnya dan mengatakan sebagai perbuatan
qhuluw?
Mencampur
aduk antara Ta’dhim/pengagungan/penghormatan dan ’Ibadah
Masih ada
orang yang keliru memahami antara ta’dhim (penghormatan atau
pengagungan tinggi) dan ‘ibadah.
Kekeliruan ini mengakibatkan pencampur-adukan antara dua kata tersebut sehingga
mereka mudah menarik kesimpulan bahwa pengagungan berarti
penyembahan.
Berdasarkan
pengertian yang salah ini mereka berpendapat bahwa bersikap khidmat dan
bersikap rendah diri dimuka makam beliau saw. ini dianggap juga sebagai
sikap berlebih-lebihan (ghuluw) yang dapat menyeret orang pada sesembahan
selain Allah swt. Demikian juga mencium tangannya orang-orang yang shalih/wali
atau adat istiadat dan tradisi yang berlaku dikalangan masyarakat Jawa, yang
tiap hari Raya pada umumnya orang Jawa -juga yang beragama Islam- mereka berjongkok
(bersungkem) didepan ayah ibunya masing-masing. Semuanya ini oleh orang yang
bepengertian salah dianggap merupakan sikap yang berlebih-lebihan dan perbuatan
mungkar/ haram yang harus diberantas.
Sebenarnya
semuanya itu sama sekali tidak bisa diartikan penyembahan dan tidak
terlintas sama sekali dalam hati dan pikiran mereka bahwa mereka itu menyembah
pada orang-orang sholeh/wali yang dicium tangannya atau berjongkok didepan ayah
bundanya sebagai Tuhan! Tidak lain semuanya itu disebut ta’dhim
(pengagungan dan penghormatan tinggi). Sama halnya kalau kita ber-rukuk,
bersujud didepan bangunan Ka’bah bukan berarti bahwa kita menyembah
Ka’bah tapi yang kita sembah adalah Allah swt. Bila ada orang yang mempunyai
pikiran bahwa bersujud dihadapan bangunan Ka’bah sebagai penyembahan maka dia
bukan termasuk orang yang beriman! Jadi yang penting disini adalah keyakinan
kita terhadap orang (obyek) yang diagungkan atau dihormati tersebut.
Kita semua
mengetahui bahwa yang tidak boleh dilakukan ialah bila orang memandang
Rasulallah saw., para ahli waliyullah serta orang-orang sholih memiliki
sifat-sifat Rububiyyah (ketuhanan) secara hakiki/sebenarnya dan
mengagung-agungkan mereka sebagai Tuhan! Inilah yang dilarang oleh syariat
Islam. Selama kita masih menyakini bahwa beliau saw. adalah manusia yang paling
mulia diantara makhluk-makhluk Ilahi dan dimuliakan serta dipuji-puji oleh
Allah swt., begitu pun juga para ahli taqwa termasuk makhluk Ilahi yang mulia,
maka itu sama sekali tidak menyalahi syariat dan sunnah !
Sebagaimana yang
telah dikemukakan sebelumnya mengenai sujudnya Malaikat terhadap nabi Adam as.
dan sujud saudara-saudara Nabi Yusuf as. terhadap nabi Yusuf as. (QS Al-Isra’:
61-62 dan Surat Yusuf: 100). Ahli tafsir bersepakat bahwa arti sujud didua
ayat tersebut bukanlah sujud penyembahan tapi sujud penghormatan,
pengagungan dan pemuliaan kepada Nabi Adam as. dan Nabi Yusuf as.
Allah swt. sendiri malah memerintahkan para malaikat-Nya menghormati dan
memuliakan Adam as dengan cara bersujud pada Adam as. Juga Dia berfirman
dalam kitab-Nya bahwa saudara-saudara Nabi Yusuf bersujud pada Nabi Yusuf as.
tanpa dicela oleh Allah swt. perbuatan mereka itu.
Kalau masalah -sujudnya para malaikat kepada Adam as yang diperintahkan
oleh Allah swt. dan sujudnya saudara-saudara Yusuf pada nabi Yusus- tidak harus berarti menyembah atau mempertuhankan
sesuatu, bagaimana tercelanya sebagian saudara kita muslimin yang berani melontarkan
kata-kata penyembahan,
perbuatan mungkar
kepada orang yang sekedar
cium tangannya para sholihin, berdiri khidmat didepan
makam Rasulallah saw. atau makam para ahli takwa, membaca syair-syair pemuliaan serta
pengagungan terhadap Nabi saw., para ahli takwa? Tidak lain golongan pengingkar
ini tidak bisa membedakan antara Ta’dhim dan ‘Ibadah!
Mengapa mereka
tidak mengecam sujudnya para malaikat terhadap Adam as. dan sujudnya
saudara-saudara Yusuf as. terhadap Nabi Yusuf as sebagai perbuatan sesat,
berlebih-lebihan (ghuluw) atau syirik juga, padahal inti dan
maknanya toh sama yaitu sujud tersebut untuk penghormatan dan pemuliaan?
Apakah mungkin Allah swt. akan memerintahkan para malaikat-Nya sujud
pada Adam as sebagai penyembahan bukan sebagai penghormat an saja? Tentu
Tidak Mungkin, karena penyembahan selain kepada Allah swt. adalah perbuatan
syirik, sedangkan syirik adalah amalan yang dibenci oleh Allah swt.!
Golongan
pengingkar ada yang melarang dan membid'ahkan orang yang menyebut sayidina atau maulana Muhamad saw
(keterangan baca sayidina, silahkan baca bab Bid'ah di website ini) dan mereka
berkata kita cukup sebut dengan nama beliau saja, misalnya: ‘Muhammad mengatakan begini dan
begitu…’. Tapi mereka sendiri bila menyebut seorang pejabat tinggi
pemerintahan, seorang Raja atau menteri baik yang masih hidup atau sudah
wafat selalu menggunakan kata-kata Pemimpin
kita yang mulia,
Bapak yang terhormat, dan lain sebagainya terhadap mereka . Seolah-olah
dihati mereka tidak terdapat sama sekali perasaan wajib menghormati seorang
Nabi dan Rasulallah yang di imani dan ditaatinya serta diperintahkan oleh Allah
swt untuk menghormati dan tidak memanggil Rasulallah saw. sebagaimana memanggil
satu sama lain diantara kalian. Dengan sikap demikian itu mereka seakan-akan
juga menempatkan Rasulallah saw. dibawah martabat para Raja dan pejabat
pemerintahan! Kami berlidung pada Allah swt. dalam hal ini. Dan lebih heran
lagi diantara mereka sendiri sering menyebut nama seseorang dengan kata-kata
sayid... !! Semoga kita
semua diberi hidayah oleh Allah swt.Amin
Rasulallah saw bukan
manusia biasa tetapi Insan Kaamil (manusia sempurna)
Makalah-makalah yang
sederhana di website ini, cukup jelas sebagai bukti bahwa Nabi saw.
adalah bukan manusia biasa tapi beliau adalah manusia sempurna (Insan
Kaamil). Walau pun demikian masih ada saja golongan pengingkar yang mengatakan
bahwa Rasulallah saw. adalah manusi biasa seperti kita kita ini, bedanya
hanya beliau saw. menerima wahyu dari Allah swt.. Mereka dengan berdalil pada
firman Allah sebagai berikut: “Katakanlah, sesungguhnya aku hanyalah manusia
seperti kamu. Hanya saja kepadaku disampaikan wahyu.” (QS. 18:110).
Berdasarkan ayat ini dan ditambah ayat-ayat senada, misalnya; “Katakan:
‘Mahasuci Tuhanku. Bukankah aku hanya seorang manusia yang diutus?”.
Golongan ini percaya bahwa Nabi Muhammad saw. adalah manusia biasa
seperti manusia lainnya, oleh karena itu golongan ini menganggap mengagungkan
dan memuji Rasulallah saw. merupakan sikap berlebih-lebihan (ghuluw) dan
pengkultusan yang tidak perlu serta dapat membawa orang kepada perbuatan
syirik.
Mereka menafsirkan firman
Allah swt. diatas secara tekstual. Jika kita telusuri dengan seksama
semua ayat-ayat ilahi dibuku ini atau buku lainnya yang menyinggung tentang Nabi
saw. atau yang berkenaan dengan Nabi saw, maka dengan yakin kita akan menganut
pandangan para pakar islam yang menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad saw.
memang bukan manusia biasa tapi Insan Kaamil. Beliau saw. adalah manusia
utama, “superman” yang telah berhasil melewati tingkat umum manusia dan
mencapai derajat keutamaan yang tiada taranya.
Apa yang dimaksud ayat
Ilahi diatas bahwa Rasulallah saw. adalah manusia (basyar), seperti manusia lainnya?
Apakah maksudnya bahwa kedudukan beliau saw. di hadapan Allah sama dengan
manusia lainnya?
Kami kira golongan
pengingkar pemujian/pengagungan kepada Rasulallah saw. pun tidak membenarkan
anggapan seperti ini. Mereka juga yakin bahwa Rasulallah saw. adalah seorang
Rasul dan memiliki kedudukan yang sangat khusus di sisi Allah. Kita coba
mengkajinya, bagaimana kita harus menyikapi Rasulallah saw.? Disatu sisi,
beliau adalah Nabi dan Rasul dengan kemuliaan yang tiada tara dan
kedudukan beliau saw. dalam al-Qur’an sungguh luar biasa, tapi disisi lain
al-Qur’an menegaskan bahwa ia juga adalah manusia seperti kita. Terdapat
puluhan ayat didalam al-Qur’an yang memuji Rasulallah saw., apakah dalam bentuk
pujian langsung atau dalam bentuk penyebutan sifat-sifat terpuji yang
dimiliki Nabi seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya. Beberapa contoh
lagi mengenai keagungan Rasulallah saw. yang tidak dimiliki oleh manusia biasa
adalah sebagai berikut:
-
Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw. berkata: ‘Setiap kali Allah
swt. mengutus seorang nabi, mulai dari Nabi Adam sampai seterusnya, maka kepada
nabi-nabi itu Allah swt. menuntut janji setia mereka bahwa jika nanti
Rasulallah saw. diutus, mereka akan beriman padanya, membelanya dan mengambil
janji setia dari kaumnya untuk melakukan hal yang sama’.
-
Sebagaimana yang difirmankan Allah swt. dalam surat Aal- Imran : 81:
“Dan ketika Allah
mengambil janji dari para nabi: ‘Aku telah berikan kepada kalian al-kitab dan
al-hikmah, maka ketika Rasul itu (Muhammad saw.) datang kepada kalian,
yang membenarkan apa yang ada pada kalian, kalian benar-benar harus beriman
kepadanya dan membelanya.” Dia (Allah) berkata: ’Apakah kalian menerima
dan berjanji akan memenuhi perintah-Ku ini’? Mereka berkata: ‘Ya, kami berjanji
untuk melakukan itu’. Dia berkata: ‘Kalau begitu persaksikanlah dan Aku menjadi
saksi bersama kalian’ “.
-
Al-Qur’an menjelaskan bahwa para penganut Ahlul-Kitab tahu betul tentang
kedatangan Rasulallah saw. sebagaimana mereka mengenal anak-anak mereka
sendiri. Bahkan mereka saling memberi kabar gembira tentang kedatangannya itu
(QS. 2: 89,146).
- Dan itu pula yang dimohonkan Nabi
Ibrahim as. dalam do'anya:
“Tuhan kami, utuslah pada
mereka seorang Rasul dari kalangan mereka sendiri (Muhammad) yang membacakan kepada
mereka ayat-ayat-Mu, mengajarkan mereka al-kitab dan al-hikmah, dan menyucikan
mereka. Sesungguhnya Engkau Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (QS.
2:129).
- Rasulallah saw. ditetapkan sebagai perantara
(wasilah) antara dirinya dengan manusia. Bahkan merupakan salah satu
syarat terkabulnya do’a. Firman Allah swt.:
وَمَا أرْسَلـْنَا مِنْ رَسُـوْلٍ إلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ
اللهِ وَلـَوْ أنَّهُـمْ إذْ ظَلَمُوااَنْفُسَهُمْ جَاءوُكَ فَاسْتَغْفِرُوْا
اللهَ وَاسْتَغْفَرَلَهُمُ الرَّسُوْلُ لَوَجَدُوْا اللهَ تَوَّابًا
الرَّحِيْمًا
“Kami tidak utus seorang Rasul kecuali untuk ditaati, dengan seizin
Allah. Dan seandainya mereka mendatangimu ketika mereka berbuat dosa, lalu
memohon ampun kepada Allah dan Rasul pun memohonkan ampun buat mereka, pastilah
mereka dapati Allah Maha Pengampun dan Maha Pengasih”. (QS. 4:64).
- Bahkan sebagai perantara -tawassul-
kepada Rasulallah saw. ini sudah dilakukan para nabi dan orang-orang sholeh
jauh sebelum kelahiran beliau saw. (baca bab Tawassul dibuku ini). Kita dapat
membaca riwayat yang mengatakan bahwa Adam
dan Hawa
telah bertawassul kepada Rasulallah saw. saat mereka berdua dikeluarkan dari
surga. Dikisahkan bahwa tatkala Nabi Adam as dikeluarkan dari surga, ia memohon
ampun kepada Allah atas perbuatannya.
- Penciptaan
Nabi saw.lebih dahulu daripada Nabi Adam as. hanya beliau saw. masih dalam
wujud “nur” atau
cahaya. Ketika Allah menciptakan Adam, Ia menitipkan nur itu pada sulbi Adam as
yang kemudian berpindah-pindah dari satu sulbi ke sulbi yang lain hingga sulbi
Abdullah, ayah Nabi.
-
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari Jabir bin ‘Abdullah
al-Anshari ra. bahwasanya dia pernah bertanya kepada nabi saw.; “Demi ayah dan
ibuku, ya Rasulallah, beritahukanlah padaku tentang suatu yang di ciptakan
Allah sebelum segala sesuatu yang lain. Jawab beliau saw.; ‘Wahai Jabir,
sesungguhnya Allah sebelum menciptakan segala sesuatu yang lain, telah
menciptakan Nur Nabimu, Muhammad dari Nur-Nya’”. Dan hadits dari Abu Hurairah
ra. bahwasanya Nabi saw. telah bersabda: “Aku adalah yang pertama diantara para
Nabi dalam penciptaan,
namun yang terakhir dalam kerasulan…”.
-
Ibnu Abbas meriwayatkan, Rasulallah saw bersabda: “Allah telah menciptakanku
dalam wujud nur yang bersemayam di bawah ‘arasy dua belas ribu tahun sebelum
menciptakan Adam as. Maka ketika Allah menciptakan Adam, Ia meletakkan nur itu
pada sulbi Adam.
Nur itu berpindah dari sulbi
ke sulbi; dan kami baru berpisah setelah ‘Abdul Muthalib. Aku ke
sulbi ‘Abdullah dan ‘Ali ke sulbi Abu Thalib”.
- Al-Qur’an juga menyebutkan bahwa
sulbi-sulbi orang-orang suci. Ini berarti bahwa orang-tua dan nenek-moyang
Rasulallah sampai ke Nabi Adam as. dalam Istilah al-Qur’an-al- Sajidîn-
orang-orang patuh. Sebagaimana firman-Nya: “Dan
bertawakallah kepada Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. Yang
melihatmu saat engkau bangun dan perpindahanmu dari sulbi kesulbi
orang-orang patuh”. (QS. 26 :217-219).
- Rasulallah saw. adalah
manusia suci, tidak pernah berbuat dosa (ma’sum). Namun demikian, ia tetap
manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam secara biologis tidak ada perbedaan antara
Rasulallah saw. dengan yang lain. Allah berfirman dalam Al-Ahzab:33: “Sesungguhnya yang di kehendaki Allah
ialah menjauhkan kamu wahai Ahlul Bait dari segala kotoran dan mensucikan kamu
sesuci-sucinya”.
-
Rasulallah saw. adalah teladan yang sempurna, uswatun hasanah (QS.33:21). Oleh
karenanya; “Apapun
yang dibawanya harus kamu terima dan apa pun yang dilarangnya harus kamu jauhi.”
(QS. 59:7)
- Dibukakan
rahasia kegaiban kepada Rasulallah saw. sebagaimana firman Allah swt.; “Tuhan Maha Mengetahui yang gaib. Maka
Dia tidak akan mem- bukakan kegaibannya itu kepada seorang pun, kecuali kepada Rasul
yang di kehendaki”. (QS. 72: 26-27). Tentu saja
Rasulallah saw. berada di
urutan paling atas di antara para Rasul, beliau penghulu dari semua
Nabi dan Rasul yang menerima anugrah utama ini.
- Allah
memuji Rasulallah saw. dengan berbagai pujian, karena keluhuran akhlaknya (QS.
68:4); kepeduliannya dan kasih sayangnya kepada umat manusia (QS. 9:128) dan
pengorbanan diri, tidak mementingkan diri demi kebahagiaan orang lain (QS.
20:2-3). Selain itu Allah swt. memberi perhatian yang khusus kepada Nabi
Muhammad saw jika ada sedikit saja “masalah” yang dihadapinya (QS. 93:1-3 &
QS 94:1-4).
- Siapa
saja yang berhadapan dengan Rasulallah saw. maka berhadapan dengan Allah swt..
Sebaliknya, siapa saja yang membelanya, Allah berada di belakangnya (QS. 9:61).
- Orang-orang
beriman diperintahkan untuk tidak memperlakukan Rasul- Allah saw. sebagaimana
perlakuan mereka terhadap sesama mereka. Jika berbicara kepada Rasulallah saw.
harus dengan suara yang pelan, tidak boleh teriak-teriak, karena hal itu akan meng- hapus pahala amal
mereka (QS. 49:2-3).
- Allah
akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Rasulallah saw.: “Dan Tuhanmu akan memberimu sehingga
membuatmu senang” (QS. 93:5). Ayat ini menunjukkan betapa Allah
swt. amat mencintai Rasul-Nya. Ia akan memberikan apa saja yang di-inginkan
Rasulallah saw. dan akan melakukan apa saja demi menyenangkan hati Rasulallah
saw. Dan salah satu anugerah Allah swt. yang paling besar kepada Rasulallah
saw. ialah wewenang memberi
syafa’at kepada umatnya yang berdosa. Bukan saja di akhirat, tapi
juga di dunia, yaitu dalam bentuk pengabulan do’a yang di sampaikan oleh
Rasulallah saw. untuk umatnya, baik ketika Rasulallah saw. masih hidup mau pun
sesudah wafatnya (baca bab Tawassul/Tabarruk).
Dari sekian ayat yang telah
kami kemukakan didalam bab ini tidak dapat disangkal bahwa Rasulallah saw bukan manusia biasa,
dalam arti bahwa kedudukannya paling mulia di sisi Allah swt.. Ia telah
diciptakan Allah swt. sebelum menciptakan yang lainnya. Rasulallah saw. telah
dipersiapkan membawa amanat-Nya jauh sebelum utusan-utusan lainnya. Bahkan
utusan-utusan itu diperintahkan untuk mengimaninya dan mengabarkan kepada umat
manusia tentang kedatangannya. Rasulallah saw. ditetapkan sebagai perantara
antara manusia dengan Tuhan, dan sebagainya. Akan tetapi semua ini tidak harus
membuat kita menempatkan beliau saw. sebagai anak
Tuhan atau Tuhan dibumi/didunia, bukan
dari golongan manusia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap
Nabi ‘Isa as.
Rasulallah saw. tetap
manusia sebagaimana manusia lainnya, sebagaimana isyarat al-Qur’an dalam
beberapa ayatnya di atas. Pada diri Rasulallah saw. terdapat segala sesuatu
yang ada pada manusia, yakni dimensi
biologis manusia. Karena itu Rasulallah saw. makan, minum,
sakit, tidur, berdagang, berkeluarga, senang, sedih, dan sebagainya, seperti
umumnya manusia. Al-Qur’an sengaja menegaskan bahwa Rasulallah saw. adalah
manusia/basyar seperti manusia lainnya untuk
membantah penolakan kaum musyrikin terhadap Rasulallah saw. bahwa
ia bukan dari golongan malaikat atau paling tidak bekerjasama dengan malaikat
(QS. 25:7) dan juga mengingatkan kaum Muslimin supaya tidak membuat kesalahan seperti
yang dilakukan kaum Nasrani
terhadap Nabi ‘Isa as yang menganggapnya sebagai anak Tuhan atau Tuhan dibumi! Akan tetapi
ketika kita mengatakan bahwa Rasulallah saw. adalah manusia biasa seperti
manusia lainnya tidak berarti bahwa kita harus menganggap beliau salah, keliru,
melanggar, atau berakhirlah segalanya sesudah beliau saw. wafat. Sama sekali
tidak demikian.
Kesucian, keterpeliharaan
dari dosa -ma’sum- hidup abadi bersama Allah sesudah kematian atau
kemampuan berhubungan dengan-Nya sesudah kematian adalah perkara ruhani yang dapat saja
dicapai oleh manusia mana pun jika ia telah mencapai kedudukan ruhani yang
tinggi, apalagi dengan ruhani Rasulallah saw. yang paling mulia dari segala
orang yang bertaqwa.
Allah swt. memang
menciptakan manusia dari unsur
tanah, yang menghasilkan dimensi biologisnya, akan tetapi pada
manusia, Allah swt. ciptakan juga unsur lainnya, yakni ruh Allah swt. yang justru
dapat membuat manusia lebih tinggi dari makhluk mana pun, termasuk malaikat
karena melalui ruh itu manusia mampu mengatasi unsur biologisnya. Oleh karena
itulah mengapa malaikat dan jin atau Iblis diperintahkan untuk sujud
(penghormatan tinggi) kepada Adam atau manusia. Itulah pula mengapa Nabi
Muhammad saw. dapat menembus Sidratul-Muntaha
(waktu peristiwa Isra Mi’raj), sementara Jibril
as akan hangus terbakar jika berani mencoba melangkah- kan kaki
meski un hanya setapak.
Padahal Jibril adalah penghulu para malaikat. Tidak lain karena Nabi Muhammad
saw. telah mencapai derajat kesempurnaan
mutlak insani (Insan Kaamil).
Kesalahan terbesar golongan
yang menolak mengakui kesempurnaan Rasul saw. dan menolak memujinya, bahkan
menganggap pelakunya sebagai bertindak berlebih-lebihan dan kultus yang diharamkan!
Golongan ini tidak lain melihat Rasulallah saw. dengan kacamata materi. Mereka
hanya melihat Rasulallah saw. sebagai makhluk biologis. Mereka lupa bahwa
manusia memiliki dimensi yang jauh lebih tinggi dari sekadar dimensi biologis
atau fisik. Bahkan dimensi
ruhani merupakan jati diri manusia yang sesungguh- nya. Melihat
seorang hanya dari dimensi biologisnya adalah logika orang-orang kafir, bukan logika orang-orang
beriman. Orang-orang kafir menolak mengakuinya sebagai Nabi atau
Rasul dengan alasan bahwa para utusan Allah itu hanya manusia seperti mereka.
Sebagaimana firman Allah
swt.: “Dan tidak ada
sesuatu yang menghalangi orang-orang (kafir) untuk beriman tatkala datang kepada
mereka petunjuk kecuali perkataan mereka: ‘Apakah Allah mengutus Rasul dari
golongan manusia?’ ”.(QS. 17:94). Tapi orang-orang beriman berkata:
“Kami mengimaninya. Semuanya
dari sisi Tuhan kami”. (QS. 3:7).
Peagungan dan penghormatan
terhadap Rasulallah saw. adalah tuntutan Allah swt. untuk menghormati
dan mengagungkan Rasul-Nya. Coba perhatikan ayat
shalawat. Adakah perintah yang sama dengan perintah shalawat,
selain shalawat kepada Rasulallah saw.? Tidak ada! Ayat sholawat ini didahului
dengan pernyataan bahwa Allah dan malaikat-Nya telah melakukannya terlebih
dahulu, oleh karena itu kitapun diperintahkan untuk melakukannya.
Perintah itu berarti kita
harus selalu melihat Rasulallah saw. dengan penuh ta’dhim (hormat) dan agar kita selalu
membalas jasa-jasanya. Oleh karena itu pula, Rasulallah saw. selalu
mengingatkan bahwa orang yang tidak mau bershalawat kepadanya adalah bakhil atau kikir. Bahkan orang yang
datang ke tanah suci tapi tidak mampir ke Madinah untuk berziarah kepada beliau
saw. telah memutus hubungan silatur-rahmi dengannya.
Sebenarnya ini semua bukan
kultus; karena kultus ialah melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada tempatnya.
Pengagungan Rasulallah saw. justru mendudukkan posisi Rasulallah saw.
sebagaimana mestinya, seperti yang di perintahkan Al-Qur’an. Justru jika kita tidak melakukan itu,
dikhawatirkan telah mendzalimi beliau. Ingat firman Allah swt.: “Sesungguhnya orang-orang yang
menggangu Allah dan Rasul-Nya dikutuk oleh Allah di dunia maupun di akhirat dan
Allah siapkan baginya siksa yang menghinakannya”. (QS. 33:57).
Penghormatan,
pengagungan pada Rasulallah saw., mustahab baik semasa hidup beliau
saw. maupun setelah wafatnya. Karena
pujian dan perintah Allah swt. yang tercantum pada ayat Al-Ahzab:56, al-Haj 30-
32, Al-Hujuraat 2 dan lain-lainnya itu tetap berlaku, begitu juga tawassul/
tabarruk (baca bab tawassul/tabarruk) setelah wafatnya beliau saw. diamalkan
juga oleh para sahabat, para salaf (orang-orang terdahulu) dan para khalaf
(orang-orang belakangan) serta para pakar Islam lainnya sepanjang zaman. Kalau
hal tersebut menyalahi
syari’at, sudah tentu diketahui oleh para sahabat, para salaf dan
para ulama itu dan tidak mungkin juga akan dilakukan oleh mereka.
Sudah tentu kita semua
sadar, yakin dan mengetahui bahwa pemuliaan dan pengagungan terhadap Rasulallah
saw. sebagai hamba Allah (Makhluk) tidak setaraf dengan pemuliaan dan
pengagungan kita terhadap Allah swt. sebagai Pencipta (Al-Khalik). Bila ada
pikiran yang memandang makhluk setaraf
dengan Khalik itulah baru dikatakan syirik!
Lalu mengapa kita harus menentang Allah dan Rasul-Nya hanya karena
takut jatuh dalam hantu “kultus” yang kita ciptakan dan karang-karang sendiri?
Pada ayat tawassul (QS
4:64) yang telah dikemukakan, kita bahkan diperingatkan oleh Allah
swt. jika ingin dosa-dosa kita diampuni oleh-Nya harus bertawassul kepada
beliau saw. Jika tidak, Allah tidak akan mengabulkan permohonan ampun kita.
Allah juga mengingatkan agar kita tidak memperlakukan beliau saw. sama dengan
kita, sebab hal itu dapat menghapus
pahala amal ibadah kita (QS. 49:2-3). Selain itu, kita juga
diperingatkan untuk tidak menganggap apa yang dilakukan atau diucapkan beliau
saw. lahir karena emosi
atau hawa nafsunya.
Tapi semuanya atas bimbingan Allah yang menjaga beliau saw. dari dosa dan
kesalahan serta menjadikan manusia yang sempurna. “Ia (Muhammad) tidak bertutur kata atas dasar hawa nafsunya, melainkan
berdasarkan wahyu yang diterimanya”. (QS. 53:3-4). Namun
demikian, beliau tetap manusia biasa seperti manusia lainnya, dalam secara biologis tidak ada
perbedaan antara Rasulallah saw. dengan yang lain.
Abdullah bin Amr berkata:
“Aku menulis segala sesuatu yang aku dengar dari Rasulallah saw., aku bermaksud
menghafalnya. Tapi orang-orang Quraisy melarangku dan mereka berkata: ‘Engkau
menulis segala sesuatu yang engkau dengar dari Rasulallah saw.? Padahal beliau
hanyalah seorang manusia
yang berbicara saat
marah dan senang’. Aku berhenti menulis. Tetapi kemudian aku
ceritakan hal itu kepada Rasulallah saw. Beliau kemudian menunjuk kepada
mulutnya dan berkata: ‘Tulis
saja! Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sesungguhnya tidak ada yang keluar
dari sini (sambil menunjuk mulut beliau saw.) kecuali kebenaran’ “!!
Dari sekelumit ayat dan
hadits yang kita baca diatas, kita tidak akan menyangkal atau meragukan lagi
bahwa Rasulallah saw. bukan
manusia biasa melainkan manusia
sempurna (Insan Kaamil), dalam arti bahwa kedudukannya paling
tinggi dan mulia di sisi Allah swt.? Akan tetapi semua ini, sekali lagi, tidak
harus membuat kita memposisikan beliau saw. sebagai anak Tuhan atau Tuhan dibumi/didunia, bukan
dari golongan manusia, seperti yang dilakukan kaum Nasrani terhadap Nabi ‘Isa
as.
Insya Allah
dengan kutipan dalil-dalil diatas -yang berkaitan dengan Maulid/hari kelahiran beliau saw. ini atau
berkaitan dengan pribadi junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. sebagai
manusia sempurna/insan Kaamil yang diciptakan Allah swt.- para pembaca bisa menilai sendiri apakah semuanya ini
perbuatan berlebih-lebihan sebagaimana yang dikultuskan oleh golongan
pengingkar atau memang perintah Ilahi untuk mengagungkan beliau saw. ?
Semoga Allah swt. memberi hidayah dan taufiq kepada kita semua. Amin
Sebagai
manusia yang penuh kekurangan, kami mengharap masukan dan saran dari segenap
para pembaca budiman silahkan kirim via email burdah_160808@yahoo.com
Diposting Oleh: Tgk. Edi Syuhada, S.S. Pengajar Dayah Darul Ihsan Tgk. H. Hasan Krueng Kale
Diposting Oleh: Tgk. Edi Syuhada, S.S. Pengajar Dayah Darul Ihsan Tgk. H. Hasan Krueng Kale
Posting Komentar