بسم الله الرحمن الرحيم
Dalam sebuah hadits rasulullah saw mengabarkan
bahwa kelak umat Islam akan berada dalam keadaan yang sedemikian buruknya
sehingga diumpamakan laksana makanan yang diperebutkan oleh sekumpulan pemangsa.
Sebagaimana sabda rasulullah saw sebagai berikut:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ
كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ
نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ
كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ
الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ
قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا
وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
“Hampir tiba
masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan
makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah jumlah kami sedikit kala itu?” Rasul
menjawab: ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan sungguh
Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh terhadap kalian. Dan Allah
telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seseorang bertanya:”Ya
Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi menjawab: ”Cinta dunia dan takut akan
kematian.” (HR Abu Dawud).
Ada
beberapa pelajaran penting yang dapat kita tarik dari hadits ini: Pertama,
Nabi shollallahu ’alaih wa sallam memprediksi bahwa akan tiba
suatu masa dimana orang-orang beriman akan menjadi rebutan ummat lainnya.
Mereka akan mengalami keadaan yang sedemikian memprihatinkan sehingga
diumpamakan seperti suatu porsi makanan yang diperbutkan oleh sekumpulan
pemangsa. Artinya, pada masa itu kaum muslimin menjadi bulan-bulanan kaum lainnya.
Hal ini terjadi karena mereka tidak memiliki kemuliaan sebagaimana di masa
lalu. Mereka telah diliputi kehinaan dan rasa takut pengorbanan.
Kedua, pada masa itu kaum muslimin
tertipu dengan banyaknya jumlah mereka padahal tidak bermutu. Sahabat menyangka
bahwa keadaan hina yang mereka alami disebabkan jumlah mereka yang sedikit,
lalu Nabishollallahu ’alaih wa sallam menyangkal dengan mengatakan
bahwa jumlah muslimin pada waktu itu banyak, namun berkualitas rendah.
Hal ini juga dapat berarti bahwa
pada masa itu ummat Islam sedemikian peduli dengan kuantitas namun lalai
memperhatikan aspek kualitas. Yang penting punya banyak pendukung alias
konstituen sambil kurang peduli apakah mereka berkualitas atau tidak. Sehingga
kaum muslimin menggunakan parameter mirip kaum kuffar dimana yang banyak pasti
mengalahkan yang sedikit. Mereka menjadi gemar menggunakan prinsip the
majority rules (mayoritas-lah yang berkuasa) yakni prinsip yang
menjiwai falsafah demokrasi modern. Padahal Allah menegaskan di dalam
Al-Qur’an bahwa pasukan berjumlah sedikit dapat mengalahkan pasukan musuh yang
jumlahnya lebih besar dengan izin Allah.
كَمْ
مِنْ فِئَةٍ قَلِيلَةٍ غَلَبَتْ فِئَةً كَثِيرَةً بِإِذْنِ اللَّهِ وَاللَّهُ مَعَ
الصَّابِرِينَ
“Berapa banyak terjadi golongan
yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan
Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah ayat 249).
Pada masa dimana muslimin terhina,
maka kuantitas mereka yang besar tidak dapat menutupi kelemahan kualitas. Sedemikian
rupa sehingga Nabi shollallahu ’alaih wa sallam mengumpamakan mereka seperti buih
mengapung. Coba perhatikan tabiat buih di tepi pantai. Kita lihat bahwa buih
merupakan sesuatu yang paling terlihat, paling indah dan berjumlah sangat
banyak saat ombak sedang bergulung. Namun buih pulalah yang paling pertama
menghilang saat angin berhembus lalu menghempaskannya ke udara.
Ketiga, Nabi shollallahu ’alaih
wa sallam mengisyaratkan bahwa jika ummat Islam dalam keadaan terhina,
maka salah satu indikator utamanya ialah rasa gentar menghilang di dalam dada
musuh menghadapi ummat Islam. Artinya, sesungguhnya Nabi shollallahu
’alaih wa sallam lebih menyukai ummat Islam senantiasa berwibawa
sehingga disegani dan ditakuti musuh. Dewasa ini malah kita melihat bahwa
para pemimpin berbagai negeri berpenduduk mayoritas muslim justru memiliki rasa
segan dan rasa takut menghadapi para pemimpin kalangan kaum kuffar dunia barat.
Alih-alih mengkritisi mereka, bersikap sama tinggi sama rendah saja sudah tidak
sanggup. Padahal Allah menggambarkan kaum muslimin sebagai manusia yang paling
tinggi derajatnya di tengah manusia lainnya jika mereka sungguh-sungguh beriman
kepada Allah.
وَلَا
تَهِنُوا وَلَا تَحَزنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Janganlah kamu bersikap lemah, dan
janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling
tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran ayat
139)
Umat Islam kehilangan identitas
dan panutan sehingga kehilangan arah dalam semua lini kehidupan. Berdasarkan penelitian
Badan PBB – UNESCO, Index pembangunan sumber daya manusia Indonesia sebagai
masyarakat muslim terbanyak di dunia adalah rangking 112 dari 185 dari 185
negara dunia. Index ini meliputi bidang ekonomi, pendidikan dan kesehatan. Sungguh benar sabda baginda rasul saw:
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu
‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ
قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِى
جُحْرِ ضَبٍّ لاَتَّبَعْتُمُوهُمْ،
قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ : فَمَنْ
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan
orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta
sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit
sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para
sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu
adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas
siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669).
Imam Nawawi –rahimahullah– ketika menjelaskan hadits di atas menjelaskan,
“Yang dimaksud dengan syibr (sejengkal)
dan dziroo’ (hasta)
serta lubang dhob (lubang
hewan tanah yang penuh lika-liku), adalah permisalan bahwa tingkah laku kaum
muslimin sangat mirip sekali dengan tingkah Yahudi dan Nashroni. Yaitu kaum
muslimin mencocoki mereka dalam kemaksiatan dan berbagai penyimpangan, bukan
dalam hal-hal kekafiran mereka yang diikuti. Perkataan beliau ini adalah suatu
mukjizat bagi beliau karena apa yang beliau katakan telah terjadi saat-saat
ini.”
Jika demikian kenyataannya, maka bagaimana kita dapat membangun kekuatan Umat Islam?
Pertama; Membangun
kekuatan Iman dan aqidah.
Menurut para
ulama iman adalah suatu keyakinan dalam hati seseorang kepada Allah swt yang
diwujudkan dengan perkataaan dalam lisan, serta amalan dengan anggota badan.
Artinya keimanan baru sempurna jika terdapat singkronisasi antara tiga unsur
tadi; hati, ucapan dan perbuatan. Itu sebabbya kita mendapati ayat alquran
dimana Allah selalu menggandengkan kalimat “Aamanu dengan wa ‘amilus
shalihat”. Sebagai suatu isyarat tidak sempurna iman tanpa amal saleh
demikian juga sebaliknya
Umat Islam tidak bisa menghindar dari unsur perubahan
yang sekarang terjadi dimana-mana, sebab perubahan itu adalah tanda kehidupan
itu sendiri. namun umat Islam memiliki satu modal nilai berupa keyakinan yang tidak
bisa dilepas dari komitmen tauhid yaitu dua kalimat syahadat. Kalimat ini
menjadi pondasi yang mengikat seluruh aktivitas kehidupan kita sehari-hari dan
modal utama menuju gerbang akhirat.
Kekukuhan iman adalah syarat utama
dalam membangun kekeuatan umat. Hal ini sangat disadari rasulullah saw sehingga
iman para sahabat terus dibina dan diajarkan selama 13 tahun dari 23 tahun masa
risalah. Artinya rasul melakukan porsi pembinaan ideologi umat selama lebih
dari 56,5 % masa yang dibutuhkan utuk mengajari seluruh ajaran Islam. Tidak
mengherankan kalau kemudian kita melihat imannya Bilal bin Rabah yang tetap
pada ucapan “ahad.. ahad” meski disiksa oleh Umayyah bin Khalaf dengan
segala bentuk penyiksaan.
Imannya Ammar bin yasir yang
sekeluarga terus menerus disiksa namun tetap bertahan lalu rasul mendoakan
mereka “sabarlah wahai keluarga Yasir, ssunguhnya janji Allah kalian adalah
syurga.”
Atau imannya Sa’ad bin Abi Waqqash
yang ibunya mogok makan demi anaknya kembali kepada kekufuran namun ia berkata
dengan tegas dan sopan: “ibuku jika engkau memiliki 70 nyawa, lalu nyawa itu
keluar satu persatu darimu agar aku meninggalkan agama ini sungguh aku tidak
akan meninggalkannya.”
Atau imannya saidina Abu Bakar yang
diceritakan kepadanya oleh orang lain tentang isra da mi’rajnya rasul lalu
tanpa perlu mengkonfirmasi kebenarannya kepada nabi beliau segera menjawab
dengan keyakinan yang pasti: “ jika Ia Muhammad yang mengatakannya pasti
benar.”
Dan lihat pula imannya wanita dari
suku al Ghamidiyah yang datang kepada rasul mengaku bahwa ia telah berzina dan
meminta dihukum rajam.lalu rasul menyuruhnya pulang hingga ia melahirkan. Namun
setelah lahir anaknya ia datang lagi dan kembali meminta rajam. Rasul kembali
menyuruhnya pulang sampai anaknya selesai disusui selama dua tahun. Setelah
anaknya beranjak besar dan dapat makan sendiri si wanita kembali menjumpai
rasul meminta dirinya dhukum atas perbuatan zina. Adakah contoh-contoh
keteguhan iman seperti ini dalam kehidupan kita sekarang?
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah..
Seseorang yang yakin akan adanya
Tuhan yang selalu mengawasi, adanya hari kebangkitan, adanya hari pembalasan
dan adanya syurga dan neraka, akan mengukur setiap perbuatannya sebelum bertindak, dan
menimbang sebelum berkata. Tindakan ini akan melahirkan umat yang seimbang
antara keyakinan, ucapan dan perbuatan. Untuk menciptakan kekokohan iman sangat
perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak kita. Pengenalan sifat-sifat Allah
yang 20 adalah salah satu cara untuk mengenalkan kehadiran Allah dalam setiap
aktifitas kita. Menimbang resiko dan siap
bertanggungjawab atas segala konsekwensinya. Pendidikan yang lebih menekankan aspek hukum,
atau langsung ke subtansi ajaran syariat tanpa pengenalan dan pendalaman aqidah
akan berefek terhadap lahirnya pemikir yang alim/pintar dalam hukum namun tidak
sadar dalam pengamalan hukum. Bahkan lebih berbahaya karena dapat mencari hilah
dalam hukum.
Pengaruh positif dari aqidah yang
kuat juga akan membuat seorang mukmin memiliki prinsip
yang tegas dalam setiap keadaan, tidak lupa diri pada saat senang, baik senang
karena harta, jabatan, popularitas, pengikut yang banyak maupun kekuatan
jasmani. Dia juga tidak putus asa pada saat mengalami penderitaan, baik karena
sakit, bencana alam, kekurangan harta maupun berbagai ancaman yang tidak
menyenangkan, inilah yang membuatnya menjadi manusia yang mengagumkan,
Rasulullah saw bersabda:
عَجَبًا
ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ اِنَّ اَمْرَهُ كُلَّهُ لَخَيْرٌ وَلَيْسَ ذَالِكَ ِلأَحَدٍ
اِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ ِانْ اَصَبَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَاِنْ
اَصَبَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
Menakjubkan
urusan orang beriman, sesungguhnya semua urusannya baik baginya dan tidak ada
yang demikian itu bagi seseorang selain bagi seorang mukmin. Kalau ia
memperoleh kesenangan ia bersyukur dan itu baik baginya. Kalau ia tertimpa
kesusahan, ia sabar dan itu baik baginya (HR. Ahmad dan Muslim).
Atas dasar ini maka pemantapan aqidah
dalam pendidikan mutlak dibutuhkan dalam membangun kekuatan umat.
Kedua;
Membangun Kekuatan Ilmu.
kekuatan ilmu dalam arti umat ini
harus menguasai ilmu pengetahuan demi kemaslahatan umat, bukan mencari ilmu
sekadar untuk mendapat gelar kesarjanaan, atau pekerjaan, atau yang lebih berbahaya
adalah memperoleh gelar kesarjanaan namun tidak memiliki kompetensi ilmu.
Menimba ilmu dan mengamalkannya
merupakan suatu keniscayaan dalam rangka membangun kekuatan umat. Hal ini
sangat disadari oleh rasulullah saw. sejak awal penyebaran Islam, oleh karena
nabi selalu mengirimkan utusannya ke berbagai wilayah guna mengajari umat ilmu
pengetahuan. contohnya ‘Itab bin Asid yang diutus ke Mekkah, Mu’az bin Jabal ke
Yaman dan lain sebagainya.
Ajaran Islam sangat mementingkan
ilmu pengetahuan. Bukti yang paling besar atas hal ini adalah firman pertama
yang Allah turunkan kepada rasulullah adalah perintah membaca. (اقرأ ). Perintah membaca tidak hanya kepada ayat-ayat
Allah yang tertulis, melainkan juga kepada ayat-ayat kauniyah (alam
semesta) yang terhampar didepan mata kita. Sebab kedua model ayat itu akan
membawa kepada satu natijah yaitu pengakuan atas kehambaan kita selaku makhluk
dan pengakuan keesaan Allah yang Maha Kuasa, Agung dan Bijaksana selaku al
Khaliq.
Rasulullah juga mewajibkan setiap
muslim menuntut ilmu, terutama ilmu agama yang hukumnya fardhu ‘ain. Karena ajaran
Islam sejatinya harus kita amalkan. Pengamalan agama tanpa ilmu dan guru akan
membawa kepada kesesatan yang nyata. Sebagaimana ilmu tanpa amal juga bagai
pohon yng tidak berbuah. Bahkan seluruh pembebanan syari’at atau taklif pada
dasarnya hanya dibebankan pada orang yang memiliki akal yang sempurna (baligh).
Intinya Islam sangat mementingkan peran akal dan ilmu pengetahuan.
Pemahaman Ilmu yang wajib
dipelajari tidak hanya terbatas pada ilmu agama. Namun juga pada ilmu lainnya
yang bersifat fardhu kifayah. Seperti ilmu kedokteran, pertanian,
kelautan, pertambangan, bahasa dan lain sebagainya. Sebab semua itu sangat
dibutuhkan umat Islam dalam mengelola kehidupan mereka baik sumber daya alam
maupun sumber daya manusia.
Diriwayatkan dalam sunan Turmuzi
bahwa Rasulullah saw menyuruh Zaid bin tsabit untuk mempelajari bahasa asing
yaitu bahasa ibrani karena beliau tida merasa yakin dan nyaman dengan
terjemahan orang non muslim :
عَنْ خَارِجَةَ
بْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِيهِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ أَمَرَنِي
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ
أَتَعَلَّمَ لَهُ كَلِمَاتٍ مِنْ كِتَابِ يَهُودَ قَالَ إِنِّي وَاللَّهِ مَا آمَنُ يَهُودَ
عَلَى كِتَابِي (رواه الترمذى)
Dari Kharijah bin Zaid bin Tsabit RA:
Rasulullah saw memerintahkan saya agar mempelajari beberapa kalimat dari kaum Yahudi. Rasul bersabda, “demi Allah sungguh
saya, merasa tidak tenang pada kaum Yahudi, mengenai surat saya.”
Lalu Zaid mempelajarinya hingga
mampu berkomunikasi dengan bahasa Ibrani hanya dalam waktu dua minggu. Semenjak
itu Zaid lah yang selalu ditugasi rasul menulis dan membaca suratnya kepada bangsa
Ibrani. Dalam riwayat lain juga dijelaskan bahwa Zaid mampu berbahasa Suryani.
Ketertinggalan umat Islam dalam ilmu
pengetahuan dan teknologi hari ini telah mnyebabkan kita menjadi umat yang kehilangan
jatidiri dan mengekor dalam semua bidang. Padahal sebelumnya para ilmuawan
Islam telah membuka mata Eropa dengan kemajuan iptek di Andalusia. Sehingga
Eropa bangkit dari keterpurukan abad pertengahan yang kelam dan memasuki era
pencerahan karena persinggungan mereka dengan peradaban Islam di Eropa. Namun sayangnya kita terbuai dengan kejayaan nenek
moyang kita. Terlalu puas dengan apa yang telah dihasilkan, sehingga gerbong
peradaban ilmu direbut dari umat Islam.
Hari ini kita butuh kepada
pemimpin-pemimpin yang sadar akan masalah ini seperti Umar bin Abdul Aziz, Harun
ar rasyid, al Mansur dan lain sebagainya yang memajukan dan mendorong sektor
pendidikan bangsa diatas segala prioritas yang lain. Para ulama mengatakan:
عمارة الانسلن أهم من عمارة البلدان
Membangun peradaban manusia lebih
diprioritaskan daripada membangun peradaban kota dan negeri. Infrastuktur
pembangunan memang sangat penting, namun pembangunan manusia yang akan mengisi
bangunan dan merawatnya jauh lebih penting. Terbukti 12 tahun setelah sunami
menghancurkan negeri kita, kota Banda aceh ini telah hidup kembali melebihi keindahan
sebelumnya. Namun apakah kejayaan peradaban ilmu ulama aceh dahulu seperti Tgk
Syiah Kuala, Nuruddin Ar Raniry mampu dikembalikan saat ini setelah ratusan
tahun mereka wafat? Dalam beberapa waktu lagi masjid Baiturrahman kebanggaan
umat Islam Aceh juga akan ssegera rampung, namun kita juga berharap pemakmuran
masjid dari sisi ibadah dan sentral pendidikan juga akan semakin meningkat.
Sungguh tepat ungkapan Imam Syafi’ie
yang menyatakan:
من
اراد الدنيا فعليه بالعلم ومن اراد الآخرة فعليه بالعلم ومن ارادهما فعليه بالعلم
Barang
siapa yang menghendaki dunia wajib dengan ilmu,barang siapa menghendaki akhirat
wajib dengan ilmu, dan barang siapa menghendaki keduanya wajib dengan ilmu.
Ketiga;
Membangun Kekuatan Moral.
Seorang penyair kenamaan Ahmad Syauqi, menyatakan :
إِنَّماَ
الأُمَمُ الأَخْلاَقُ ماَ بَقِيَتْ # وَإِنْ هُمُوْ ذَهَبَتْ أَخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
Suatu bangsa akan kekal selama berakhlak
Bila akhlak lenyap, lenyaplah
bangsa itu.
Rasulullah menegaskan bahwa tugas
pokoknya sebagai rasul adalah memperbaiki moral manusia.
Semua ajaran Islam berefek pada
perbaikan norma dan akhlak. Tanpa itu amalan ibadah menjadi kering tidak
bermakna, tidak merubah sikap individu apalagi masyarakat. Tidak ada akhlak
yang lahir tanpa iman dan amalan. Kalaupun ada ia adalah akhlak yang semu..
tergantung di awang-awang antara langit dan bumi..sebab akhlak adalah buah dari
cabang dan dahan dari sebuah pohon. Dan pohon itu punya akar. akarnya adalah
aqidah dan rukun iman. Pohon dan cabang-cabangnya adalah rukun Islam, sementara
buahnya adalah norma. Etika dan akhlak mulia. Lihatlah buah dari shalat adalah
mencegah perbuatan keji dan munkar. Buah
dari puasa adalah benteng bagi hawa nafsu. Buah dari zakat pembersihan harta
dan jiwa sekaligus saling membantu sesama manusia. Buah dari haji adalah kumpulan
dari kesemua norma dan etika itu. Lalu kalau kemudian kita menemukan orang yang
shalat namun keluar dari masjid masih mencuri sandal misalnya maka kualitas
ibadahnya perlu dipertanyakan.
Bukankan Jibril datang menjumpai
rasulullah saw dan mengajarkannya pokok-pokok agama Islam? Lalu ia bertanya :
Apa itu Iman? Apa itu Islam? Dan apa itu Ihsan?
Itulah yang kemudian menjadi kesimpulan agama ini, membangun kualitas
visi dengan aqidah, membangun kualitas misi dan amal dengan ibadah dan syari’ah,
dan membangun kualitas hati dan jiwa dengan Ihsan dan tasauf.
Kekuatan Iman adalah pemersatu dan
perekat yang sangat kuat bagi umat. Sabda rasul saw riwayat Imam
Ahmad, Abu Ya'la dan Al-Bazzar:
الْمُؤْمِنُ مَنْ أَمِنَهُ النَّاسُ، وَالْمُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ
السُّوءَ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ عَبْدٌ لا يَأْمَنُ
جَارُهُ بَوَائِقَهُ
"Orangmukmin itu ialah orang yangmana orang lain merasa aman dari
gangguannya. Orang Islam itu ialah orang yangmana orang Islam lainnya
selamat dari lidah dan tangannya. Orang yang berhijrah itu ialah orang
yang meninggalkan kejahatan. Demi Tuhan yang jiwaku di tanganNya,
tidak akan masuk surga orang yang tetangganya tidak aman dari
kejahatannya".
Sebelum datangnya Islam, diyakini
bahwa faktor pengikat persaudaraan adalah sedarah, senasab, sesuku, sebangsa
atau berbagai pengikat semu lainnya. Namun agama Islam datang merubah paradigma
jahiliyah tersebut dan mengukuhkan bahwa ikatan Iman adalah pengikat hakiki
dari persaudaraan manusia. Sebab kalau dengan orang sekampung saja kita bisa
merasa saudara ketika berada diperantauan atau dengan saudara sekandung saja
kita bisa merasa saudara sebab lahir dari ayah yang sama, maka kesadaran kita
sebagai manusia yang diciptakan oleh Allah-Tuhan yang sama adalah persaudaraan
yang jauh lebih kuat. Kita dicipta olehNya dan akan sama-sama kembali
kepadaNya.
Sayangnya kesadaran akan
persaudaran seiman ini mulai memudar dan menyebabkan kita lemah dari dalam
maupun luar. Musuh Islam dengan mudah mengobrak abrik negara-negara muslim
karena mereka tahu umat Islam tidak bersatu. Orang ketiga akan mudah masuk
ketika tahu ada dua saudara yang bertengkar. Pemimpin yang bertengkar bukan
hanya dimanfaatkan oleh pihak lain tapi juga berdampak luas pada tatanan
masyarakat akar rumput kita.
Perselisihan pendapat adalah fitrah
manusia, akan tetapi agama mengajari kita berselisih dengan cara-cara yang
santun, argumentataif dan saling menghormati. Perselisihan pendapat dalam
mazhab –misalnya- pada intinya adalah keluwesan dalam beragama bukan penyimptan
dalam beragama. Lawan diskusi adalah kawan dalam menemukan kebenaran. Lawan
tanding dalam perlombaan adalah kawan dalam
berolahraga. Sehingga tidak patut dipandang sebagai musuh. Imam Abul
hasan al Asy’ari menyatakan “barang siapa yang shalat dengan shalat kami,
menghadap kiblat kami dan makan sembelihan kami maka ia adalah saudara kami.”
Mazhab Asy’ariyah adalah satu-satunya mazhab yang tidak mengkafirkan saudara sesama Islam.
Adanya mazhab bukanlah pemicu
konflik tetapi sebagai pemandu dalam kegelapan dan penuntun bagi kaum awam yang
tidak mampu memahami dalil-dalil syara’
sehingga dapat menjalankan amalan agamanya. Perhatikan pula bangaimana para
imam mazhab saling menghormati dan menghargai pendapat, bahkan adat istiadat
dan budaya yang baik yang telah menjadi tradisi turun temurun disuatu tempat.
Dalam kitab at Thabaqat Ibnu Sa’ad meriwayatkan
dari gurunya Al Waqidi, bahwa ketika Khalifah Abu Ja’far Al Manshur melakukan
haji, ia mengundang Imam Malik dan menyampaikan tekadnya untuk memerintahkan
dengan kitab Al Muwaththa’ karya Imam Malik. Lalu Imam Malik menjawab,”Wahai
Amirul Mukminin, janganlah Anda lakukan hal itu. Sesunggunya telah sampai
terlebih dahulu kepada mereka berbagai pendapat, mereka juga menyimak hadits-hadits, mereka
juga meriwayatkan periwayatan. Dan setiap kaum mengambil dari apa yang datang
terlebih dahulu kepada mereka dan mereka mengamalkannya. Jika Anda jauhkan
mereka dari apa yang mereka yakini, maka hal itu cukup memberatkan. Biarkan
manusia bersama dengan apa yang mereka pijak dan apa yang dipilih oleh setiap
negeri untuk mereka masing-masing”.
Imam Ahmad bin Hanbal berpendapat
bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka maka membatalkan wudhu. Suatu
hari kepada beliau ada yang bertanya : “Apakah engkau mau shalat dibelakang
orang yang luka berdarah tetapi tidak berwudhu lagi ? “. Dengan nada meninggi
Imam Ahmad bin Hanbal berkata : “Bagaimana saya tidak mau shalat dibelakang
Imam Malik bin Anas dan Said Al Musayyab ?”. Kedua imam tersebut berpendapat
bahwa keluar darah dari hidung atau karena luka tidak membatalkan wudhu.
Diriwayatkan pula bahwa Imam Syafi’i meninggalkan qunut saat
shalat subuh di Masjid Imam Abu Hanifah. Ketika hal tersebut dipertanyakan kepadanya, maka Imam Syafii menjawab : “Aku
tidak mencabut pendapatku tentang qunut pada shalat subuh tetapi aku
menghormati pendapat Imam Abu Hanifah”.
Perhatikan
pula bagaimana adab dan penghormatan para ulama seperti kisah Imam Syafi‘i yang pernah mengusulkan kepada Khalifah
Harun ar-Rasyid agar mengangkat Imam Ahmad menjadi Qadhi di Yaman, tetapi Imam
Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda
untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi Qadhi
untuk mereka.”
Saudaraku,
jika para Imam mazhab saja dapat sedemikian hormat dan santun, tentu kita
sebagai pengikut mereka yang ilmu dan amalannya masih jauh dari sifat seorang
mujtahid tentu sangat pantas untuk lebih sopan dan menghargai sesama.
Sungguh benar firman Allah dalam surat Al
Anfal: 46
وَأَطِيعُوا
اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ
Dan
taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu..
Jika Islam telah menghormati akal dan pikiran (حفظ العقل ) sebagai salah satu bentuk dari
pemeliharaan maqasid syar’iyyah, maka pemeliharaan keutuhan agama (حفظ الدين ) harusnya jauh lebih kita prioritaskan dari kelima maqasid
syar’iyyah.
Kelima;
Membangun Kekuatan Ekonomi
Saudaraku. Kekuatan Umat Islam akan
terwujud ketika uamt Islam menjadi umat yang produtif, tidak berpangku tangan
pada orang apalagi bangsa lain. Allah swt juga senang kepada siapa saja yang
berusaha secara halal meskipun harus dengan susah payah, Rasulullah saw
bersabda:
إنَّ للهَ تَعَالىَ يُحِبُّ
أَنْ يَرَى تَعِبًا فىِ طَلَبِ الْحَلاَلِ
Sesungguhnya
Allah cinta (senang) melihat hambanya lelah dalam mencari yang halal (HR. Ad
Dailami).
Usaha yang halal meskipun sedikit
yang diperoleh dan berat memperolehnya merupakan sesuatu yang lebih baik
daripada banyak dan mudah mendapatkannya, tapi cara memperolehnya adalah dengan
mengemis yang hanya akan menjatuhkan martabat pribadi. Bila mengemis saja sudah
tidak terhormat apalagi bila mencuri atau korupsi dan cara-cara yang tidak
halal lainnya. Rasulullah saw bersabda:
لأَنْ
يَحْمِلَ الرَّجُلُ حَبْلاً فَيَحْتَطِبَ بِهِ، ثُمَّ يَجِيْءَ فَيَضَعَهُ فِى
السُّوْقِ، فَيَبِيْعَهُ ثُمَّ يَسْتَغْنِىَبِهِ، فَيُنْفِقُهُ عَلَى نَفْسِهِ
خَيْرٌلَهُ مِنْ اَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، اَعْطَوْهُ اَوْمَنَعُوْهُ.
Seseorang
yang membawa tambang lalu pergi mencari dan mengumpulkan kayu bakar, lantas
dibawanya ke pasar untuk dijual dan uangnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan
dan nafkah dirinya, maka itu lebih baik daripada seorang yang meminta minta
kepada orang-orang yang terkadang diberi dan kadang ditolak (HR. Bukhari dan
Muslim).
Salah satu rukun Islam adalah
zakat, dan sejatinya zakat tidak akad terjadi tanpa ada muzakki. Untuk menjadi
muzakki kita perlu berusaha dalam kehidupan sehingga mempunyai penghasilan yang
mencukupi untuk berzakat. Jika demikian sebenarnya agama ini menuntut kita
untuk selalu berupaya dan berkarya. Dengan itu kita akan jadi umat yang kuat.
Rasul bersabda:
,Untuk menjadi muzakki kita
perlu berusaha dalam kehidupan sehingga mempunyai penghasilan yang mencukupi untuk berzakat. Jika
demikian sebenarnya agama ini menuntut kita untuk selalu berupaya dan berkarya.
Dengan itu kita akan jadi umat yang kuat. Rasul bersabda:
المؤمن
القوي خيروأحب الى الله من المؤمن الضعيف، وفى كل خير ( رواه مسلم )
“Orang mukmin
yang kuat lebih baik dan disenangi oleh Allah dari
mukmin yang lemah. Dan pada
keduanya ada kebaikan.”
Hadis ini memberi makna mukmin yang kuat iman, tubuh,
dan amalnya lebih baik daripada mukmin yang lemah iman, tubuh dan amalannya. Sebab mukmin yang kuat dapat
melakukan sesuatu, dan memberikan manfaat yang lebih kepada kaum muslimin
dengan kekuatan tubuh, iman, dan amalnya. Kekuatan seoarang mukmin secara ekonomi tentu juga akan sangat
mendukung roda perekonomian umat, membuka lowongan pekerjaan, menghidupkan
banyak keluarga, memajukan pendidikan, dan dengan sendirinya meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya kemiskinan bukan saja membawa dampak kesengsaraan
dan kebodohan, akan tetapi juga bahaya bagi keimanan. Bukankah rasul
mewanti-wanti kita dengan sabdanya “Hamper-hampir kefakiran dapat membawa
kepada kekufuran.”
Saudaraku seiman.
Mari kita lakukan sesuatu untuk membangun
kekuatan umat; kekuatan iman, ilmu, akhlak, kekuatan persaudaraan dan kekuatan
ekonomi. Tidak semua kita mampu melakukan segala hal. Ambillah bagian menurut
kemampuan dan porsi kita masing-masing dan yakinlah Allah pasti tidak akan
menyia-nyiakan apa yang kita perbuat –sekecil apapun - untuk kemaslahatan umat
Islam.
Ingatlah kisah seekor burung yang berupaya
sekuat tenaga untuk menyiramkan air dengan paruhnya yang kecil kedalam api
besar yang menyala-nyala membakar nabi Ibrahim As, lalu ketika para iblis dan
syaitan mentertawakannya dan berkata: “Usahamu
itu sis-sia dan tidak akan memadamkan api raja Namrud.” Sang burung menjawab dengan yakin” “ Setidaknya aku
sudah punya alasan dihadapan Allah kelak,
ketika Dia bertanya kepadaku “apa yang telah kau upayakan untuk membantu
rasulKu Ibrahim ketika dibakar oleh Namrud?” Semoga upaya kita terhadap
Islam jauh lebih besar dari upaya burung tadi.
[1] Penulis adalah Dosen Fiqh
Siyasah merangkap Ketua Program Studi Hukum Tatanegara (Siyasah), Fak Syari’ah
dan Hukum UIN Ar Ranry serta Guru Dayah Darul Ihsan Tgk. H. Hasan Krueng Kalee,
Siem, Aceh Besar.
Posting Komentar